Jam 14.00 tepat, saya masih terjebak dalam kerumunan orang yang lalu lalang di trotoar Jalan Braga, mencari di mana letak Grey Art Gallery. Setelah mengecek di Google Maps, ternyata posisinya tidak jauh dari Jalan Kejaksaan. Sekali lagi, saya melirik jam yang tertera di layar HP. Semoga acaranya belum dimulai.
Fiuh, lega banget deh, setelah berhasil menemukan letak Grey Art Gallery ini. Saya sering lewat sini, tapi kok nggak ngeh, ya?
Di halaman gedung saya disambut panitia yang menunjukkan arah ke lokasi acara melalui tangga yang harus saya turuni. Jangan bayangkan kalau tempat ini adalah tempat yang gelap dan jadul. Meskipun ada di kawasan heritage, suasana artistik modern tetap saya dapatkan.

Venue acara yang digunakan di sini kurang lebih seperti amfiteater mini. Di salah satu sisinya ada celah terbuka yang membiarkan cahaya dari luar bisa masuk. Saya dibuat terpesona!
Tidak lama setelah mencari posisi yang nyaman, acara segera dimulai. Ah iya, walau agak telat sampai, saya bersyukur tidak ketinggalan pembukaan acaranya :)
Siang itu, Eva, salah satu dari penulis novel Born – Sanghara, membacakan penggalan dari novel itu:
Sebagai generasi yang hidup dalam ketakutan, kepalaku selalu dipenuhi tanya. Adakah masa depan? Namun ternyata cerita pun terus bergulir, bertualang dari satu tempat ke tempat lain dalam pengejaran. Buronan yang menyembunyikan identitas dari semua orang atas dosa menyalakan api kecil bernama harapan. Sanghara – sebuah perjalanan dari akhir dunia.
Opening yang nge-hook ini sudah memberikan petunjuk kalau novel Born – Sanghara ini adalah novel fiksi fantasi dengan tema distopia. Dunia di ambang kehancuran. Pikiran saya melayang-layang pada berita perang antara Iran dan Israel yang saling berbalas mengirim rudal. Kekhawatiran akan terjadinya Perang Dunia Ketiga sempat juga menghinggapi pikiran saya. Duh, jangaaan.
Proyek Kolaborasi 4 Penulis
Tadinya saya mengira kalau buku Born – Sanghara ini adalah proyek antologi. Tapi ternyata saya salah. Empat penulis yang terdiri dari Max Aditya M. Dimas Fani Praseetyo, Eva Sri Rahayu, dan Noviansyah Suhendar menulis novel ini dalam waktu 3,5 bulan. Novel ini menceritakan akhir dunia yang hancur setelah dilanda peperangan. Judul Sanghara ini sendiri diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti kehancuran.
Keempat penulis ini punya latar yang berbeda, tapi malah membuat ceritanya menjadi unik. Misalnya Max, yang dulu aktif di lingkungan budaya seni mahasiswa, punya latar belakang ekonomi dan menyukai musik blues serta rock & roll. Lalu ada Dimas yang menyukai mainan dan dunia miniatur. Latar dari Dimas ini juga turut berpengaruh dalam menggambarkan detail imajinatif seperti kaktus yang bermutasi dalam novel Sanghara.
![]() |
Marwah, salah satu audiens yang membacakan imajinasinya dalam challenge mahluk mutan versinya |
Saya sendiri mengenal Eva lewat novel-novel remajanya, dan kini sedang menggarap proyek fiksi fantasi Setra Sagara bersama timnya. Penulis keempat, yaitu Noviansyah, merupakan konten kreator musik sejak 2008 dan juga pernah menulis naskah untuk acara Ini Talk Show, Sketsa Trans TV, dan beberapa sitkom di televisi.
Dunia Setelah Perang Nuklir
Dalam novel ini diceritakan jika penduduk bumi hanya tersisa 30% saja. Seperti halnya satwa-satwa yang bermigrasi untuk mencari tempat yang aman, manusia pada masa ini juga berkumpul di satu pulau untuk bertahan hidup, meninggalkan daratan lain yang sudah tidak bisa dihuni lagi. Sayangnya, di sini mereka bukannya rukun memulai peradaban baru, tapi tetap melakukan peperangan untuk saling melenyapkan.
Jika minyak bumi jadi emas hitam primadona saat ini, pada masa itu air menjadi komoditas yang mahal. Frederick, penguasa tirani dari Praja, menguasai sumber kehidupan ini. Bahkan air hujan yang turun pun harus diolah lagi agar layak dikonsumsi.
![]() |
Teteh MCnya seru bikin betah ikutin acaranya |
Duh, kebayang kan gimana hidup tanpa air? Pernah nih, satu waktu aliran air di rumah saya mati. Air di bak habis, di torn pun tidak bersisa. Rasanya tidak berkutik karena tanpa air tidak bisa beraktivitas :(
Sambil nunggu kiriman air dari penjual jerigenan, saya ngajak adik numpang mandi ke masjid dekat rumah :).
Kediktatoran dari Frederick ini pun memicu revolusi yang dipimpin oleh Baldwin, Bennedict, dan Profesor Oza. Mereka memang berhasil menumbangkan tiraninya Frederick, tapi kemudian hilang arah, hingga ambisi Baldwin menghadirkan bencana baru berupa terciptanya makhluk mutan. Efek yang ditimbulkan menciptakan kengerian baru yang mencekam dan memantik revolusi baru.
Menjaga Kekompakan Agar Tetap Solid
Memang nggak mudah untuk menyatukan isi kepala yang berbeda. Dua orang saja sudah bikin mumet. Tapi Eva dan ketiga temannya tetap menjaga irama agar proyek penulisan Born – Sanghara ini tetap berjalan. And they did it!
Saya dan pengunjung dibuat senyum-senyum ketika salah satu penulis bercanda bahwa agar brainstorming tetap jalan, harus nunggu salah satunya yang belum bangun tidur. Saling percaya jadi kata kunci untuk menjaga kekompakan agar pengerjaan novel ini berjalan lancar.
![]() |
Sesi book signing |
Ssst... selain akan terbit buku kedua, novel ini juga akan divisualkan dalam bentuk film, lho. Can’t wait! Sambil nunggu lanjutan buku keduanya, buku kesatu dari Born ini wajib jadi salah satu bacaan teman-teman.
Good luck buat para penulis. Ditunggu buku keduanya. Jangan lama-lama, ya!
0 Comments:
Post a Comment
Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.