Menulis buku memang bukan hal yang mudah. Apalagi kalau untuk pertama kalinya. Harap cemas atau ekspektasi seperti "Saya bisa selesaikan bukunya nggak, ya?" "Bakal ribet nggak ya, editingnya?' dan sederet pertanyaan lainnya tiba-tiba jadi riuh di kepala berloba-lomba menyampaikan opini dan argumen.
Pernah atau mengalami hal seperti itu? Tenang. Kamu nggak sendiri. Tapi bukan berarti ini pembenaran semacam "ya udah deh, emang aku tuh nggak bakat" atau alasan lain: "tuh kan, emang susah."
Hei, kalau tidak mencoba emang bakal seperti itu? Gimana kalau yang terjadi sebaliknya? Nih saya mau ceritain satu sosok yang bisa mendobrak alasan seperti itu. Semacam 'ah susah, ah nggak bakat, dan ah-ah lainnya."
Let me tell you. This guy has made his first book. Nunggu buat mewujudkan cita-cita nulisnya sejak usia 15 tahun. Uniknya latar belakangnya sekarang itu tidak nyambung sama dengan dunia nulis fiksi.
Jadi beberapa hari yang lalu saya dateng ke acara booktalk-nya Edwin Lucas. Pria yang berkarir sebagai pengusaha ini meluncurkan novel perdananya "Unfinished Business"
Saya bertanya-tanya. Ini sama nggak ya sama quote CLBK alias Cinta Lama Belum Kelar itu? Hihihi nanti soal isi buku ini saya ceritakan terpisah ya.
Acara yang berlangsung di area Semesta Buku Gramedia Sumarecon Bandung lantai 2 ini dikawal oleh seorang kawan blogger, Eva Sri Rahayu, Sebelum acara dimulai Eva membacakan nukilan dari prologue novelnya. Begini:
Seumur hidup aku selalu mengira bahwa papa adalah musuh terbesarku. Sosok monster yang harus kukalahkan lewat pertempuran di dunia bisnis. Semua berawal dari satu malam mengerikan yang lebih mencekam dari mimpi buruk.
Sebenarnya masih ada penggalan paragraf berikutnya yang dibacakan. Pada paragraf selanjutnya yang dibacakan oleh Eva, sosok Sofia sebagai main character di novel ini tersulut dendam dan patah hati pada sosok ayahnya. Bukan saja karena .pergi meninggalkan Sofia dan ibunya tapi juga tergoda oleh wanita lain. Kondisi ekonomi yang tidak menyenangkan menjadi dalih bagi papanya untuk meninggalkan Sofia dan ibunya.
Terinspirasi dari Pengalaman
Saya membayangkan Sofia menjelma jadi super hero seperti power ranger pink yang bertempur melawan papanya hahaha.
Surprisingly Edwin menuturkan ceritanya dengan tutur yang luwes, tidak terasa kecanggungan layaknya seorang penulis debutan. Pilihan diksinya dari prologue juga secuil bagian lain dari novel yang saya baca sudah meyakinkan buat saya untuk segera menyelesaikan novel bersampul menggemaskan ini.
Bagi sosok berkaca mata ini, menulis buku tentang bisnis mungkin bukan hal yang aneh baginya. Tapi menulis fiksi adalah sesuatu hal lain yang menantang sekaligus mewujudkan cita-citanya sejak masih SMP. Mungkin antara 15-20 tahun mimpinya baru terwujud.
Novel Unfinished Business ini terinspirasi dari pengalaman pribadi dan orang-orang di sekitarnya. Yang unik dalah sosok Sofia dan lawannya, Patrick masih seusia-an anak SMA. Situas ekonomi yang dulunya 'tidak punya' dianggap sebelah mata yang mendorong Edwin yang dulu untuk menjadi orang sukses.
Pun begitu situasi yang dialami oleh Patrick yang menuntutnya menjadi pengusaha. Edwin yang terdorong untuk membuktikan dirinya bisa sukses akhirnya berani mengambil tantangan itu dan menjadikannya sebagai seorang pengusaha.
Motivasi Edwin yang ingin sukses dan tidak ingin direndahkan membuatnya menjadi menyukai bisnis. Begitu pun dengan karakternya yang semakin teruji.
Dunia binis sebetulnya bisa melatih kita menjadi orang yang baik selama kita punya pemahaman yang tepat
Dirty money kerap identik dengan dunia pengusaha. Lewat novelnya ini, Edwin ingin menepis anggapan seperti itu. Tidak semua pengusaha punya label demikian dan menempuh cara yang kotor. "Saya tidak bohong kalau mau sukses cepet cara-cara yang haram bisa mempercepat. Wah itu bisa mendapatkan uang yang banyak dan cepat. Kuncinya adalah sabar, tidak tergoda-goda untuk sukses," tambahnya.
Meski pun novel ini adalah novel perdananya, Edwin yang berprofesi sebagai terbiasa dengan riset. Seting kota Malang yang jadi latara novelnya membuat dirinya sungguh-sungguh menyambangi kota ini dan menuangkan langsung suasana yang ingin dibangunnya dalam cerita. Semisal datang ke kafe, Edwin turut mencicipi cita rasa menu sambil merasakan ambience saat berada di dalam kafe.
Hmmm pantesan saja waktu saya baca part cerita Sofia hijrah ke Malang, saya merasa turut ikut berada di sana lho. Seakan-akan saya menjelma menjadi Yelena, teman barunya di Malang yang segera menjadi sahabat bagi Sofia.
Menepis Stigma
Hal menarik lainnya yang diangkat dalam novel ini adalah soal perbedaan ras antara Sofia dan Patrick. Edwin merasa pentingnya membahas perbedaan ras dalam novelnya. Pengalamannya di masa lalu juga mendorong dirinya untuk berani mengangkat isu ini. baginya perbedaan mencolok seperti ras, warna kulit sampai agama bukan penghalang dalam berinteraksi.
begitu juga dengan latar sosok Sofia dan yang masih sekolah (SMA) dalam novel ini bagi Edwin bukan masalah dan bukan hal yang tidak realistis.
Baginya kalau mau sukses jadi pengusaha tidak melulu harus menempuh jenjang pendidikan yang tinggi dulu. Padahal banyak pengusaha sukses yang tidak menempuh pendidikan yang tinggi. Edwin menyebut contoh seperti Eka Cipta. Pendiri grup Sinar Mas ini hanya punya ijazah SD saja. Begitu juga dalam keluarganya yang tidak kuliah bisa berhasil sebagai pengusaha.
"Jangan karena umur kita cari alasan: Nggak mungkin saya sukses. Itu realistis, kok. Ada contohnya," Edwin mengimbuhkan jika anggapan anak SMA tidak bisa bisnis harus ditepis.
Pandangan untuk menjadi pengusaha harus sekolah dulu tidak harus selalu demikian. Menurutnya, sukses tidak memandang umur selama tidak sembrono menjalankan bisnis.
Sosok Patrick yang masih SMA dalam novel diangkat menjadi pewaris usaha keluarganya juga ia temukan dalam kesehariannya. Sosok teman yang ia kenal dengan baik tidak jauh dari apa yang dialami oleh Patrick. Menjadi pengusaha dalam usia remaja karena tuntutan keadaan. Justru saat masih muda membuat ia tidak menunggu berlama-lama untuk mencapai kesuksesan.
"Papahnya yang menwariskan, ya udah papahnya bosnya kok. Mau diserahkan dari sd, kalau papahnya bilang ya semua nurut. tapi ini bukan di pemerintahan lho. ya," ujar Edwin. Mari kita garis bawahi, warisan penguasaan hanya berlaku dalam dunia bisnis. Bukan dalam segmentasi karir politik ya :)
Romance vs Bisnis
Acara ditutup dengan games CEO Challange. Kami yang hadir di acara itu diberikan lemar soal berisi 3 niche soal permasalahan bisnis yang dibagikan secara acak, yaitu bisnis kuliner, bisnis skin care dan IT yang kesemuanya sedang kolaps dan harus diselamatkan dari ancaman kebangkrutan.
Dalam kesempatan ini kami berperan sebagai CEO yang sedang pitching dengan investor untuk menanam modal dengan argumen yang meyakinkan. 3 dari audiens yang hadir, maju menawarkan masing-masing solusinya.
Setelah penyampaian solusi dari peserta Edwin pun memberikan tanggapan bagaimana penawaran yang disampaikan. Bukan saja soal solusi yang ditawarkan tapi juga bagaimana cara kita mempresentasikan jadi poin yang diperhatikan, sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan oleh kami yang hadir saat itu. Cara berbicara dan gesture juga jadi hal yang tidak boleh dilewatkan dalam dunia nyata
Dalam diskusi hari itu Edwin pun berharap penyampaian edukasi bisnis lewat novel lebih mudah dicerna dibanding dengan cara penulisan non fiksi.
Penekanan drama yang ditulisnya, Edwin memberi porsi lebih banyak untuk bisnis dengan komposisi 60-70% untuk drama bisnisnya dan selebihnya untuk alur cerita romance. Hal ini pun tidak lepas dari tujuannya menulis untuk mengedukasi bisnis lewat novel.
Alasan yang masuk akal buat saya. Coba kalau ditanya berapa banyak yang kita hapal dari text book yang kita ingat diluar kepala? Mungkin dengan tebal yang sama kita lebih mudah ingat dan bisa menuturkan kembali isi dari novel (fiksi) yang kita baca. Begitu kan, ya?
Sebagai pembaca kita mendapatkan dua hal sekaligus. Hiburan romance yang menggelitik dan insight dunia bisnis yang tidak kita dapatkan dalam keseharian.
Bagaimana, masih punya argumen untuk tidak menulis? Sedikit tips dari Edwin, mulailah menulis dari hal terdekat di sekitar kita.