Showing posts with label Review Film. Show all posts
Showing posts with label Review Film. Show all posts

Friday, 17 November 2017

Review Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak

Beberapa hari sebelum tayang perdana, film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak sudah ramai jadi topik pembicaraan di salah satu WAG yang saya ikuti. Apalagi film ini juga memenangi festival film yang baru saja berlangsung di Barcelona oktober kemarin. Dan tau tidak sih, kalau Marsha Timothy pemeran Marlina berhasil menyisihkan Nicole Kidman untuk kategori Best Actress?  Keren, kan.
Foto: 21cineplex
Mengusung genre film ala-ala western semacam The Wild West atau Dance With Wolf, film besutannya Mouly Surya ini mengambil Pulau Sumba sebagai latar film. Bentang alam yang gersang dan tandus cukup menggambarkan betapa kerasnya hidup yang harus dialami Marlina (Marsha Timothty). Walau dicap senang menjadi korban oleh Markus (Egi Fedly) saya tidak merasakan karakter Marlina sebagai korban yang lemah. Kalau sudah menyimak trailernya, di sana digambarkan betapa dinginnya ekspresi Marlina menenteng kepala Markus, perampok yang dengan 'sopan'nya memberitahu dulu rencana jahatnya pada Marlina. Bersama keenam kawananya Markus membeberkan niatnya untuk merampok dan memerkosanya beramai-ramai ditambah minta dibuatkan dulu masakan. Ada ya, penjahat yang malah bangga membocorkan rencananya seperti Markus ini?

Film berdurasi 90 menit ini dibagi dalam 4 bagian, di mana Perampokan jadi pembukanya, lalu dilanjutkan dengan Perjalanan, Pengakuan dan ditutup dengan Kelahiran.  

Tidak terlalu banyak dialog di dalamnya tidak berarti film ini kehilangan gagasan yang ingin disampaikan. Ada banyak simbol yang bisa kita tangkap dari film bernuansa sephia ini. Kalung yang dikenakan Marlina  yang berbentuk rahim, mumi suami Marlina yang teronggok begitu saja di ruang utama rumah atau yang paling terlihat jelas ya itu tadi, saat Marlina dengan santainya menenteng kepala Markus menuju kantor polisi untuk meminta keadilan. Sinting, kan? Bagaimana caranya bisa meyakinkan polisi kalau Marlina adalah korban sementara ia sendiri yang memenggal kepala Markus dan 'memamerkannya' pada polisi. 

Di sisi lain, saat memasuki bagian ketiga, Marlina juga memotret sisi lain betapa menyebalkannya birokrasi di Indonesia. Tapi sekali lagi, Marlina bukanlah sosok wanita yang cemen dan menyerah.  Kalau di awal cerita dia masih santai menodongkan parang ke sopir truk, di sini kita akan melihat gagahnya Marlina mengendarai kuda dan motor trail.  Bahkan untuk wanita modern pun belum tentu bisa segagah Marlina loh. 
Foto: bookmyshow

Yang paling mencuri perhatian buat saya dari film ini adalah karakter Novi yang dimainkan oleh Dea Panendra. Novi diceritakan sedang hamil sepuluh bulan dan anaknya tidak lahir-lahir. Sesekali ia menjadi persuasif membujuk Marlina, kadang ia bisa tertawa getir ketika bercanda bagaimana caranya agar anaknya segera lahir dan di lain waktu ia jadi lebih emosional saat suaminya menuduh ia berselingkuh. 

Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak ini menawarkan 'paket' yang berbeda dari beberapa film Indonesia sebelumnya yang sudah saya tonton. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang mengekspos keindahan surga di timur Indonesia yang tersembunyi, Marlina mengajak saya untuk melihat lagi masih ada sisi lain dari Indonesia yang belum merasakan kemakmuran dan keadilan. Jalanan yang belum beraspal, akses teknologi yang masih terbatas (bahkan telepon seluler pun masih bernada dering polifonik macam suara hp jadul), hingga ketidakadilan yang masih dialami kaum wanita di sana.  Tangis haru saat  Marlina membantu Novi melahirkan pun masih menyisakan pesan cerita bagi penonton film ini.


Share:

Thursday, 9 November 2017

Review Film Wage, Sejauh Apa Kita Mengenal Komposer Indonesia Raya?

Sejak kali pertama liat trailernya wara-wiri, saya sudah nandain harus nonton film Wage.  Lupa, sejak kapan saya merasa tertarik sama film yang mengusung tema bioopic. Yang jelas,  saya pengin menemukan hal baru soal cerita dari tokoh yang diangkat dalam film. Anyway, disclaimer dulu, ya. Referensi film  yang saya tonton baru meningkat banyak setahun belakangan. Jadi  belum semuanya film biopic yang pernah tayang di bioskop sudah saya tonton semua. Kalau nemu di aplikasi film atau tayang di tv dan belum sempat nonton,  with my pleasure, I'm willing to watch it.

Kali ini saya mau cerita film Wage yang baru saja tayang perdana hari ini di bioskop. Film ini bercerita tentang biografi komposer lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf  Supratman.  Saya cuma tau dikit tentang beliau. 
Sumber foto: 21cineplex.com
Saya baru ngeh, ternyata referensi yang beredar,  baik buku atau tulisan di internet mengenai pahlawan seperti WR Supratman masih minim.  Perlu kerja keras dan riset yang luar biasa  untuk mengeksekusinya.  Tabik buat John De Rantau sebagai sutradara, dan tentu saja observasi  yang dilakukan oleh pemeran utamanya, Rendra Bagus Pamungkas untuk pendalaman karakternya.

Film Wage dibuka ketika Wage kecil terlibat perkelahian dengan teman-teman sekolahnya di sekolah indo. Kalah adu fisik dengan teman-temannya malah bukan mendapat pembelaaan tapi dicampakkan gurunya.  Tapi Wage bukan tipe anak yang cemen, bahkan ketika bertumbuh dewasa dan menjadi pemain band pun dia tetap punya posisi tawar yang sulit diotak-atik. Pemerintah Hindia Belanda dibuat gondok, kecemasan keluarga akan keselamatannya pun seperti angin lewat.  Wage tidak punya bekal ilmu bela diri tapi dia punya kepercayaan diri yang sangat tinggi tanpa membuatnya jadi karakter yang memandang rendah orang lain. 

Eh sebentar,  anak band?  Baru tau kan, kalau  dulunya beliau  ini pernah ngeband? Sama. Saya juga baru tau, kok. Sepanjang film ini,  gesekan biolanya  saat ngeband bakal sering mendominasi,  ear-gasm. Ngepop dan progresif untuk skala musik lawas (tahun 1920an). Selain lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Ibu Kita Kartini serta Di Timur  Matahari, ternyata masih ada lagu lainnya. Judulnya Matahari Terbit (damn, saya jatuh cinta sama lagu ini tapi pas googling ga nemu format audio lagunya hiks hiks).  Lagu  ini jadi alasan buat pemerintah Belanda untuk menangkapnya  karena dituduh  telah menyulut propaganda.  Padahal, lagu Indonesia Raya lah sesungguhnya yang menguatkab sense of belonging para jong pemuda ketika mereka masih terjebak dalam ego kesukuannya dalam menentukan bahasa persatuan.   

Yang suka merinding saat mendengar atau malah menyanyikan lagu  Indonesia Raya akan semakin merinding dibuatnya karena  di sini lagu  Indonesia dinyanyikan dengan 3 stanza.  Sebuah tamparan keras buat kita yang ngaku-ngaku cinta tanah air tapi lagu kebangsaan saja cuma hafal 1 stanza saja.  Padahal  cerita dibalik susah payahnya Wage yang sama sekali tidak punya darah  bule londo ini begitu sulit dan menguras emosi.

Sebuah film biopic akan berhasil  kalau membuka cakrawala baru tentang latar belakang tokoh yang diceritakan. Ini yang saya dapatkan juga dari Wage.  Gara-gara film ini saya tau juga kalau WR Supratman juga  seorang yang religius,  adalah seorang jurnalis dan pernah nulis novel roman. Entah saya yang lupa atau gimana,  kok waktu masih sd sampai sma dulu saya ga merasa mendapat sub topik dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang mengapresiasi karyanya, ya? Sayang sekali kalau satu copy pun dari tulisannya tidak ada yang menyimpan.

Selain garapan musikalitasnya,  saya menyukai psy war yang melibatkan Wage dengan karakter Fritz (Teuku Rifku Wikana). Walau benci dan kesal setengah mati pada sosok Wage, Fritz sangat menghormati  Wage sebagai musuhnya. Bahkan memenjarakan Wage bukanlah sebuah kemenangan bagi dirinya.  Entah dengan cara apa yang bisa membuat Fritz merasa puas untuk mengalahkannya karena Wage selalu punya amunisi lengkap untuk beradu argumen dengan Fritz. Semacam hubungan cinta dan benci antara dua rival. 

Saya sangat menikmati perdebatan keduanya saban mereka muncul bersamaan. Ikut tersenyum puas setiap Wage dengan lugas berhasil menanggapi psy war yang dilontarkan Fritz terlepas dari realitanya apakah tokoh Fritz ini nyata atau improvisasi dari naskah ceritanya.  Jangan khawatir  harus berpikir keras untuk mengikuti alur ceritanya atau ngantuk dibuatnya selama 120 menit menonton.  

Suprisingly, saya baru tersadar selain lagu Indonesia Raya lirik-lirik lagu karya WR Supratman lainnya tidak menyisipkan kata merdeka. Koreksi saya kalau salah, ya. Punya sihir apa sih Wage sampai bisa memengaruhi orang-orang yang mendengar atau membaca karyanya? Kalau saja setelah Indoenesia merdeka beliau masih hidup, sepertinya  beliau akan jadi diplomat Indonesia yang ulung dalam rangkaian perjanjian gombal nan menyebalkan dengan Belanda.

Setelah nonton film Wage ini saya punya beberapa PR, menghafal  dua stanza lainnya dari lagu kebangsaan Indonesia Raya, mencari tau mengapa simbol batik berkali-kali muncul dalam  film ini dan tentu saja mencari tau nasib novel yang pernah ditulisnya. 

Film Wage ini juga membuka celah informasi sejarah konflik internal a dalam pemerintahan kerajaa Belanda pada saat itu). Buat yang penasaran dengan cerita-cerita berbau sejarah wajib banget nonton film ini. Harus.

Kekurangan nomor satu bagi film Wage buat saya adalah tidak mudah meyakinkan penonton, kalau film biopic  yang dibintangi aktor/aktris yang  belum punya fans base kuat tetap layak untuk ditonton. 

Share:

Tuesday, 10 October 2017

Review Film Merah Putih Memanggil

Setelah diingat-ingat, dalam rentang waktu kurang lebih setahun ini, saya baru dua kali loh nonton film Indonesia bertema perjuangan.  Ga percaya? Coba cek aja label Review Film di blog saya ini. Muahaha.... Modus banget ya ini mah biar pada betah lama-lama stay tune di sini.
Dan bukan suatu kebetulan,  kalau kedua film yang saya tonton ini ternyata diproduksi oleh TB Silalahi Pictures. Benang merahnya yang saya tarik dari kedua film ini adalah tentang loyalitas dan  profesionalisme seorang prajurit.



Bertepatan dengan peringatan hari TNI yang jatuh pada tagal 5 Oktober 2017 kemarin, Film Merah Putih Memanggil (MPM) secara resmi diputar di bioskop-bioskop di Indonesia. Ada Maruli Tampubolon yang menjadi pemeran utamanya. Ceritanya di sini Maruli memainkan karakter sebagai seorang komandan (kalau ga salah nama sandinya Petir) yang mendapat tugas dari kesatuannya dalam misi pembebasan sandera yang ditawan oleh milisi  pemberontak yang dipimpin oleh Aryo Wahab. Dalam waktu 24 jam, mereka harus masuk ke belantara hutan di wilayah Tonga.

Dari 7 sandera yang harus dibebaskan, baru 4 sandera yang berhasil di selamatkan. Dengan alasan yang misterius, 3 sandera yang mana 2 diantaranya adalah orang tua dari sandera bernama Elise (Mentari De Marelle) disembunyikan di tempat yang terpisah.  Kepusingan satu-satunya prajurit perempuan yang bertugas sebagai tim medis (saya lupa nama karakternya hahaha) yang diperankan oleh  Prisia Nasution menular kepada saya karena kebawelan Elise. Tidak jarang ulahnya bikin jantungan, bisa membahayakan semua orang. Rasa-rasanya saya pengen mukul Elise sampai pingsan. Eh tapi secara kode etik prajurit gitu, dibenarkan ga, sih? Kasian juga sama prajurit yang punya nama samaran Angin harus membopong dua tubuh orang dewasa selama berusaha meloloskan diri dari kejaraan Diego (Restu Sinaga), tangan kanannya Aryo Wahab dan anak-anak buahnya.


Adegan awal pembuka film ini sedikitnya mengingatkan saya pada haru biru yang tampil di film Pasuka Garuda, I Leave My Heart in Libanon. Loyalitas dan profesionalisme seorang prajurit harus dibuktikan ketika harus berpisah dengan keluarga saat tugas memanggil. Sementata salah satu dialog ketika seorang prajurit berseloroh "Ya elah bro, mana ada tuga yang enak buat kita?  kalau ada juga bukan buat kita" bisa bikin penonton tersenyum. Saya juga baru tau loh dari film ini kalau identitas yang sifatnya pribadi seperti foto pun tidak boleh dibawa dalam misi. Mungkin pertimbangannya untuk keamanan keluarga di tanah air. Mungkin loh, ya. Tolong koreksi kalau saya salah.

Soal profesionalisme yang digigit kuat juga bisa kita rasakan ketika mereka menghadapi situasi yang sulit. Rasa sakit karena kehilangan teman dalam misi termasuk tingkah sandera  seperti Elise yang bikin gemas. Tidak ada watu berlama-lama meratapi kesakitan, tubuh yang luka dan kesedihan. Bahkan ketika harus mengorbankan nyawa sekalipun. Makanya film dengan tagline "Lebih Baik Pulang Nama daripada Gagal Dalam Tugas" pada adegan berikutnya yang lebih mendebarkan. Buat saya, MPM tidak mengizinkan penonton lama-lama terbawa suasana sedih. Malah selama 112 menit menyaksikan film besutannya Mirwan Suwarso, saya lebih banyak dibuat terpesona kadang terhenyak dibuatnya. 

Walau menyebalkan, karakter Elise lah yang paling mencuri perhatian saya. Ngeselinnya juara :D Sementara kalau ditanya sosok yang palilng heroik di sini saya malah bingung dibuatnya. Semuanya bermain apik.

Catatan spesial saya buat Maruli, genre film yang dimainkannya berbeda jauh dengan film sebelumnya. Kalau di film Terjebak Nostalgia Maruli bermain sebagai sosok yang romantis, di MPM ini dia lebih manly. Bisa bikin ngefans dan klepek-klepek penonton perempuan (hush).

Baca juga : 4 Hal Tentang Film Terjebak Nostalgia

Selain fisik dan kostum yang dikenakannya, penjiwaannya sebagai pemimpin yang berwibawa cukup saya rasakan. Meski cukup terganggu dalam beberapa scene dialog Maruli saat memberikan aba-aba, kordinasi dengan pusat komando atua memberikan instruksi dengan anak buahnya sering menggunakan bahasa Inggris. Apa mungkin secara teknis di lapangan penggunaan bahasa Inggris ini adalah hal yang biasa, ya?

Film yang juga melibatkan parjurit  asli (bukan figurn biasa)  untuk beberapa cast serta atraksi memesona peralatan tempur canggih milik TNI membuat aroma tempur ini cukup terasa. Saya jadi mikir oh gitu ya, prosedur dalam tugas dalam kesatuan? Termauk ketika memberitahukan  posisi yang menuntut kemahiran membaa posisi koordinat dan kecepatan angin. Duh, saya senediri kalau dikasih tau arah dengan panduan utara, barat, timur atau selatan loadingnya lamaaaa banget. Suka celingak celinguk dulu lihat posisi matahari. Yang sudah-sudah sih saya lebih suka dikasih tau belok kakan, kiri, lurus, atau patokan berupa gedung/bangunan hahaha. Catet, jangan mremehkan pelajaran geografi.

By the way, kalau dulu-dulu yang jadi karakter antagonis dalam film bertema perang  adalah penjajah Belanda atau Jepang, kemunculan teroris sebagai lawan juga mengingatkan fenomena yang marak belakangan ini. Terlepas dari aksen Aryo yang terdengar lebih mirp aktor berkebangsaan hispanik dengan pelafalan R yang kental, film MPM juga memberi penonton pengetahuan baru soal keberadaan negara kepulauan Tonga yang posisi geografisnya dekat dengan Selandia Baru (tuh kan, apa kabar nih sama pelajaran Geografi yang sudah lama menguap?)  Cukup unik, karena negara kepulauan ini  merupakan wilayah persemakmuran Inggris. Apa mungkin aksen orang-orang Tonga juga seperti yang diucapkan  Aryo Wahab di film ini , ya?

Ah sudahlah, kapan-kapan saja siapa tau punya rejeki berlimpah bisa jalan-jalan ke negara Tonga sana, ya. Sebelumnya mari kita nonton dulu Merah Putih Memanggil yang juga diramaikan juga oleh penampilan Happy Salma, loh.


Share:

Tuesday, 3 October 2017

Review Film Pengabdi Setan 2017: Ibu Datang Lagi

Entah  kenapa, setiap bahas  film genre horor  produksi lokal (baca: Indonesia), saya suka merasa dirayapi perasaan sedap-sedap ngeri duluan Penasaran pengen nonton tapi sebel sama efek sesudahnya. Suka kebayang aja hantunya, berhari-hari setelah nonton. Mungkin karena plot cerita dan gambaran hantunya related dengan budaya di sini. Beda misalnya dengan cereita hantu Annabelle, atau Freddy Krueger gitu  yang lebih mudah mendetoks efeknya (yakiiin?).  Berurusan sama hantunya langsung ga pernah (dan ga mau juga). Tapi, taste dari film horor lokal  itu sangat kuat kenangannya hihihi... Lah,  emang romance doang yang keingetan terus?

Nah, pas teaser Pengabdi Setan (2017) wara-wiri di medsos dan chat grup WA, sesungguhnya saya sudah merasa terintimidasi duluan. Apalagi versi awalnya yang rilis tahun 80an itu  diapresiasi sebagai masterpiecenya film horor Indonesia pada masanya.


Baru liat teasernya  (tahun 80an dan 2017) aja udah nyebelin buat saya.  Nonton teaser di youtube malah saya mute suaranya hahaha...Cemen amat, ya?  Eh tapi entah kenapa saya akhirnya nonton juga film Pengabdi Setan (PS) ini? Berbekal pengalaman sudah pernah nonton beberapa film hantu Indonesia lainnya, ya, udah saya berani-beraniin diri aja buat nonton. Jeng jeng jeng..... (ga gitu juga kali, Fiii...). Eh tapi buat nulis review filmnya ini saya beraninya siang-siang aja :) 

Diremake (sebagian bilang kalau PS ini adalah rebooth) dari tahun 1980, alur cerita dan beberapa sensibilitas di dalamnya dimodifikasi. Jadi ga sama persis plek ketiplek gitu.  Misalnya, kalau di versi 80an hantu Ibu yang datang lagi putih banget kayak pantomin, di versi sekarang ga sepucat itu, tapi tetep terrifying alias nyeremin. Ga percaya? Liat aja teaser di youtube atau kalau mau lebih ekstrim lagi ke bioskop aja. #ehgimana? Malah jorokin! Di film lama, keluarga ini punya pembantu yang menjaga rumah, di versi terbaru, kondisi keuangan keluarga yang bangkrut lebih kentara, semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri bahkan makan pun ala kadarnya.  
sumber foto: beritagar.id

Ceritanya, Ibu (Ayu Laksmi) yang juga seorang penyanyi yang cukup tenar, sudah sakit cukup lama, 3 tahunan. Entahlah sakit apa, efeknya bikin fisik ibu rusak. Masih hidup pun sudah nyaingin seremnya Mak Lampir. Sakitnya ibu benar-benar parah, sampai-sampai duit abis buat ngobatin Ibu. Rumah digadaikan buat biaya berobat. Lalu Bapak (Bront Palarae) nyuruh Rini (Tara Basro) ngecekin royalti ibu di perusahaan rekaman. Ya kali aja masih ada.  Hasilnya?  Walau Rini bersikeras bilang kalau lagu-lagu ibunya masih ngehit dan banyak diputar di mana-mana, itu ga jaminan orang mau  menyisihkan uangnya untuk membeli kaset-kaset ibu. Moral story pertama yang saya catat, kalau lagi banyak duit, harus punya pos anggaran untuk biaya tak terduga, jaman sekarang bisa diterjemahkan dengan asuransi *sumpah bukan iklan* Moral Story kedua, popularitas itu ada masanya, alias fana. Entah kapan, orang-orang akan melupakan mereka yang pernah jadi selebritis.  So,  masih mengejar ketenaran? 

Dengan kondisi fisiknya, ibu terasa lebih menakutkan daripada mengiba.  Ini terlihat ketika ibunya membunyikan lonceng (cara ibu memanggil anak-anaknya kalau butuh bantuan karena udah ga bisa ngomong), Rini bukannya buru-buru menghampiri ibu tapi malah protes sama Bondi (Nasar Annuz) dan Ian (M Adhiyat) yang lagi asik main ular tangga. "Biar gitu juga itu ibu kalian," kata Rini yang akhirnya mau ga mau menghampiri Ibu. Mungkin Tony (diperankan oleh Endy Arfian) yang paling sayang sama Ibu. Walau tengil dan 'ngeracunin' Bondi soal cita-cita pekerjaan jadi Gi**l*, Tony anak yang selalu sigap  saat ibu membutuhkan. Bahkan ritual menyisiri rambut ibu sudah jadi jobdes hariannya.  Belum bentuk bakti lainnya dari Tony. No more to tell, ya. Khawatir spoil alert.

Teror mengerikan mulai hadir setelah ibu meninggal. Membuat durasi film sepajang 107 menit serasa lebih dari dua jam. Cerita tidak berjalan lambat tapi terasa menyiksa untuk menunggu ending.  Setelah bagian cerita ibu meninggal, saya udah siap-siap menangkupkan kedua tangan di pipi. Properti paling gampang ketika horor mulai meringkus suasana studio hahaha.  Naik ke atas buat nutupin mata, geser ke tengah buat bekepin mulut, just in case teriak kaget atau takut.  Jangan sampai saya lempar makanan, minuman, apalagi hp. 

Dengan mempertahankan seting 80an, film ini berhasil menularkan susana spooky dari layar ke dalam bioskop. Rumah tua gaya jaman Belanda, sumur timba, lukisan, ranjang besi, lonceng klasik dengan pegangan kepala wayang, radio transistor, kursi roda nenek dan piringan hitam  plus pemutarnya  adalah beberapa properti horor yang bakal kebayang terus. Ah ya, tambah satu lagi, mainan pemutar slide film (yang seangkatan sama saya alias mengalami masa kanak-kanak di tahun 80an, masih inget, ga?) yang suka disewain sama mamang aromanis itu juga cukup horor di sini. Terus abis liat film ini,  saya jadi kangen sama mainan itu, tapi ga pake bonus penampakan ibu di situ, loh :D

Lanjut. 
Horor pertama yang cukup bikin  kaget  itu  ketika Bondi dan Ian melempar kain putih untuk menutup lukisan wajah ibu di dinding. Sik, kenapa ga minta tolong Tony atau Rini  buat nurunin lukisan itu, sih? Waktu masih sehat pun lukisan ibu sudah cukup mengerikan,  cocok sebagai gambaran pemuja setan yang suka dandan aneh.  Well, uji nyali pertama masih bisa saya lalui. Adegan demi adegan selanjutnya emang bener seperti dibilang Joko Anwar alias Jokan, kayak merambat di kulit centi demi centi. Walau ada dialog-dialog lucu, tetep aja PS berhasil menyelipkan kengerian meski sudah ada tanda-tandanya. Siap-siap aja banyak-banyak nahan nafas. Mau teriak? Silakan! Asal jangan banyak komenin film sama temen sebelanya. Tahan aja nanti kalau udah abis nonton aja. Annoying, soalnya.

 Kalau Bondi dan Tony  cukup terganggu dengan kehadiran  Ibu, Ian awalnya cukup kalem, malah pernah meledekin Bondi dengan bahasa isyaratnya yang gokil. Sementara Rini, antara percaya dan ga percaya dengan situasi yang terjadi. Dia lebih galau dengan cash flow rumah yang nafasnya satu-dua. Menu masakan pun bisa dibilang sangat sederhana. Kepusingan Rini jadi ditambah sama Bapak, malah pergi ke kota dengan alasan cari pekerjaan. Lengkap sudah penderitan 4 bersaudara ini. Sudahlah sekolah berantakan, bokek, eh diganggu ibu pula. 

Dibantu oleh Hendra (Dimas Aditya), Rini  akhirnya mau menemui seorang paranormal, Budiman (Egy Fedly) yang ternyata 'mantan'nya Ibu. Rini dan Tony akirnya mengetahui masa lalu ibu yang pernah terjerat dengan kelompok pengabdi setan yang berujung meminta tumbal. Antara masih percaya dan tidak percaya, Rini menemukan fakta masa lalu ibunya yang juga melibatkan nenek, bapak dan adik-adiknya.  Dengan tampang misterius khas paranormal, Budiman sempat bikin  saya pengin ketawa ketika bilang gini, "Karena terlalu dekat kami tidak pacaran. "
Cieee, Pak Budiman, di-friend zone-in hahaha. *apa sih*  Eh sebelum lupa, moral story berikutnya,  bukan cuma harta, tahta dan wanita (atau juga pria), faktor keturunan juga bisa membuat kadar keimanan seseorang menyurut, lalu membuat seseorang menempuh jalan sesat demi keinginannya itu terwujud. Anak-anak adalah obsesi lainnya bagi seseorang untuk tetap dipandang oleh orang lain. 

Walau keliatan jadul (ya iyalah), Hendra itu cukup charming sebagai sosok pemuda pada masa itu. Statusnya sebagai anak ustadz tidak menghalangi usahanya ngemodusin Rini.   Moral Story keempat: Kesolehan ortu tidak otomatis diwarisi anak.  Apalagi kalau ortunya ga soleh alias ibadahnya bolong-bolong. *eh kayak lirik lagu siapa gitu, ya?*

 Adegan paling creepy buat saya di film ini ada dua. Pertama ketika Ibunya gangguin Rini abis solat. Dalam film-film lawas, biasanya sosok hantu bakal menjerit kepanasan atau takut sama mereka yang soleh atau apapun yang berhubungan dengan simbol religi. Udah basi juga kali ya kalau malah itu yang berlaku. Yang kedua,  menjelang akhir film. Dalam satu situasi, Rini dan Tony yang membuka pintu malam-malam terus Ibunya berdiri di luar situ. Ga ngomong apa-apa tapi cukup bikin saya terpekik kaget. Paling kenceng se-studio pula. Kurang ajar! Ngagetin plus nyebelin.  Ketika beberapa penonton di deret yang sama (cuma terpisah tangga) sibuk bisik-bisik sepanjang film, pas saya teriak kaget, mereka malah khusyuk nonton. Ah ngehe, nih Ayu dan Jokan. Bikin saya malu aja :D

Dalam pikiran saya, kalau semestinya semasa hidup Ibu begitu mengharapkan kehadiran anak-anaknya (sampai-sampai dia menempuh jalan sesat agar bisa hamil dan punya anak), kenapa pas sudah meninggal dia malah ingin ngegusur anak-anaknya ke alam akhirat?  Apa karena naluri keibuannya sudah habis dimakan loyalitasnya sama setan, ya? 

Di sisi lain ucapan Ustadz yang bilang kalau  ga ada itu yang namanya hantu tapi jin yang menyerupai bisa jadi afirmasi buat kita untuk menetralkan efek serem sesudahnya. Kalau orang baik, ya di alam kuburnya dia bakal tidur tenang. Kalau jahat? Boro-boro ganggu orang, dia  bakal dibuat sibuk menghadapi 'interogasi' di alam kubur. Itu sih, senjata yang saya pakai, kalau tiba-tiba aja penampakan horor di film kebayang lagi :)  Dan ini emang bener, kok. Silahkan cari referensi-referensi yang valid, ya. Setiap manusia itu punya kembaran yang namanya Jin Qorin. Nah jin ini yang tiba-tiba ga ada kerjaan karena 'copy-an hilang' jadi iseng ganggu manusia di sekitarnya. Walau paradoks juga, ucapan Ustadz dengan kondisi di film itu. Ya namanya juga film, kan?

Sebagai anak tertua (Rini diceritakan  berusia 22 tahun), somehow saya merasa dandanannya ketuaan. Kalau dia diceritakan jadi ibunya Ian pun pantes aja. Sementara kalau protes sosok Bapak kurang tua, ini bisa dimaklumi, karena Jokan pernah cerita dalam preskon susah banget nyari karakter yang mendekati Bapak.  Dengan memaksimalkan makeup yang lebih tua, saya tidak mendapati kekurangan sosok bapak di sini.  Aksen melayu  setiap bapak muncul di film ini juga tidak tertangkap oleh saya.  

Untuk wardrobe, properti dan setingan lainnya, sudah cukup mewakili nuansa 80an, perfecto! Ditambah lagunya ibu di sana. Feel horornya dapet banget apalagi bunyi liriknya juga udah mengisyaratkan menagih janji sehidup semati. "Di kesunyian malam ini... Ku datang mehampiri....." 
Lirik selanjutnya saya ga hafal betul tapi nyebut-nyebut janji sehidup semati.  Hiiiy, ibu, Yang tenang aja di alam baka. Jangan ganggu lah.  Kalau film-film lain bikin kita suka sama lagu theme songnya, saya jamin kalian bakal males dengerin lagunya Ibu.
  
So, pas nonton nanti, siap-siap saja melorot di kursi, atau malah terloncat, tiba-tiba speechless saking takutnya atau malah sebaliknya bermetamorfosa jadi penonton yang norak karena  jerit-jerit kaget, atau terkekeh masam (abis dialog lucu disusul horor soalnya).  Terlepas dari beberapa bagian film yang mengundang tanya.  mendingan nikmati aja nontonnya. Jangan sampai didatengi Ibu dan gank dead walking atau bayangan hitamnya karena kebanyakan protes. 

Share:

Tuesday, 26 September 2017

Petak Umpet Minako, Teror Hantu Berbalut Konflik Masa Lalu

Kapan terakhir kali main petak umpet? Usia SD? Atau SMP? Dulu waktu masih bocah saya suka memainkan permainan ini dengan teman-teman sekomplek.  Mencari tempat ngumpet paling aman, kadang ngumpetnya di dalam rumah, biar ga ketemu hahaha... Licik, ih ini mah. Jangan ditiru. 

Tapi sesungguhnya sensasi menyenangkan dari bermain putek umpet itu lari balapan ke titik jaga. Walau udah ketauan tapi kalau bisa sampai duluan ke titik jaga dan teriak dua limaaaa.... ya, ga usah jaga, meski kita yang duluan ketauan.  Kalau dalam dolanan ala sunda, kami biasa menyebutnya Ucing 25. Ada juga permainan yang namanya Ucing Tekong. Aturannya sedikit beda, tapi intinya yang kebagian jaga itu kami sebut yang jadi ucing (kucingnya).  Entah kenapa dikasih nama gitu. Ya mungkin karena harus kucing-kucingan antara  yang ngumpet dan yang nyari.Pindah lokasi ngumpet pun sebenarnya boleh, asal ga ketauan.Kalau ketauan, ya ga bisa ngumpet terus. Harus keluar.

Nah, gimana kalau sekarang main petak umpetnya sama hantu? Horor, kan? Pake banget!  Seperti ceritanya di film Petak Umpet Minako. Didaptasi dari novel yang berjudul sama, sutradara film Billy Christian mengangkat salah satu kisah urban legend asal Jepang  (Hitori Kakurenbo) tentang permainan petak umpet yang riskan, karena melibatkan hantu di dalamnya.

Ceritanya, tokoh Vindha (Dimainkan oleh Regina Rengganis) yang dandanannya cukup aneh hadir ke acara reunian temant-teman SMAnya. Vindha yang dulunya pernah jadi objek penderita bullying temannya, menantang mereka untuk bermain petak umpet di gedung sekolahnya. Untuk menguarkan sensasi horor, semua teman-temannya menambahkan darah sendiri ke dalam tubuh boneka Minako yang dibawanya. Boneka Minako yang dicemplungkan  ke dalam kolam itu lah yang kemudian menciptakan teror demi teror. Satu persatu teman-teman Vindha yang berhasil ditemukan berubah menjadi semacam zombie dan mencari teman-teman lainnya yang masih hidup untuk menjadi 'penjaga'.

Ditengah-tengah ketakutan dan histeria yang masih hidup, Baron (Miller Khan) datang menyusul demi untuk menyelamatkan Gaby(Wendy Wilson) . Dengan kondisi sekolah yang seperti luas, ditambah creppynya suasana, bukan urusan mudah bagi Baron menarik Gaby dari lingkaran permainan maut itu. Apalagi, mereka yang sudah 'membagikan darah' terikuat perjanjian, harus ikut permainan sampai selesai. Sialnya, permainan ini bukan sekadar permainan biasa, karena di penghujung permainan hanya boleh ada satu pemenang saja yang keluar.  

Teman-teman Vindha menjadi paranoid, yang dulunya lengket bersahabat jadi saling curiga, bahkan untuk berbagi ruang untuk bersembunyipun tidak mau. Lewat alur cerita yang maju mundur, film Petak Umpet Minako membuka tabir masa lalu dari masing-masing mereka. Ada cinta lama yang tidak berbalas kembali hadir meminta asa juga dendam masa lalu yang belum tertuntaskan.  

Walau ide utama petak umpet ini berasal dari Vindha, sesungguhnya yang menjadi tokoh utama dari alur film berdurasi sekitar 87 menit ini adalah tokoh Baron.Saya sempet kesel juga sama Vindha yang punya ide gila mengadakan petak umpet horor itu.

Tadinya saya pikir Vindha  bakal jadi tokoh antagonis yang menebar horor untuk membalas bully-an teman-temannya dulu. Belakangan Vindha malah menyesali ide gilanya itu, walau dia sudah tau temannya di Jepang  juga sudah pernah jadi korban gara-gara permainan yang sama.  Moral storynya? Kadang orang -orang yang sudah nekat atau kehilangan kewarasannya macam tokoh Vindha itu baru 'menyesal setelah repot dengan ulahnya sendiri yang sudah diciptakan. Sialnya, bukan hanya merepotkan diri sendiri tapi juga bikin susah orang lain.  Entah apa motif utamanya Vindha. Kalau mau 'balas dendam'  mestinya dia tidak melewatkan cara untuk menjaga dirinya sendiri tetap aman.Ah Vindha, kamu tuh 'pikarunyaeun' (bikin iba) sekaligus nyebelin. Saya lebih suka sosok Vindha yang manis dan tersenyum lepas bebas tanpa beban seperti saat chating dengan sahabat Jepangnya. 

Baron yang semula tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dalam sekejap saja jadi karakter utama yang berusaha memutus mata rantai teror di dalam gedung sekolah. Selain menyelamatkan Gaby yang dilanda stress berat, misi Baron bertambah dua, menyelamatkan teman-teman yang tersisa juga menghentikan teror Minako. Baron tidak peduli dengan aturan 'hanya ada satu pemenang'. Kalau bisa bukan hanya Gaby tapi juga teman-teman lainnya yang tersisa harus diselamatkannya. Makanya, dalam beberapa adegan Baron mau bersusah payah menuntun temannya (Destra) yang tidak bisa berjalan normal agar tetap selamat dari kejaran para penjaga dan Minako.

Misi Baron sendiri bukan perkara cetek. Saat sekumpulan orang-orang yang ketakutan jadi saling mencurigai satu sama lain - terutama Mami (Natasha Gott) yang tidak segan menumbalkan teman-temannya - Baron juga harus mencari senjata ampuh untuk menghabisi teror Minako. Boneka yang dilemparkan Vindha ke dalam kolam di sekolah itu sendiri sebenarnya tidak berkutik, hanya diam terapung di dalam kolam sana. Minako, setan cantik bermuka putih dengan pakaian kimono berwarna merah itu wara wiri di gedung sekolah mencari korban-korbannya itulah teror utamanya. Kalau di Indonesia, mungkin seperti permainan  jailangkung, ya.  

Diiringi suara derak kayu dari tubuhnya, hantu Minako sebenarnya hanya bisa menyeret tubuh atau melayang, tapi tidak bisa menembus ruang seperti umumnya gambaran hantu lainnya yang bisa menembus dimensi berbeda.  Di sisi lain, saya merasa hantu  Minako ini semacam jelmaan siluman siput. Percikan air garam yang digunakan Baron dan teman-temannya hanya bisa melumpuhkan sesaat, karena ternyata Minako masih terlalu perkasa untuk dihentikan begitu saja.

Maka demi menjaga kewarasannya, Baron harus mencari cara paling ampuh untuk menyudahi teror Minako sebelum jam 3 pagi menjelang, sebelum kekuatan Minako semakin dahsyat. Kebayang ga, kita berada di dalam gedung sekolah yang luas, gelap dan seperti sudah lama tidak terurus  terus dikejar-kejar hantu dan saling curiga dengan teman-teman? Tidak ada satu orang pun yang bisa kita percayai sepenuhnya. Bahkan rumah ibadah (dalam film ini divisualisasikan sebagai Gereja) pun tidak menjamin kita untuk merasa aman berada di dalamnya?  Tanpa menafikan makna sakral dari tempat-tempat ibadah, saya merasa diingatkan selama ini keberadaan gereja, atau masjid lebih banyak diposisikan sebagai simbol.  Ya pantas saja kalau ternyata berada di dalamnya tidak merasa 'secure' karena kita tidak punya ikatan batin yang kuat.

Walau mengadaptasi  horor dari  urban legend Jepang,  Petak Umpet Minako menghadirkan pengalaman baru menonton film horor dengan suasana yang masih Indonesia di dalamnya. Kalau biasanya kita menyaksikan  tokoh hantu berambut acak-acakan, muka jelek  dengan mata melotot plus lingkaran hitam di mata, selama menyaksikan Petak Umpet Minako besiap-siaplah dengan suasana derak langkah boneka  kayu  berpakaian kimono yang mendekat tanpa suara dari mulut, atau lolongan zombie yang  ga kalah creepynya juga. 

Anyway, mungkin pengalaman horor akan lebih terasa kalau membaca bukunya, imajinasi liar kita kadang-kadang tidak bisa dikendalikan saat membaca buku dibanding nonton filmnya.  Saya sudah lihat filmnya tapi belum sempat baca novelnya. Lihat filmnya saja sudah cukup bikin saya menjerit tertahan  beberapa kali karena kaget. Baca bukunya? Lain kali aja, deh :)



Share:

Tuesday, 12 September 2017

Jembatan Pensil: Tentang Mimpi dan Ketulusan Seorang Disabilitas

Saya lupa kapan terakhir kali menangis sesenggukan saat menonton film. Ada kalanya ketika teman-teman bercerita  bagaimana mereka merasa teriris sampai terisak, saya malah tidak mengalami sedramatis  mereka. Nah, Film Jembatan Pensil yang siang tadi saya tonton sukses melelehkan air mata lebih dari separuh tayangannnya. Sisanya, saya dibuat tersenyum, kadang  diselingi  rasa mencelos karena beberapa adegan membahayakan nyawa.Terutama ketika menampilkan bagian Ondeng(Didi Mulya) dan keempat teman-temannya.

Pembuka film dibuka dengan adegan Aida (Alisia Rininta) seorang guru muda yang baru kembali dari Jakarta ke kampung halamannya di Muna (Sulawesi Tenggara). Aida kembali ke Muna untuk membantu mengajar di sekolah gratis yang dirintis oleh bapaknya (Andi Muna). Dalam  perjalanan pulang, Aida terus-terusan direcoki kecerewetan ibunya, Farida (Meriam Belina). Ketika turun dari feri, tasnya terjatuh di dermaga dan jatuh ke air laut. Beruntung ia bertemu dengan Pak Mone (Deden Bagaskara), nelayan yang juga tetangganya di sana. Pak Mone  kemudian menyuruh Gading (Kevin Julio) untuk membantu mengambilkan tas Aida.  Adegan tas yang jatuh, beningnya air laut yang berwarna biru hijau selanjutnya menjadi nafas  fragmen demi fragmen dalam film ini.

Tadinya saya pikir pertemuan Aida dengan Gading akan mempunyai porsi besar dalam film ini, ditambah kehadiran Arman (Agung Saga),  peternak sapi yang juga naksir dia. Tapi syukurlah, Jembatan Pensil konsisten dengan gagasan utamanya memotret kehidupan  Ondeng.  Walau terbelakang, sesungguhnya Ondeng mempunyai sisi kecerdasan lain yang kerap terabaikan. Selain pintar menggambar, Ondeng  mempunyai hati yang lembut, dibalik tingkahnya yang childish (padaal Ondeng bongsor sekali dengan wajah yang terlewat tua untuk usia anak SD).

Apa yang dialami oleh Ondeng dan 4 sahabatnya Nia , Yanti, Azka, dan Inal (diperankan oleh Nayla D Purnama,  Permata Jingga, Azka dan Angger Bayu) memotret secara sederhana kehidupan anak-anak sekolah dasar di pelosok Indonesia yang infrastrukturnya masih sederhana.  Setiap hari mereka harus berjalan jauh untuk pergi sekolah. Selain harus menggantungkan sepatu dan berjalan 'nyeker' agar sepatunya tidak lekas aus. Mereka pun harus mempertaruhkan nyawanya saban melewati jembatan yang bilah-bilahnya rapuh. Saya ikut deg-degan dibuatnya saat mereka berjalan di atasnya. Rasanya pengin sekali ikutan teriak seperti Ondeng bilang "Awaaas...!"

Sebenarnya Ondeng bisa saja langsung berangkat ke sekolah tanpa harus menunggui keempat teman-temannya itu di jembatan. Tapi ya itu tadi, Ondeng punya hati yang lembut dan peka. Ondeng hanya ingin memastikan keempat teman-temannya sukses melewati drama menantang maut setiap pagi dengan aman. Apalagi diantara mereka ada Inal seorang tunanetra yang perlu mendapatkan pendampingan agar tidak  jatuh ke sungai. 

Selain tinggal bersama ayahnya, Ondeng juga tinggal bersama Gading yang sejak kecil sudah jadi bagian dalam keluarganya. Di mata Pak Mone, selepas kematian istrinya, Ondeng adalah hartanya yang begitu berharga, terlepas dari keterbelakangannya itu.

Alih-alih merasakan gemas dengan cerita cinta segitiga antara Gading, Aida dan Arman, saya lebih tertarik dengan sosok Pak Mone. Entahlah, walau penokohannya sederhana, setiap interaksi Pak Mone dengan Ondeng selalu bikin saya nangis. Pun ketika Onde curhat tasnya hanyut di sungai, Pak Mone menghibur Onde kalau tas masih bisa dicari, beda dengan nyawa. Tidak ada yang menjual. Yang ga  kalah nyesek tentang Pak Mone adalah berita kematiannya.  Saya ikuta nangis apalagi ketika melihat  Ondeng histeris dibuatnya.  

Ingatan saya langsung tertuju pada Apa (Bapak saya) di rumah yang semakin hari semakin menua. Hingga detik ini  waktu saya menulis  review film Jembatan Pensil, rasanya saya masih jauh dari idealnya gadis kecilnya yang berbakti. Saya belum bisa membalas budi dan membahagiakannya. Saya tiba-tiba dihinggapi ketakutan akan kehilangannya. Hiks hiks.....

Walau trauma dengan suara gelegar petir, sesungguhnya Ondeng adalah seorang anak yang pemberani. Dalam satu adegan, Ondeng tidak berpikir panjang nyebur ke sungai untuk menyelamatkan teman-temannya yang tercebur. Dalam keadaan basah kuyup, mereka bukannya balik badan kembali ke rumah, tapi melanjutkan perjalanan ke sekolah. Bersama teman-temannya Ondeng tiba di halaman sekolah yang sederhana. Mereka ikut memberikan hormat pada bendera saat lagu Indonesia Raya berkumandang. Adegan yang  sederhana, tapi sangat menyentuh. Impian mereka untuk menjadikan hidupnya lebih baik membuat ujian terperosok ke sungai jadi tidak ada apa-apanya.

Film besutan Hasto Broto berdurasi 91 menit ini bukan saja mengemas secara apik indahnya kecerdasan sosial yang dimiliki seorang anak penyandang disabilitas tapi juga bentang alam tepian pantai Indoneia yng indah. Kemilau air laut dan sungai yang biru kehijauan adalah fenomena yang jarang saya temui. Walau  bukan penggemar liburan pantai, saya tidak bisa menampik indahnya pesona pantai yang ditampilkan di film ini. Sinematografinya super duper cantiiiik.  Terus, saya jadi membandingkan dengan sungai-sungai di Bandung yang pernah saya lewati. Hiks, beda. Keruh dan kotor, ditambah dengan tumpukan sampah-sampah yang hanyut atau tersangkut. Kapan yaaa, Bandung bisa punya sungai sebening itu?

Di sisi lain, saya juga mencatat film ini mengangkat celah strata sosial yang masih lebar di belahan Indonesia Timur sana. Walau sering diolok-olok istrinya Bu Farida, Pak Guru bersikukuh melanjutkan sekolah gratisnya di SD Towea bagi anak-anak di sana. Pun begitu kalau memerhatikan rumah-rumah panggung  masih jadi ciri khas di sana. Ini menggambarkan kondisi perekonomian yang masyarakatnya yang cukup jomplang. Akting ngenyeknya Bu Farida pada Gading bikin saya sebel. Emang kenapa kalau dia nelayan dan nolongin Aida? Kenapa setiap pertolongan dari orang-orang sederhana seperti Gading selalu dicurigai ada modus dibaliknya? 

Jembatan Pensil bukan hanya bercerita tentang mimpi sederhana seorang Ondeng yang bercita-cita bisa membangun jembatan yang kokoh agar teman-temannya bisa dengan aman melewati jembatan menuju sekolah. Dibalik kerapuhan mentalnya, Ondeng bisa menjembatani teman-temannya untuk tetap menggenggam mimpi demi masa depan yang lebih baik.

Dari sebatang pensil yang dimilikinya Ondeng mengingatkan kita semua, hal-hal yang baik atau buruk bisa kita tuliskan. Jika tulisan bisa dihapus, kenangan akan kebaikan atau keburukan akan selalu terpahat dalam kenangan. Kita tinggal memilih, akan menuliskan cerita indah atau kenangan buruk bagi orang lain di sekitar kita.



Share:

Friday, 4 August 2017

Review Film Mars Met Venus (Part Cowok)

Hanya berselisih sekitar dua minggu saja buat saya menunggu film Mars Met Venus (part cowok) untuk tayang di bioskop setelah sebelumnya menonton dulu part cewek dengan judul yang sama. Sempat terpikir juga, kenapa mesti ada dua part, ya? Pertanyaan itu baru terjawab setelah nonton keduanya. Asiknya saya berkesempatan nonton bareng bersama tim dan castnya pada hari Selasa, 1 Agustus 2017. Terimakasih banyak buat MNC Pictures dan FFB untuk undangan nonton barengnya.

suasana meet and greet di dalam studio 1 Empire BIP  
yang ga sabar nonton filmnya *foto pribadi*
Film yang dibintangi oleh Ge Pamungkas (Kelvin) dan Pamela Bowie (Mila) ini tidak seperti film lainnya yang sekuel-sekuelan gitu. Aman saja kalau misalnya enggak sempat nonton yang versi part cewek tapi langsung loncat ke part cowoknya. Tapi saran saya, mendingan nonton kedua-duanya, agar kita bisa adil memahami sudut pandang dari dua sisi berbeda, cewek vs cowok. Untuk film part ceweknya, saya enggak sempat nulis reviewnya di blog, nih. Tapi ada ulasan singkatnya di akun instagram ini.

Mumpung hari ini ke luar ya udah sekalian mampir aja ke BIP buat nonton.  Film Mars Met Venus part cewek ini jadi pilihan saya.  Mayoritas penontonnya kisaran anak sma atau kuliahan. Klop sama tipikal karakter di film ini. Tentang hubungan cewek - cowok yang ribet.  Saya terhibur dan ga bisa menahan tawa setiap Kelvin (Ge Pamungkas) baper dan ga bisa membantah menghadapi tingkah calon istrinya,  Mila (Pamela Bowie)  yang dominan. Pokoknya dia selalu bener dan Kelvin selalu salah. Tapi kadang Mila suka iseng menggombali Kelvin saban dia sudah terpojok. Siapa bilang pacaran 5 tahun menjamin bisa mengenal calon suami atau istri? Ga, tuuuh.  Ide Kelvin membuat vlog malah memicu masalah.  Setiap sesi vlog dimulai dengan gombal-gombalan alay,  lalu beda pendapat dan berujung ngambeknya Mila. Selalu gitu. Udah sarjana tapi kelakuannya masih kayak abg. Ternyata umur ga jaminan  buat ukuran dewasa. Padahal mereka ini mau nikah. Karena cewek ga pernah salah, Kelvin dibikin blingsatan merayu Mila baikan lagi. Begitu terus sampai akhirnya Mila berasa ga berarti dan menjauh dari Kelvin.  Sahabatnya Mila, Icha (Ria Ricis)  dan Malia (Rani Ramadhany) yang bagaikan sisi malaikat dan setan saban Mila curhat jadi ikutan riweuh dibuatnya. Adegan paling kocak buat saya itu waktu Kelvin keki sama tukang sate yang ganggu momennya mau nembak Mila. Ekspresi ngenesnya Ge pas banget. Saya yang datang nonton sendiri bisa lepas ketawa hahaha.. *puk puk puk.  Sodorin Ge Sate sama Gudeg Herlino #eeh* Di sisi lain saya ikut merasakan ilfilnya Mila lihat tingkah teman-temannya Kelvin. Yang ganknya Mila pecicilan dan lebay. Ganknya Kelvin?  Ga ada jaim, urat malu yang kayak mau putus dan jitakable.  Mars Met Venus part cowoknya baru tayang Agustus nanti.  Sambil nunggu terusannya, liat aja versi ceweknya dulu. Biar adil menilai dari dua sisi.  Karena dunia cewek dan cowok emang beda,  kan?  #kamiskebioskop #yukkebioskop #banggafilmindonesia #30thFFB #marsmetvenus #ceritaefi
A post shared by Efi Fitriyyah (@efi_thea) on

Untuk part cowok, selama 94 menit film ini berjalan  ada beberapa adegan yang sama dengan part sebelumnya. Misalnya saja ketika adegan di restoran, direcokin tukang sate padang, atau gombal-gombalan keduanya ketika ternyata memberikan jawaban yang sama saat Lukman (Lukman Sardi) menyampaikan pertanyaan. Hanya saja  kali ini  alur cerita lebih menekankan pada sudut pandang cowok, sekaligus mengajak penonton untuk berempati pada Kelvin. Dan yes, film kedua ini berhasil meyakinkan saya untuk merapat sebagai tim Mars, alias pendukung Kelvin.  Maaf ya, Mila ^_^.
fotonya dari https://id.bookmyshow.com/blog-hiburan/review-film-mars-met-venus-part-cewe/
Bukan hanya akting Ge Pamungkas yang lebih total yang membuat part cowok ini terasa lebih menarik, tapi juga alur cerita dan rasa yang dibangun lebih kuat.  Sebelumnya saya membayangkan kalau persahabatan Kelvin dengan teman-temannya adalah persahabatan cowok yang 'sableng', gila dan menjijikan. Kalau sudah menonton part ceweknya, pasti masih ingat adegan gila-gilaan Kelvin dengan teman-temannya di kost-an yang membuat Mila ilfil.  

Tapi ternyata saya salah. Jika Icha (Ria Ricis) dan Malia (Ria Ramadhani)  membuat Mila pusing dan semakin galau, Kelvin malah beruntung. Ia mempunyai banyak masukan dari berbagai sudut pandang teman-temannya bagaimana menghadapi Mila.  Kelvin didorong memikirkan lagi hubungannya dengan Mila dengan berbagai rasa; pait, manis, pedas sampai asin pun. Keempat sahabatnya bisa dibilang spesies 'manusia hancur dan suka meracuni'. Walaupun ada Ibob yang rada ngondek, Steve yang sama-sama 'pusing' dengan pacarnya atau Martin yang urat malunya nyaris putus, Kelvin masih punya Reza (Reza Nangin) yang bijak menengahi opini dari teman-temannya.  Itu yang tidak dimiliki Mila. Seorang sahabat yang  masih punya logika yang jernih dan menyampingkan perasaan. Beruntunglah kalau punya 'sahabatnya pacar' seperti Reza ini. 

Makanya, ketika Mila memilih menjauh dan masih saja direcoki tingkah sahabat-sahabatnya yang pecicilan, Kelvin masih punya keluarga terdekat  yang mengembalikan lagi semangatnya untuk bertahan.  Ini salah satu sisi lain dari sisi tim Mars  yang jujur dan ga muluk-muluk.

sumber foto: https://i.ytimg.com/vi/0NAohDBqMtM/maxresdefault.jpg
Beda dengan tim Venus yang bisa dibilang idealis sekaligus drama queen. Perempuan emang ribet, maunya dipahami tapi susah untuk memahami. Egois memang hahaha *nunjuk bayangan di kaca*.  Faktor perasaan perempuan memang masih dominan daripada logikanya, Walau sebenarnya ga sedikit juga mahluk Tuhan yang indah berjenis perempuan masih punya alur logika yang runut seperti laki-laki. No hard feeling ya, gals. 

Saya jadi mikir, ternyata begitu ya kalau cowok lagi patah hati? Mungkin ga jauh beda dengan pengalaman Kelvin yang bengong ga jelas dan hampir kehilangan semangat hidupnya. Bahkan untuk mandi pun harus diseret keempat teman-temannya.

Salah besar juga kalau yang namanya cowok itu dan ga pedulian, lempeng alias ga punya perasaan, atau  kurang peka, Bagian paling favorit adalah ketika Kelvin bercerita  bagaimana ia tidak bisa menggambar wajah Mila ketika sedang menangis adalah salah satu adegan yang mematahkan opini itu. Penonton juga akan diajak terhanyut merasakan patah hatinya Kelvin yang kelimpungan  saat harus berjarak dengan Mila. Mungkin karena itu juga OST Dulu Kini Nanti yang dinyanyikan Adis Putra terasa lebih menyentuh. 

Surprisingly, kali ini Mars Met Venus juga cukup manis mengangkat isu budaya matriarki yang masih dianut masyarakat Padang secara proporsional. Unsur dramanya lebih terasa selain  dialog-dialog  lucu soal selera makanan antara Mie, nasi, sate dan gudeg.  

Lewat besutannya, sutradara Hadrah Daeng Ratu  dan penulis naskah Nataya Bagya melemparkan filosofi yang menarik dari tukang Mie ayam yang melayani Kelvin dan Mila. Hubungan antara laki-laki dan perempuan akan jadi sebuah harmoni jika diolah dengan cara yang pas. Bukan seperti selama ini yang mengumpamakannya dengan  air dan minyak,  yang selama ini identik dengan unsur kimia yang susah menyatu. Di tangan yang handal meracik,  ternyata bisa jadi kolaborasi rasa yang pas dan enak, bikin ketagihan. Intinya? Kalau ada masalah itu mbok ya, ngobrol dan mau mendengarkan. Jangan ngambek terus ngeloyor begitu saja seperti yang dilakukan Mila. 

Walaupun terasa nyentil, saya tidak ragu ikut  menertawai gambaran betapa ribetnya mahluk Tuhan bernama perempuan. Seperti analogi perempuan agresif vs ga enakan, plinplannya saat memilih makanan yang berputar-putar dan baperan dengan opini yang jujur tapi juga ngambek ketika tahu dibohongi. Gara-gara film ini saya jadi kepikiran buat baca buku Men Are from Mars, Women Are from Venus. Buku ini sudah rilis lama, tahun 1992an, jaman saya masih duduk di bangku SMP kelass 2. Waktu itu buku ini juga cukup lama nangkring di rak best seller. Walau begitu saya belum tertarik buat membacanya,baru sekarang kepikiran. Duh, ke mana aja? :D


Film Mars Met Venus (baik part cewek atau pun part cowok) lewat jalinan cerita drama komedinya secara tidak langsung juga menyentil penonton (khususnya perempuan) kalau yang namanya relationship itu ga selalu muluk seperti sinetron atau cerita-cerita novel. Ah ayolah, hidup itu dinamis. Kalau datar-datar saja malah membosankan. Ga mesti juga perempuan selalu bener dan laki-laki harus ngalah. 
Share:

Friday, 28 July 2017

Review The Doll 2: Film Horor Rasa Psikologis

Enggak tahu kenapa, waktu trailernya wara-wiri tiba-tiba aja saya pengen nonton film The Doll 2 ini. Padahal film hantu ala Indonesia itu bukan pilihan utama buat tontonan saya. Bukan karena alasan bagus atau jelek, tapi efeknya itu, lho. Kesan yang ditinggalkan cukup dalam. Lebih menakutkan dari film hantu ala Hollywood sana. Mungkin karena karakter hantu yang ditampilkan cukup related dengan gambaran cerita-cerita hantu lokal alias urban legend. Jadinya ya bisa dipahami kalau banyak yang nolak  nonton film seperti ini. Hayo, ngaku deh. Iya, kan?

Film Danur yang pernah saya tonton saja memerlukan sekitar dua minggu buat menetralkan bayangan seramnya Mbak Asih hihihi. Terus kok nekat banget saya mau nonton film ini?
sumber foto: bintang.com

Penasaran. Itu saja sih. Dan saya tidak menyesal dengan pilihan saya itu. Yeah, saya menikmati film sepanjang 116 menit ini tanpa  ngintip dari sela-sela jari segala. Walaupun boneka Sabrina milik Kayla (Shofia Shireen) putri dari pasangan Maira (Luna Maya) dan Aldo (Herjunot Ali) ga ada lucunya sedikit pun, sensasi ketegangan yang dihadirkan tetap terasa. Boneka Sabrina ini juga yang jadi medium teror demi teror yang mengusik  Maira. Oh ya,  gimmick kursi goyang berhantu itu yang masih muncul di The Doll 2 juga lumayan bisa bikin kita berkeringat dingin. Untungnya ga pake lama. 


Setelah mengalami kecelakaan dan ditinggal mati Kay putri semata wayangnya, Maira berubah jadi sosok pendiam. Mai masih belum rela  atas kematian putri satu-satunya itu. Makanya, ketika ada bagian dari film ketika seolah-olah Kay kembali hadir ke rumah, penonton seakan digiring jika apa yang dialami oleh Maira itu cuma halusinasi.

Salut deh, sama ide ceritanya The Doll 2  tidak terjebak dengan pakem-pakem film hantu pada umumnya. Biasanya banyak memamerkan tampang-tampang hantu yang jelek dan meneror korban da membuatnya mati pelan-pelan. Ditambah pula efek suara yang mengagetkan sekaligus menyebalkan. Saya lebih merasa The Doll 2 serupa dengan film thriller  teror psikopat begitu. Tapi sebenarnya saya rada deg-degan menunggu kejutan yang akan diberikan oleh film besutannya Rocky Soraya. Suara flush toilet tengah malam atau tv yang tiba-tiba menyala plus boneka yang suka berpindah dengan sendirinya pun sudah cukup bikin kita parno jika mengalaminya. Ya, kan?

Kehadiran Elsa (Maria Sabta) yang tadinya cuma ingin menghibur Maira agar segera move on malah menyeret Mai, Aldo dan pembantunya, Yani (Ira Ilva Sari) dalam sebuah permainan teka-teki ala anak-anak yang disodorkan oleh hantu Kay. Akting Ira yang ketakutan setengah mati ketika Mai akan menyanyikan tembang jawa yang diyakini bisa mengundang roh juga cukup meyakinkan, lho. Walau sebenarnya buat saya aktingnya Luna Maya yang lebih dominan menghidupkan film ini.

Dengan melibatkan psikolog  Dr Dini (Mega Carefansa) juga paranormal Laras (Sara Wijayanto) dan Bagas (Rhyde Afexi) gagasan film bergeser bukan soal hantu penasaran yang ingin balas dendam.  Memang betul seperti kebanyakan film-film model begini mereka datang untuk alasan menuntaskan kesumatnya.  Akan tetapi dendamnya Kay, ternyata itu dikarenakan kedekatannya dengan Maira semasa hidup dulu. Anak pun bisa merasakan suasana hati ibu tanpa harus bercerita.  Makanya ada umpatan hantu Kay yang bilang begini: "Ini buat Ibu!"

Bukan hanya teka-teki  penyebab kematian Kay tapi juga sekian tahun dibelakangnya ada masalah serius antara Aldo dan Maira yang dibiarkan sehingga meledak bagai bom waktu. Ada  semacam lingkaran benang kusut yang harus diurai  untuk menghentikan teror hantu Kay. 

Di sisi lain saya juga menyadari bila Laras dan Bagas kala menghadapi hantu-hantu pun melibatkan bacaan-bacaan pengusir yang banyak dirapalkan oleh umat Islam. Ini pun cukup menarik. Sebagai orang yang berjibaku dengan dunia mistis, penampilan mereka sangat modern dan gaul. Bukan seperti paranormal cenayang dengan kostum jadul atau atribut khas lainnya yang memberi kesan mistis. Hmmm... memang bener ya, jangan langsung mengambil kesimpulan pada kesan pertama.

Lewat pemainan ala-ala petak umpet dan harta karun, Kay memberikan isyarat kunci permasalahannya pada Maira.   Setelah bermain sok misterius, akhirnya Kay lebih intens muncul. Adegan kejar-kejaran Kay dengan objek buruannya, tusukan-tusukan benda tajam dan berdarah-darah serta tubuh-tubuh yang babak belur dibanting emosi Kay  termasuk adegan yang cukup membekas. Makanya, tanpa adanya adegan intim, film ini tetap dilabeli 17+ karena alasan itu tadi.  

Momen yang paling saya sukai adalah ketika Mai berdialog dengan Kay. Sayangnya ekspresi hantu Kay sangat datar. Seakan-akan Mai cuma ngomong sama boneka, bukan arwah anaknya yang suka bercanda dan manja. Kalau saja Kay bisa meleleh  dengan ekspresi childishnya mungkin saya bakal  mewek dibuatnya. Tapi mungkin Rocky tidak ingin membuat film ini jadi melow sih, ya.

So pesan film The Doll 2, adalah tentang menyelesaikan masalah tanpa masalah (kok kayak tagline instansi keuangaan yang itu, ya?) kesimpulanya begini. Menyelesaikan masalah tidak harus selalu dibayar tunai dengan nyawa. Apa bedanya kita dengan mereka yang sudah jahat sama kita kalau melakukan hal yang sama? Bila kita berbesar hati menepikan dendam, akan lebih mudah pula bagi kita mengakui kesalahan yang pernah kita lakukan bahkan untuk kesalahan yang tidak kita sadari.

Ini lho yang saya suka dari film The Doll. Bisa saja kita menumpahkan kesalahan pada orang lain untuk masalah yang terjadi. Tapi sangat mungkin sekali kita juga punya peran memicu hadirnya masalah itu.

Ah ya, walaupun diberi judul The Doll 2, film ini mempunyai cerita tersendiri dari film sebelumnya. Kalau sebelumnya belum sempat menonton The Doll, it's ok. Aman saja kok, kita tetap bisa menyimak alur film ini tanpa harus mengerutkan kening karena tidak mengerti. Palingan di awal cerita kita sempat dibuat bertanya-tanya, ada hubungan apa antara masa lalu Laras  di film pertama dengan kasus yang menimpa keluarga Aldo. 



  
Share:

Monday, 17 July 2017

Review Film Filosofi Kopi 2: Kopi dan Orang Ketiga

Sejak trailer Film Filosofi Kopi mulai wara-wiri di  youtube dan bioskop, saya langsung menandai. Harus nonton film ini. Eksplorasi yang dalam tentang filosofi dibalik sajian secangkir kopi bikin saya penasaran. Jarang loh ada film yang punya gagasan di luar pakem yang ga jauh-jauh dari cerita cinta melulu. Walaupun bukan seorang pecandu kopi, apa yang disajikan di sequel sebelumnya membuat saya kepincut. Ada filsafat menarik tentang kopi, mengangkat tema kuliner sabagai nyawanya film. Makanya saya  sempat berharap Filosofi Kopi 2 yang tayang sekarang bisa membuat saya makin ngefans. Ya filmnya, ya aktingnya Chico juga :). 

Saran saya nih, kalau belum nonton Filosofi Kopi  (selanjutnya kita sebut Filkop aja, ya) sebelumnya, coba deh cari di aplikasi film Hooq. Ada kok. Kenapa saya sarankan untuk nonton dulu? Karena dalam beberapa adegan, kita akan lebih mudah memahami konflik yang muncul kenapa begini kenapa begitu kalau sudah nonton Filkop 1.  

Ceritanya setelah keliling Indonesia, Ben (masih dimainkan oleh Chico Jericho) dan Jody (Rio Dewanto) memutuskan kalau Filosofi Kopi, brand kopinya mereka kembali dalam format semula. Menetap di sebuah kafe, bukan nomaden dengan jalan-jalan pake VW Combinya itu. Sempat 'ditodong' oleh 3 kru pendukung Filkop yang menyatakan untuk mundur yaitu Nana, Aldi dan Aga (belakangan Aga ternyata batal mundur), Ben dan Jody tetap geming dengan keputusannya. Filkop konsep baru tetap jalan. 

Masalah investor sebagai syarat agar Filkop tetap eksis tidak menemukan masalah serius seperti sebelumnya. Walau sering ribut dengan prinsip masing-masing, Ben dan Jody akhirnya sepakat untuk menerima kehadiran Tara (Luna Maya) sebagai investor utama. 

Kalau Jody akhirnya bisa luluh dengan  komposisi kepemilikian saham (ini juga ga lepas dari kepintaran Ben meyakinkan Jody), lain halnya dengan Ben. Pergantian barista yang bahkan ketika Filkop masih mengusung konsep nomaden jadi hal yang ribet. Ben si Mr Perfecto punya idealisme sendiri untuk mendapatkan asisten baru yang satu frekuensi dengan dirinya. Sampai kemudian hadirlah Sabriana alias Bri (Nadine Alexandra). Walau tidak pernah ngeklop, Bri adalah tipikal rebelious,  pembangkang alias ngeyel. Tidak peduli dengan kesinisan Ben,  Bri  cuek ga pundungan oeh bully-an Ben. Saran saya kalau parno dengan 'bullying' di tempat kerja,  bisa nih nyontek masa bodohnya  Bri.  

Filkop kembali eksis  dengan hadirnya Tara sebagai investor? Harusnya iya. Tapi di sini lah mulai muncul percikan  konflik. Saat Ben harus pulang ke Lampung, ia menemukan fakta kalau Tara  terkait dengan trauma Ben di masa lalu yang melibatkan  ayahnya. Tiba-tiba mengusik Ben dan kecintaannya pada kopi. Persahabatannya dengan Jody pun di ambang keretakan. Uang bisa jadi solusi tapi gara-gara uang juga bisa jadi pemicu friksi.

Filkop jadi terombang ambing. Hidup segan, mati tak mau. Mau jalan ogah tapi sayang juga kalau harus ditutup. Padahal Filkop baru saja melebarkan sayapnya dengan membuka cabang di Yogya dan menjajaki Makasar sebagai cabang berikutnya. Siapa yang bisa menjamin persahabatan bisa stabil kalau tidak bisa menyisihkan ego?  Apalagi kalau udah beruruan sama uang.  Filkop ini contohnya.

Ketika Ben memutuskan untuk melepaskan diri dari Filkop dengan mencari investor lain, jalannya tidak mulus seperti halnya saat  menemukan Tara.  Kalau sebelumnya Jody yang selalu meributkan 'cuan' alias keuntungan, kini gilira Ben yang harus memutar otak mencari uang yang banyak agar bisa lepas dari sakit hatinya pada Tara.

Di Filkop 2 ini, alur konflik lebih fokus menyentuh sisi personil setiap karakter. Tanpa mengabaikan kopi sebagai gagasan utama film,  drama cinta yang melibatkan Ben dan Jody jadi isu untuk mengalihkan krisis yang terjadi. Ben tiba-tiba lumer dan merasa nyaman dengan Tara, dan Jody jadi dekat dengan Tara.

Persamaan  kedekatan di antara mereka di mata saya? Tidak ada pernyataan secara verbal, "Oke, kita jadian."  Ah, mungkin karena saya perempuan. Jadi gemas melihatnya. Kok ga ada penanda yang jelas? Itu jadian beneran dari hati atau emosi sesaat sebagai pelarian masalah? Lebih cocok sebagai hubungan tanpa status buat saya. Ah untunglah ini film, bukan versi sinetron yang susah selesainya :).

Di mata saya, Filkop 2  harusnya jadi greget dan meninggalkan 'rasa baru' buat para penikmat filmnya. Saya tidak menemukan sesuatu yang  membuat saya terbayang terus setelah menontonnya, selain quote "Setiap hal yang punya rasa pasti punya nyawa". Padahal saya berharap Chico bisa menghadirkan sisi unik lainnya dari karakter Ben.

Walau suka dengan sikap pembangkangnya Bri, saya merasa chemistry Bri dengan Ben masih nanggung. Sama kagoknya juga dengan sinyal-sinyal yang hadir diantara Jody dan Tara. Ya namanya juga cinta dilatari insiden. Mungkin begitu. Lalu kehadiran Ernest sebagai cameo di sini pun tidak banyak berperan memberi ruh film selain penegasan kalau Jody adalah sosok 'Gober' yang emang udah pelit dari dulu. Penyelesaikan konflik dalam film pun membuat saya merasa seperti ada puzzle yang hilang. Dengan durasi 108 menit, film besutannya Angga Dwimas Sasongko seakan-akan harus disudahi segera.

Namun, di sisi lain  Filkop 2 memberi kompensasi lain buat penonton. Obrolan antara Ben dan Bri atau Jody dan Tara memberi sedikit informasi lain tentang kopi. Saya juga terpesona dengan keindahan Toraja, naksir dengan desain interior kafe Filosofi Kopi (baik yang di Jakarta atau Yogya), dan beberapa theme song yang hadir. Yaaa walaupun ada beberapa lagu tema berbahasa Inggris rada bertolak belakang juga dengan sifat Ben yang keukeuh kalau kopi lokal  dan konsep yang dimilikinya tidak kalah enaknya dengan kopi ala waralaba  impor. Akan lebih menarik kalau theme song yang dihadirkan  juga 100%  berbahasa Indonesia. Tapi saya ga bisa membantah kalau lagu-lagunya Filosofi Kopi 2 memang enak disimak.

Share:

Wednesday, 5 July 2017

Surat Kecil Untuk Tuhan, Ketika Berdamai Dengan Masa Lalu

Sebelum membaca sinopsisnya, saya sempat mengira film Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT) yang tayang pada Lebaran tahun ini adalah remake atau reboot dari film dengan judul yang sama. Ternyata bukan. Kalau versi sebelumnya (tahun 2011) bercerita tentang perjuangan seorang remaja untuk sembuh dari sakit kanker,  mengambil genre drama yang mengharu biru, film besutan Fajar Bustomi yang sekarang ini memotret sisi lain kehidupan anak jalanan.

SKUT dibuka dengan adegan pertengkaran dan kekerasan yang dilakukan oleh paman kepada bibi dari dua bocah kakak beradik Anton (Bima Azriel) dan Angel (Izzati Khansa).  Dibayangi ketakutan akan galaknya sang paman, kedua anak yatim piatu  ini nekat kabur dari rumah dan bertemu dengan Om Rudy (Lukman Sardi) , bosnya anak jalanan yang berhasil membujuknya untuk tinggal bersama. 

Makeup,  terutama rambut jabrik dan gimbal plus kumis tebalnya bikin Lukman Sardi terlihat pangling, lho. Perlu waktu sedikit lebih lama untuk mengenali kalau yang main itu adalah beliau, lebih mirip gembel yang rada gila dengan baju lusuh dan tongkatnya itu. Entah itu berlebihan atau justru proporsional, tapi This is not the way  Lukman Sardi used to look (minimal sepanjang pengalaman saya nonton film-fimnya).  Namun track recordnya sebagai aktor kawakan dengan jam terbang yang tinggi terbukti di sini. Penjiwaannya yang dingin dan bengis seperti penjahat psikopat juara, deh.

Sempat beberapa kali menolak dengan halus tawaran Om Rudi, Anton akhirnya menyerah untuk mengikutinya lantaran tidak tega melihat adiknya yang kelaparan. Sebuah keputusan yang kemudian menjerat mereka dalam sindikat eksploitasi anak jalanan yang mengamen dan mengemis di jalanan.  

Dunia anak-anak yang sederhana hanya ingin bermain menjadi sesuatu hal yang mewah bagi anak-anak buah Om Rudi. Jika Anton bisa mengubur keinginannya, tidak bagi Angel yang sempat ketauan melanggar aturan. Di sini peran Bima sebagai Anton sebagai kakak yang sangat melindungi adiknya rela 'menumbalkan' dirinya hanya agar Angel lolos dari hukuman bisa mengundang derai air mata. Salah satu adegan yang sempat membuat saya menahan nafas dibuatnya.

Sementara  untuk potongan anak jalanan, pakaian yang dipakai Anton dan Angel masih layak disebut pakaian anak rumahan. begitu juga dengan wajahnya yang cukup bersih untuk ukuran anak-anak jalanan. 

Ditengah-tengah 'kejaran setoran' dan ancaman siksaan dari Om Rudi, Anton dan Angel melalui pahitnya kehidupan jalanan dengan tabah dan berjanji untuk selalu bersama. Sampai kemudian ketika terjadi sesuatu pada Angel membuat mereka terpisah.

Kalau Anton menghilang tanpa jejak, alur film  yang berdurasi selama 125 menit kemudian berfokus pada masa lima belas tahun kemudian, pada masa dewasa Angel (diperankan oleh Bunga Citra Lestari a,k.a BCL). Angel  tinggal bersama orangtua angkatnya (Maudy Koesnadi & Joeroen Lezer) di Australia. 

Angel yang menggeluti dunia hukum bertemu dan  jatuh cinta dengan Martin (Joe Taslim).  Martin seorang dokter yang punya masalah dengan jantungnya sukses membuat Angel jatuh cinta dan mau menikah.  Angel yang sesungguhnya tidak bisa menampik hati, pesona dan kebaikan Martin tidak siap sepenuhnya karena sepanjang hidupnya dibayangi kenangan akan Anton hingga membuatnya memutuskan  kembali ke Indonesia untuk mencari jejak Anton.

Saat di Indonesia inilah Angel bukan saja dihadapkan pada teka-teki keberadaan Anton saja. Bayang-bayang masa lalunya satu persatu hadir dan melibatkan masa lalu Martin hingga membenamkannya dalam sebuah dilema baru.

Didominasi dengan latar   suram yang memberi rasa kesedihan yang dominan di banyak adegan, SKUT membuat saya merenung lagi tentang keberadaan anak-anak jalanan. Dalam banyak kesempatan, saya sering memilih untuk tidak memberi mereka sekadar receh dengan alasan memberi 'pelajaran'. Hmmm... pelajaran, ya? 

Bagaimana kalau seandainya anak-anak jalanan itu  bukan saja berjudi dengan waktu mencari receh demi receh hanya agar tidak dimarahi atau disiksa 'bosnya'? Bagaimana kalau mereka tidak tau sampai kapan bisa melihat matahari terbit dan bernafas lagi? Bagaimana kalau besok lusa tidak bisa keluar lagi karena jadi korban 'child traficking'? Bagaimana dengan mafia yang ada di belakang mereka dan lingkaran setan yang siap memerangkap mereka dalam lingkaran kejahatan lainnya seperti penyalahgunaan obat terlaang atau prostitusi? Huhuhu... saya merasa ga ada apa-apanya karena ga bisa berbuat banyak selain merasa kasihan.

Kondisi itu juga yang dialami Angel dewasa. Walau tau itu yang jadi ancaman bagi anak-anak jalanan, ia tidak bisa berbuat apa-apa menolong anak-anak di jalanan. Terlebih lagi tenaga dan pikirannya tersita untuk mencari jejak Anton.

Menyeret Ningsih (Aura Kasih) dan Asep (Rifnu Wikana)  yang pernah jadi anak buah Om Rudy, dan dibantu seoran polisi (Ben Joshua),  Angel juga membuat luka-luka lama orang lain disekitarnya kembali terkoyak.  Di sini saya terkesan dengan karakter Asep, seorang mantan preman yang ingin menjadi orang baik namun dikejar bayang-bayang masa lalunya yang mencekam. Walau memiliki garis muka yang terkesan keras dan sangar, ekspresi kecemasan dan tertekan dari aktor yang wajahnya seperti kloningan Bimbim Slank di masa mudanya ini bermain dengan baik.

Di sisi lain saya juga terpesona dengan akting Joe Taslim yang kali ini bermain untuk film bergenre drama. (FYI, di luar film La Tahzan, Joe lebih dikenal sebagai aktor laga). Walau tidak biasa, pergeseran warna akting yang dimainkannya cukup apik. Aksen Inggrisnya  yang cukup kentara tidak membuat dialog Joe Seolah kagok berbicara,  baik ketika  di posisinya sebagai dokter  yang ngobrol dengan pasien atau sebagai kekasihnya Angel. 

Sayangnya chemistry BCL dengan Joe Taslim di film ini serasa nanggung (untuk tahun 2017 ini akting BCL di film Moon Cake Story lebih ngena buat saya). Justru chemistry antara Aura Kasih dan Rifnu Wikana membuat saya simpati dan sukses membuat saya  merasa tidak tega kalau Asep harus menghadapi konsekuensi akibat kasus yang dibongkar oleh Angel. 

Jika buat sebagian orang melupakan masa lalu semudah menutup buku, menimbunnya di suatu tempat bahkan kalau bisa menenggelamkannya ke dasar lautan paling dalam, bagi yang lainnya masa lalu seperti bayangan hantu yang terus mengikuti sepanjang  hidup. Mau tidak mau harus diselesaikan apapun risikonya. Ada yang harus rela menghadapi situasi di mana masa lalunya terputus begitu saja tanpa jejak. Ada yang harus menebus kesalahannya, atau bahkan berbesar hati bersiap melepaskan masa depan karena rasa bersalah yang teramat besar. 

Didukung juga oleh akting dari aktor melayu kawakan Chew Kin (yang jadi bapaknya Ernest di film Cek Toko Sebelah itu lho), SKUT jadi satu-satunya film bergenre drama paling sedih di antara  4 film lebaran lainnya yang tayang untuk tahun ini. Walau  mengusung pesan moral yang baik akan keutuhan keluarga dan hubungan adik kakak yang menyentuh, sayangnya film ini mengandung adegan yang belum saatnya disaksikan anak-anak. Makanya, jika bersikeras memenuhi keinginan anak-anak untuk menonton film ini, siapkan jawaban terbaik untuk memberikan pemahaman.   

Anyway, lagu Ambilkan Bulan Bu dan Dengan Menyebut Nama Allah jadi garapan tata musik yang paling saya suka di sini, paling ngena ke hati.
Share: