Sunday, 30 June 2013

Akhir yang Indah

Entah keberapa kali saya menemukan makna "everything happen for a reason". Ya, selalu tidak pernah ada kebetulan.

Seperti pagi tadi, 'kebetulan' itu saya temukan, dan saya terlibat di dalamnya. Minggu pagi tadi, setelah 3 minggu absen, saya kangen banget pengen ngaji. Kalau minggu-minggu sebelumnya pengajian biasanya digelar di masjid Al Murasalah Telkom, Geger Kalong. Tapi tidak pagi tadi. Biasanya, pengajian dipindahkan tempatnya karena memang sudah diagendakan atau Telkom sebagai tuan rumah punya hajatan. Jadi, singkat cerita, hari ini pengajiannya digelar di Masjid At Taqwa, enggak jauh dari masjid Daarut Tauhiid (DT). Ah, ya kalo ngomongin DT ada banyak kenangan tertinggal di sana. Sejak SMP saya sudah mengenal DT dan ibu saya susah payah "menggusur" saya supaya mau ikutan Sanlat selama liburan. Masa lalu yang enggak pantas dicontoh, ya.

Nah, balik ke pengajian tadi, begitu memasuki pelataran masjid, saya heran ketika mendengar panitia mengumumkan sesuatu. Samar-samar saya mendengar panitia menyebut shalat jenazah. Errrr, saya ga salah acara, kan? Saya meyakinkan diri, para pedagang yang rutin mengisi bazaar pengajian MPI emang udah saya hafal wajah-wajahnya.

Akhirnya, saya baru 'ngeh' kalo dalam waktu yang bersamaan ada warga setempat yang meninggal. Jadi, sebelum acara dimulai, akan diadakan dulu shalat jenazah. Setelah shalat jenazah selesai, barulah acara dimulai.
gambar ngambil dari sini

Saya yang masih punya wudhu sejak pergi dari rumah, jadi tidak perlu melipir dulu ke belakang untuk berwudhu. Masya Allah, yaaaa. Allah sudah punya rencananya. Enggak ada yang kebetulan, apa yang terjadi hari ini sudah diatur Allah. Saya pernah dengar kalau seseorang yang meninggal dishalatkan oleh 40 orang dosa-dosanya akan diampuni Allah. Jamaah pengajian yang menshalatkan almarhumah (belakangan saya tau yang meninggal adalah seorang wanita dari pesan yang disampaikan perwakilan keluarga) lebih dari itu.Dengan massa yang rutin menghadiri pengajian Percikan Iman bikin  saya merinding. Tidak seperti biasanya, apalagi saya tidak tahu sama sekali siapa almarhumah. Padahal, saya sering memperhatikan, saat seseorang meninggal saja, belum tentu kerabat atau tetangga terdekat tergerak hatinya untuk ikut menshalatkan. Lalu, bagaimana dengan hari ini? Saya dan yang hadir tadi (kecuali saudara dan tetangga) juga tidak mengenal sama sekali.

Pastilah almarhumah punya kebaikan semasa hidupnya sampai Allah menghadiahkan saat indah seperti tadi pagi. Ah, saya selalu berpikir, bagaimana kalau saya meninggal nanti? Ada berapa banyak orang yang menshalatkan saya? Apakah orang-orang menangisi kepergian saya, atau malah bersorak senang? Naudzubillah....

Sebuah pelajaran berharga, apalagi moderator juga mengimbuhkan dalam komentarnya sebelum kajian. "Semoga saat kita meninggal, kita meninggalkan mereka yang menangisi kita dengan tersenyum bahagia. Bahagia kembali kepada Allah karena melaluinya dengan Khusnul Khatimah."

Aamiin.


Share:

Saturday, 8 June 2013

Ketika Pangeran Cassava Jatuh Cinta

gambar ngambil dari http://sro.web.id/
Minggu menjelang petang, setelah wara wiri dari toko buku di sebuah pusat perbelanjaan aku dan teman berniat segera pulang.

Kami  urung pulang, terhadang hujan yang deras mengguyur kota Bandung. Sambil menunggu hujan reda, temanku mengajak berbelok ke sebuah resto franchise. Aku batal memesan minuman karena yang tersedia hanya minuman bersoda saja.

Tidak ada tempat yang tesisa kecuali sebuah pojokan dengan sofa memanjang yang menyisakan tiga seat kosong. Baru saja kami duduk,  sebuah suara membuat kami menoleh melirik sumber suara.

“Lu adalah cinta sejati gue,” oh lalala Bona gajah kecil temannya Bobo itukah? Bukan…. Lalu,  ada yang lagi latihan teater kah?

Oh, bukan sama sekali. Bukan juga dua kali atau tiga kali.

Seorang cowok berbadan tegap, berkemeja rapi sebrang kursiku,  dengan jarak sekitar setengah meter itu masih cukup terdengar jelas. Ia lalu menggamit jemari seorang cewek bertampang ayu, mirip artis Mona Ratuliu,yang duduk di depannya.

Reflek cewek itu menarik lengannya.

Aku memperhatikan cowok itu, beberapa tato dengan warna warni mejeng dengan ‘kerennya’ di leher dan lengan kirinya.

Aku jadi teringat kenangan masa kecil.  Dulu ada permen karet yang berhadiah tato temporer , atau… permen dengan rasa meriah yang bisa membuat lidah kita warnanya jadi enggak karuan.

Sontak, radarku begerak, menyesuaikan sinyal dengan frekuensi yang lebih pas. Ah, klik. Aku dan temanku ngikik sambil senyum-senyum nyimak Pangeran Cassava yang sedang beraksi.

Nah siapa yang jadi korban? Cewek dengan arah 2 dari posisi tempat dudukku itu? Hohoho… Sepertinya bukan wahai  saudara-saudara sebanga se tanah air sekalian.

Nah, kembali ke TKP….

“Lu tau ga? Waktu smp, sma gue terkenal banget lho.”

*Ciyus? Miapa?*
Rupanya cowok ini belum sembuh dari penyakit post populer syndrome-nya. Ah, kalau pinjem kamusnya Andrea Hirata,ada di urutan ke berapa ya kelainan ini? Seratus? Dua Ratus? Entah…

Masih tidak ada tanggapan. Si cewek masih asik dengan perannya sebagai pendengar setia ketimbang jadi juri yang jutek. Yeee, emang audisi-audisian?

Si cewek tadi belum bereaksi, masih menatap bingung. Mungkin separuh pikirannya sudah terbang ke rumah membayangkan kamar yang hangat, bergelung dibalik selimut sambil menyeruput susu coklat yang hangat.  Hahaha….ini sebenernya yang menghayal siapa sih?

“Lu tanya deh temen-temen smp sama  sma gue di …..” si playboy cap singkong ini nyebutin nama kota asalnya (demi melindungi privasi korban yang jadi objek candid script) Deuh… Iseng banget sih mas sampe harus melintas pulau   demi survey iseng begituan.

“Lu tanya mereka deh, ga  ada yg ga kenal gue,” pede bener deh cowok itu berusaha meyakinkan kalau si cewek itu justru bakal rugi ga jadian sama dia.

Akhirnya si cewek buka suara.

“Lu udah empat kali deh ngomong beginian.” Jderrr, skak mat.
Sekali. Lagi ngomong dapet gelas kali ya? Hehehehe
Hujan mulai reda. Beberapa pengunjung segera meninggalkan arena dan juara, eh arena perbelanjaan maksudnya. Aku pun begitu, bersama teman segera bergegas pulang. Tersenyum senang karena ternyata nemuin ide yang tergeletak begitu saja di sudut resto ini.

Maaf ya mas, sepertinya dirimu layak jadi bintang candid. Demi kepentingan para gadis-gadis  untuk jadi contoh menghadapi playboy hehehe…, Hasta la vista. Arivederchi…
repost dari blog tumblrku http://celotehannyaefi.tumblr.com/page/4
Share:

Saturday, 1 June 2013

Memaafkan : Hati Seluas Samudera itu Berbalas Surga.

gambar ngambil dari sini
"Ah, biarin aja dia gitu. Itung-itung dapet transferan pahala, kan lumayan."

Pernah denger selorohan seperti ini? Atau mungkin kita sendiri yang mengucapkannya. Saat kita mendapat perlakuan yang enggak mengenakan dari seseorang, kadang terlintas perasaan seperti ini, ya? Jujur, saya juga sering kepikiran seperti ini.

Padahal, mungkin tanpa sadar ada sikap atau kata-kata saya yang membuat orang lain terluka. Kadang, perasaan ego manusia kita juga sedikit terusik saat diingatkan ada sikap atau kata-kata kita yang tidak semestinya. Kadang, mungkin kita punya argumen lain. "Abis, dia gitu, sih." atau "Ah, masa, sih?" dan sederet pledoi lainnya. Ehm, jujur, saya juga pernah membela diri seperti itu. Ah, malu deh.

Lalu, pekan kemarin saya dibuat tercenung. Tepatnya, kamis malam lalu saat saya mendengar relay langsung kajian marifattullah dari Masjid DT. Saat itu Aa Gym memberikan materi tentang hati yang bersih. Persis seperti yang saya ceritakan di atas.

Apa pasal yang membuat sayang merenung?
Dalam ceramahnya, Aa Gym membuat saya berpikir dari sudut pandang lain. Justru, kita jangan "memanfaatkan" kezhaliman orang lain untuk mendapatkan transfer pahala gratis.
"Jangan, memanfaatkan kezhaliman orang lain. Surga itu kan luas. Kita doakan saja dia berubah jadi baik. Mending kita doakan saja masuk surga bareng-bareng."

JLEB.
Saya tersenyum masam mendengarnya. Rasanya seperti kesindir. Ah, mindset saya selama ini barus berubah, ya. Lalu saya jadi teringat kisah Rasulullah SAW saat berada di Thaif. Saat itu, beliau sedang dirundung kesedihan , setelah beberapa waktu sebelumnya secara berturut-turut ditinggalkan Bunda Khadijah dan paman tercinta, Abu Thalib.

Berangkatlah Rasulullah menuju Thaif, mencari pembesar di sana yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Alih-alih mendapat sambutan, penduduk di sana malah mengusir dan melempari beliau sampai terluka. Saat itu, datanglah malaikat Jibril menawari Rasulullah pertolongan untuk menimpakan gunung Qubais dan gunung Qa’aqa’an. 

Tapi Rasulullah menolak. Malah, Rasulullah mendoakan agar dari penduduk Thaif lahir generasi yang shaleh. "Ya Allah tunjukanlah kepada mereka jalan yang lurus.  Sesungguhnya mereka melakukan itu karena mereka tidak mengerti," ujar Rasulullah dalam doanya.

Duh, begitu pemaafnya, ya Rasulullah. Apa yang kita alami mungkin cuma seujung kuku dibanding perihnya penderitaan Rasulullah. Kita juga ingat bagaimana perlakuan sahabat Umar sebelum memeluk Islam, tapi Rasulullah mendoakan Umar bin Khaththab jadi salah satu pilar kejayaan Islam pada masa itu, dan Allah mengabulkan doanya.

Kita juga tidak lupa dengan kisah Yusuf as yang memaafkan perlakuan saudara-saudaranya yang pernah "membuang", atau Ayub as yang memaafkan istrinya dan jangan lupa juga, bagaimana sadisnya Hindun yang memakan hati Hamzah, paman tercinta Rasulullah, tapi masih dimaafkan.

Seperti yang Allah perintahkan dalam srat Al-A'raf ayat 199. "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang baik serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh."

Melupakan, barangkali memang bukan perkara mudah. Tapi, dengan memaafkan, akan membuat ingatan pengalaman tidak nyaman itu tidak membebani pikiran kita. Plong. Bukankah, samudra yang luas tidak terpengaruh warna dan rasa meski kita membuang bangkai ke sana? Ah, enggak mudah, ya? Tapi mengasah jiwa maaf itu memang perlu waktu. Setidaknya, waktu yang berlalu tidak sia-sia hanya karena sibuk memikirkan orang lain. Mungkin, dia acuh tak acuh, masa bodoh. Biarkan, saja. Tapi, jangan sampai kita dibuat rugi dua kali. Hei, bukankah kita juga pernah merasa bersalah, dan rasanga legaaa sekali saat dorang lain memaafkan kita. Move on, so you can Move Up.

 

Share:

Wednesday, 22 May 2013

CCTV, 'Sekarang" dan "Sepanjang Masa"

 
  CCTV, tentu saja kita semua sudah familiar dengan benda satu ini, paling gampang bisa kita temui di atm atau bank. Nah, tempat kerja saya yang baru sekarang, ternyata memasang CCTV.
    Selain faktor keamanan, kinerja karyawan di perusahaan tentu jadi salah satu alasan kenapa alat ini dipasang.Mulai dari front office, sudut ruang accounting, PPIC sampai gudang tidak lepas dari alat pemantau satu ini. Efek positifnya, karyawan di perusahaan terpacu untuk serius bekerja, berusaha menahan kantuk, ngobrol ngalor ngidul ga penting, jalan-jalan kurang kerjaan sampai aneka remeh temeh yang mengganggu kinerja. 
    Ups,  saya jadi harus lebih selektif menjawab BBM, SMS, telepon dan tentu saja jejaring sosial yang terbenam dalam fitur telepon genggam saja. Nah, cara yang efektif juga buat saya buat ngerem 'distract'  media sosial yang *ngaku aja dehhh* menyita waktu produktif kita. 
    Nah, dengan adanya CCTV itu, otomatis membuat alarm saya harus stand by. Saya harus cepat tidur biar besoknya ga ngantuk di kantor, fokus dengan kerjaan dan mengabaikan satu-dua aneka pikiran yang mengusik dan tentu saja sebaiknya menyimpan saja telepon genggam saya di dalam tas. Mungkin, cuma panggilan dari rumah atau ortu yang saya setting dengan ringtone tersendiri, antisipasi kalau-kalau ada hal yang sifatnya urgent.
    Itu CCTV yang ada di kantor, ya? Lalu, bagaimana dengan CCTV yang melekat sepanjang masa usia kita? Sejak kita lahir, sampai menutup mata (kok, jadi inget lagunya Acha Septriansyah, sih, ya?) terus aktif memancarkan sinyal sampai ke arasy-Nya? Tidak satu kejadian pun yang luput dari pantauannya. Bahkan, setiap lubang pori-pori kulit kita juga akan bersuara, menjadi saksi ahli dalam persidangan nanti.
    Saya jadi merenung. Sementara ini, masih banyaakkkkk sekali dosa yang masih saya perbuat, sadar atau tidak. Saya malu buat merinci apa saja dosa-dosa saya itu. dari A-Z, yang ingat atau tidak. Kalau saja, CCTV di kantor membuat saya siaga 1, kenapa dengan CCTV dari Allah saya cuek bebek mengacuhkan, ya? Hiiiy,... padahal panasya api neraka nanti saja ga kebayang. Kena cipratan minyak panas saja, masih menjerit. Kena terik matahari tengah hari saja masih mengeluh. Tertusuk duri, teriris pisau tidak sengaja saja kadang membuat mata ini berderai menahan pedih. Duh, gusti..... saya ga bisa membayangkan kengerian hari itu, nanti. 
    Saya jadi teringat sebuah artikel yang menceritakan pengalaman Chrisye semalam menjelang rekaman lagunya Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Pantas saja, Almarhum tidak bisa memejamkan matanya, meresapi lirik demi lirik lagu itu.


    
Share:

Saturday, 18 May 2013

Enam Tahun

    Sabtu lalu, seminggu sudah saya meninggalkan sekolah tempat terakhir saya bekerja.Seminggu juga saya menjalani hari-hari baru, dengan pekerjaan baru, rutinitas baru dan tentu saja, teman-teman baru. Meski, sebenarnya saya sudah pernah mengecap atmosfir suasana perusahaan sebelumnya. Akhir April lalu, saya mendapat panggilan wawancara di sebuah perusahaan Tekstil. Alhamdulilllah, saya diterima bekerja. Artinya, saya harus meninggal sekolah tempat saya bekerja. Setelah kurang lebih lima hari saya memberi training singkat sekaligus serah terima pekerjaan dengan pengganti saya, akhirnya sampai juga waktunya saya buat berpamitan. Hal yang saya sendiri bingung bagaimana untuk melaluinya.
gambar ngambil dari sini

    Siang itu, tengah hari, sekitr waktu Dzuhur beberapa guru masih bertahan di sekolah menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa guru sebelumnya sudah pulang lebih awal karena memang biasanya akhir pekan jadi waktu khusus buat anak-anak mengisi dengan pramuka. Apalagi, ada beberapa guru yang harus menjalani ujian akhir semester program S-1nya. Kalau beberapa hari sebelumnya saya masih bisa tersenyum menanggapi sms seorang teman yang merasa kehilangan saya setelah saya pindah kerja nanti, tidak dengan hari itu.

    Awalnya, semua berjalan lancar ketika saya pamitan, termasuk dengan sahabat saya itu. Tidak ada peluk-pelukan pake acara nangis-nangisan. Biasa saja. Enggak ada bedanya dengan pamitan hari-hari biasanya ketika saya atau yang lainnya pulang lebih awal. Nah, siang itu saya mencari guru kelas, berpamitan setelah sejak bulan Januari - rutinitas semester genap - kami lebih intens bekerja sama menyiapkan segala keperluan ujian kelas 6 sejak pendataan, latihan ujian sampai UN kemarin.

    Saya mengetuk pintu kelas, Bu Anna, salah satu dari 4 guru kelas 6 di sekolah saya menyambut saya. Pendek saja, saya menyampaikan maksud saya.

    "Bu, saya duluan, ya. Pamit, sekalian terakhir saya di sini."

    Saya pikir, waktu itu semuanya bakal berjalan mulus. Saya yang terlanjur dicap Miss Flat, dingin, cuek dan kaku oleh teman saya ternyata gagal mengeraskan hati. Cuma satu sentuhan lembut saja, sudah cukup membuat saya meleleh. Bu Anna tersenyum, memeluk saya, lalu berkata pelan. "Neng, meni waas ih,... (Neng, ibu ga bisa bilang apa-apa lagi)."

    Sungguh, saya seperti es krim yang meleleh, tersengat di siang bolong. Duh, kok jadi sedih gini, sih? Reflek, saya mengusah sudut mata saya, dari balik kaca mata. "Ah, ibu. Udah ah... saya, jadi pengen nangis, nih" saya berkata sambil tertahan, masih dalam pelukan Bu Anna.

    "Semoga sukses, ya Neng. Ibu doain yang terbaik." Sederhana saja, kata-kata yang biasa buat kita sampaikan, dan biasa kita dengar, ya?  Bahkan, saat saya mengetik cerita ini, tiba-tiba saja mata saya terasa hangat lagi.

    Enam tahun, bukan terbilang lama tapi juga tidak sebentar. Ibaratnya, saya seperti anak kelas enam yang mau lulus sekolah. Bedanya, kalau anak-anak kelas enam masih harus menunggu pengumuman kelulusan, saya sudah lebih duluan keluar.

    Seperti yang dibilang Slank, "Terlalu Manis Untuk Dilupakan". Rasanya baru saja kemarin saya bekerja, baru saja kemarin saya bercanda dengan teman-teman saya di sekolah, sepertinya baru kemarin berkutat dengan dateline pekerjaan yang membuat kami harus lembur berhari-hari di sekolah atau begadang sekian malam melanjutkan pekerjaan yang setumpuk.

    Sekarang, semuanya sudah berlalu, ada di belakang saya. Tapi The Beatles juga bilang, Life Goes On. Saya sudah menentukan pilihan, mencari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih buat semuanya. Dan, Cranberries pun bakal setuju, enam tahun yang sudah berlalu will Linger to then.

Share:

Friday, 10 May 2013

Resensi Buku : Sewindu - Cinta Itu Tentang Waktu


Judul                      : Sewindu, Cinta Itu Tentang Waktu
Penulis                   : Tasaro GK
Halaman                : 382 + x 
Penerbit                 : Metagraf – Tiga Serangkai,  Cetakan I – Solo 2013
ISBN                      : 978-602-9212-78-5
Harga                    : Rp. 82.000,




Akhir bulan lalu saya dicolek seorang teman di jejaring sosial twitter, ada lomba resensi buku terbaru Tasaro yang digelar penerbit Tiga Serangkai. Sebenernya nih, jujur aja saya sudah rindu berat pengen mengkhatamakan seri ke-3 trilogi Muhammad, Para Pengeja Hujan. Rupanya, saya harus lebih bersabar menanti kehadiran buku ketiga itu.  Baiklah, untuk mengobati kerinduan, saya segera meluncur ke toko buku untuk memburu novel Tasaro yang sebagian bukunya menghiasi jajaran buku di rak lemari saya.

Sedikit intermezzo, saya termasuk pembaca yang telat mengenal tulisan-tulisan Tasaro. Saya baru ‘ngeh’ keberadaan Tasaro di awal tahun 2011 saat berbagai blog dan akun di facebook riuh membahas Muhammad Penggenggam Hujan. Beruntung, selang berapa waktu kemudian saya berkesempatan bertemu langsung Tasaro dalam diskusi 3 bukunya di Pameran buku Bandung dalam 3 waktu berbeda. Nah, pengalaman konyol yang enggak bisa saya lupakan saat menghadiri diskusi buku Nibiru dan Ksatria Atlantis. Saat itu moderator diskusi yang juga tim dari Tiga Serangkai yang datang bersama Tasaro menggelar kuis. Saya yang masih ‘lupa-lupa inget’ nama asli Tasaro mengacungkan tangan dan sukses menjawab pertanyaan moderator dengan sedikit ngaco. Waktu itu Saya cuma inget nama depan Tasaro, dan akronim GK. Jadi, waktu itu saya bilang kalo saya Cuma inget Taufik apa gitu, GKnya ya Gunung Kidul, kampung halamannya Tasaro. Sambil ngasal sedikit maksa, saya bilang kalo Ro untuk suku ketiga nama depan Tasaro itu, kalau enggak salah Rohman, gitu, ya?

Bwhahahahaha.... saya masih ingat reaksi moderator saat itu. “Kok jadi kayak ayat-ayat cinta, ya?” candanya. Aiiih, malu deh saya.  Tapi untunglah, waktu itu moderatornya berbaik hati, hadiah buat saya enggak diurungkan. Satu kaos hitam dengan desain Nibiru berhasil saya bawa pulang dan tentunya buku Nibiru milik saya  juga dibubuhi tandatangannya Tasaro. Sejak itu, saya jatuh cinta dengan ramuan kata Tasaro yang sederhana, kadang meliuk, menukik dan ‘nendang’.

Nah, sedikit berbeda dengan buku Tasaro lainnya Muhammad yang beraroma faksi, atau Kinanti tokoh  fiksi, atau petualangan  fiksi fantasi Daca Suli dalam Nibiru, buku teranyar Tasaro ini bertutur perjalanan hidupnya. Sewindu :  Cinta itu Tentang Waktu bertutur perjalanan kisah Tasaro bersama Istrinya mengarungi bahtera rumah tangga. Eh, Autobiografi? Mungkin terlalu singkat untuk menekuri kisah seorang pesohor dalam rentang waktu 8 tahun, ya? Jujur saja, awal pembuka kisah, ada sedikit kebosanan yang menyergap saya. Di mana gregetnya, ya? Perlahan, saya terus membaca cerita Tasaro saat awal-awal tinggal bersama dengan Alit Tuti atau ‘Eneng’ – panggilan Tasaro untuk istrinya. Diksi khas Tasaro yang sederhana tapi sarat makna itu akhirnya berhasil meyakinkan saya, Sewindu-nya Tasaro itu bukan sekedar sharing kisah seorang penulis semata.

Bagian kedua dari buku ini, mulai menggairahkan buat saya. Dengan alur maju mundur dari setiap potongan episodenya, Tasaro bercerita pergulatan Tasaro untuk memperbaiki diri, bermetamorfosa berusaha  menjadi seorang muslim yang lebih baik. Tanpa sungkan-sungkan, Tasaro bertutur usahanya untuk menaklukan lidahnya membaca setiap huruf demi huruf Al Quran yang terasa mbulet, kerap tertukar. Dalam waktu bersamaan kehilangan dua orang yang dicintai (Ummi dan Mih), hingga akhirnya kehadiran buah hati yang meramaikan suasana rumah. Nah, di sinilah, Tasaro mulai membuat dua sudut mata saya mulai basah, menganak sungai. Setelah harus mengalami dua kali keguguran, ‘Neng’ yang kemudian disapa dengan ‘Nda’ akhirnya mengandung putra pertama meski harus menjalani proses operasi Cesar yang bisa membuat wanita manapun meringis ngilu mendengarnya. Tidak mudah mengatasi trauma sakit itu, apalagi sebelumnya Nda juga harus sempat melalui operasi kuret dua kali sebelumnya.

Saat kelahiran putri keduanya, Tasaro memposting tulisannya di akun FB, lebih dari cukup untuk membuat pembacanya meleleh.
Di mana lagi aku temui perempuan semacammu?
Tilawahmu tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar padaku.
Tapi, dimanakah lagi perempuan seikhlasmu?
Wajahmu tak cantik melulu, makananmu pun tidak lezat selalu.
Tapi, katakan kepadaku,  di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu?
...............
(Persembahan buat setiap perempuan, dan ibu yang hatinya semembentang samudra)

O, ya, dua nama dari putra-putri Tasaro, Senandika Himada dan Pairidaeza Pawestri, diambil dari bahasa Persia, mengingatkan saya pada sosok heroik, Atusa  dan Baginda Rasulullah SAW dalam dua logi novel Muhammad. Sepertinya Persia yang eksotik punya tempat yang istimewa buat Tasaro. Seperti yang kita tahu, Himada adalah sebutan lain untuk Muhammad dalam bahasa Persia. Sedangkan Pairidaeza adalah akar dari kata Paradise dan Firdaus yang bermakna surga.

Lembaran berikutnya, Tasaro berbagi masa lalunya yang perih dan tidak seindah anak-anak yang tumbuh dari keluarga yang  tidak lengkap. Tumbuh bersama Ibunda, sosok guru tiga jaman yang gigih menghidupi anak-anaknya, kecintaannya pada buku sudah tersemai sejak di bangku SD. Nah, kabar bagusnya buat saya dan teman-teman lainnya yang merasa  payah dalam soal eksak, Tasaro pun mengalami hal yang sama  (hiyaaa, giliran beginian kok malah girang, ya? hehehe). Mengambil pendidikan jurnalistik setara diploma, perlahan Tasaro menemukan ‘chemistry’ hidupnya yang menghantarkannya pada kelihai-annya mengolah kata, meramu makna dalam setiap bukunya yang kita baca. Mungkin nih ya, kita tidak akan pernah menikmati kisah manusia akhir jaman yang begitu menginspirasi, Muhammad saw atau fantasi yang sangat meng-Indonesia, Nibiru dan luar biasanya Kinanti kalau saja Tasaro memilih jalan lain.

Masa lalu Tasaro yang tidak lurus-lurus saja, seperti halnya gambaran lelaki shalih lainnya seolah mengingatkan kita. Setiap manusia, selama nafas masih terhembus, selama itu juga dia masih punya kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Filosofi ini juga yang kemudian mencairkan kebekuan hubungan antara Tasaro dengan sang Ayahandanya setelah sekian tahun terpisah.

Errrr, dengan banderol Rp. 82.000, sekilas buku ini terkesan mahal, ya? Eh, tapi dengan cover dan lay outnya yang berwarna, harganya sepadan lho dengan yang kita dapatkan. Nah, penasaran, bagaimana sih heroiknya Ummi? Sosok guru tiga jaman, seorang ibu yang luar biasa yang begitu menginspirasi lembaran perjalanan hidup Tasaro? Seistimewa apa sih Nda di mata Tasaro sampai catatannya di Facebook mengundang banyak komentar?  Apa sih, arti dari Senandika dan Pawestri, ya?

 Lalu, seperti apa sahabat-sahabat Tasaro yang berragam latar belakang meluruskan pandangan kalau kesalehan seseorang tidak melulu dari sisi rutinitas ritual to? Bagaimana Mimpi-mimpi Tasaro untuk membentuk wisata buku di tempat tinggalnya,  juga perdamaiannya dengan masa lalu bersama sang Ayah?  Silahkan temukan kisahnya dalam buku ini. Jangan lupakan juga, ciri khas Tasaro dalam meracik setiap pilihan katanya yang sarat makna. Seperti satu quote dari Tasaro sangat mengena, membuat saya merenung arti kebesaran hati, Memaafkan bukan hanya berarti tak mendendam, namun juga menyemai bibit cinta pada sisa-sisa ladang yang dulu porak poranda.
    
Share:

Wednesday, 17 April 2013

Mas VS Aa


Mas VS Aa. Ini bukan soal kontes lintas suku atau Kompetisi tinju atau ajang sejenis lainnya. Setidaknya kejadian dua kali dengan rentang waktu yang lumayan agak jauh. Enggak ada pemenangnya juga kok hehehe....

Biasanya  saya suka menyapa seorang laki-laki yang enggak begitu kenal dengan panggilan mas. Entah itu di toko, tempat makan, atau tempat-tempat umum lainnya. Sangat jarang saya menyapa dengan sebutan aa, padahal darah sunda mengalir dengan derasnya dalam nadi saya. Lain cerita kalau orang yang saya itu terlihat sudah senior sekali atau dalam situasi formal,  baru deh saya panggil Bapak.
gambar nyalin dari rizalyan.com


Nah, beberapa waktu lalu, saya mengunjungi pameran buku yang digelar di Land Mark Braga, kira-kira sudah dua tahun yang lalu lah. Ada satu stand yang rutin saya sambangi, dan hampir selalu ada satu-dua buku dari sana yang saya pilih untuk dibawa pulang. Pastinya, dibayar dulu dong hehehe. Nah, ceritanya waktu itu saya mau nanya-nanya sama penjaga stand di sana. Kebetulan, yang posisinya enggak jauh dari saya seorang sales promotion boy, jadilah dengan reflek saya manggil mas.

"Mas, kalau buku ini berapa, ya?"
Eh, bukannya jawab pertanyaan saya, dia malah duluan protes.
"Duh, jangan panggil saya Mas, dong. saya kan masih muda, Aa aja deh," protesnya.
Glek! Saya tersenyum geli.
Aa? Saya perhatikan dari penampilannya, ya memang sih, masih muda. Belum sampai usia 25an, sekitar usia anak kuliahan lah. Saya nyengir aja denger dia ngmong gitu. Memang sejak kapan ada Mas-mas jadi kakaknya Aa-aa?  Coba deh udek-udek di kamus KBBI kayaknya ga bakal nemu, sama halnya dengan kita manggil seseorang Bli, Uda, Abang, Encang atau apalah yang sejenisnya. Lagian masih  mending kan, saya enggak manggil emang? Hehehe


Nah, lanjut, ternyata Mas VS Aa ini kejadian lagi waktu saya reunian bareng teman-teman SMP. Setelah selesai makan dan beremeh-temeh alias bernostalgia, kami bersiap-siap untuk pulang. Makanan sudah licin tandas di meja, tinggal bayar tagihan. Menjelang petang, suasana Rumah Makan Sunda yang jadi ajang reunian sudah agak sepi. Para pelayan yang tadinya ramai lalu lalang melayani pembeli mulai surut, entah sibuk berkutat di dapur atau istirahat.

Akhirnya, dari pojok belakang tempat kami ngumpul terlihat seorang pelayan lewat. "Mas, mas, sini dong! Billingnya," seru seorang teman saya.
Entah enggak kedengeran atau dia bermaksud melayani pengunjung lainnya, dia cuek saja jalan terus. Kedua kalinya, pelayan  lain tetep acuh.

Insting saya mulai jalan. "Ini  rumah makan sunda, kan?"  pikir saya. Refleklah saya memanggil pelayan tadi dengan panggilan Aa. "A, sini, Minta billingnya."

Bingo! Dia melirik dan berjalan menghampiri meja kami,
Teman saya yang lain kontan protes, "Ih Efi, kok manggilnya Aa, sih? Kesannya kayak manggil suami gitu!"
Saya nyengir. "Ini kan restoran sunda, ga ada kamus jawa di sini. Liat deh menu sama deskripsinya nya juga ditulis pake bahasa sunda, nah terjemahannya aja pake bahasa Inggris. Bukan bahasa Indonesia,"
Ups, ga bermaksud SARA ya.But anyway, itu yang terjadi. Setelah itu, pelayan tadi datang menghampiri kami dan menyodorkan tagihan.

Nah, sekali lagi. Ternyata panggilan Mas atau Aa itu masih punya efek tersendiri, ya?


Share:

Wednesday, 10 April 2013

Review Cerita Di Balik Noda - 42 Kisah Inspirasi Jiwa




Judul Buku : Cerita DiBalik Noda - 42 kisah inspirasi jiwa
ISBN:  9789799105257
Pengarang:  Fira Basuki
Penerbit :  Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Halaman :  248
Dimensi(mm): 135 x 20


Biasanya, yang terbersit di benak kita saat mendengar kata noda  adalah jorok, ceroboh, atau malah kekhawatiran bagaimana cara menghilangkan noda saat mencucinya. Padahal, tidak selamanya noda berkonotasi negatif. Ada banyak rangkaian hikmah yang bisa kita temukan dibalik noda itu jika kita bisa melihat sisi lainnya.  
Itulah yang ingin disampaikan oleh Fira Basuki dan kawan-kawan dalam kumpulan 42 kisah yang terangkum dalam buku Cerita di BalikNoda. Tentu saja, kita sudah tidak asing lagi dengan jargon “Berani Kotor itu Baik”, kan? Kita kerap menyaksikan jargon yang sudah melekat dengan  iklan detergen pembersih Rinso yang wara-wiri di layar televisi setiap hari. Eh, tapi jangan kira kalau buku ini mengajarkan bagaimana cara mencuci pakaian kotor kembali cemerlang. Hohoho, anda akan kecewa dibuatnya, karena tidak ada satu halamanpun yang membahasnya.  

Penulis Best Seller, Fira Basuki bersama para penulis lainnya yang sebagian besar wanita dengan berbagai latar  (ibu rumah tangga, karyawati, guru) urunan dalam kumpulan kisah menawan ini. 

Memutar kembali lembaran kenangan masa kecil dulu mungkin anda masih ingat, kita sering bermain kotor-kotoran, entah itu membuat kue-kue lumpur, memanjat pohon-pohon dan turun ke bawah dengan noda getah yang tiba-tiba sudah membaur dengan pakaian, bermain dolanan di lapang lalu sore harinya kita kembali dengan tatapan kesal dan gemas orang tua kita yang melihat kita sudah kotor tidak karuan. Ada juga orang tua kita yang tersenyum melihatnya sebagai proses kita mengeksplorasi kreatifitas. Tentu saja, masih banyak serangkaian permainan lainnya yang jarang kita temukan lagi saat sekarang ini. Ehm, saya termasuk yang menikmati masa kecil dengan bermain-main di luar dibanding dengan boneka-bonekaan mahal atau mainan canggih seperti PS atau game on line.
Nah, kembali lagi dengan review buku ini, menekuri kisah demi kisah dalam buku ini akan membuat kita tersenyum geli bahkan terharu dibuatnya. Misalnya, cerita Bos Galak yang menjadi pembuka cerita dalam buku ini. Kisah Rani seorang karyawati baru yang nekat memberikan kejutan ulang tahun untuk Bu Elsi, bosnya yang galak. Gara-gara insiden kecil saat pemberian kejutan ini, akhirnya seisi kantor mengetahui apa pasalnya Bu Elsi bersikap galak. Berita bagusnya, insiden kecil itu pula yang melumerkan hati Bu Elsi, sang bos kembali cair dan hangat dengan para karyawannya.
Berlanjut cerita lainnya yang berjudul  Sarung Ayah. Dalam kisah ini, seorang  anak kecil yang ditinggal mati ayahnya yang terlihat acuh ternyata mengajarkan sang ibu untuk berbesar hati melepaskan kepergian suaminya. Ehm, sayangnya cerita ini sedikit terusik dengan kerancuan. Di awal cerita, disebutkan nama anak itu adalah Dewi dan mempunyai tante bernama Wulan. Beralih ke paragraf-paragraf berikutnya, sang anak disebutkan bernama Wulan. Well, terlepas dari hal ini, kisahnya cukup menyentuh kita sebagai pembaca.

Berkotor-kotor ria ternyata juga tidak sebanding dengan nilai moral yang didapatkan. Seperti kisah Ali dalam cerita Siluman Tikus. Simpati Ali yang menolong Mak Sa, seorang janda tua yang hidup menyendiri membuat pandangan ibu-ibu yang doyan merumpi dan berspekulasi dengan dugaan-dugaan berlebih berubah menjadi simpati. Ali dengan jiwa sosialnya yang luar biasa berhasil menghapuskan paranoid yang melanda para ibu-ibu dengan tudingan-tudingan klenik. Coba juga baca kisah tentang persahabatan tulus Gwen (Imlek buat Lela) yang merelakan seluruh uang angpaunya diberikan kepada Lela, putri pembantunya, yang juga sahabat Gwen. Alih-alih memberikan sepeda lamanya, Gwen tidak keberatan memberikan sepeda barunya kepada Lela, satu sikap yang membuat ibunya malu sekaligus terharu.

Secara pribadi saya paling menyukai kisah Harta Sebenarnya. Liburan Puspa dan Donny di kampung memberikan inspirasi bagi Donny dan saudara sepupu Puspa, Lola. Berkat kecerdikan kakek, Donny dan Lola yang semula merasa jijik bermain-main lumpur, menjadi bersemangat ikutan turun dalam kubangan setelah menemukan kaleng yang berisi harta karun. Ide awal sang kakek untuk mencari sandal jepitnya yang jatuh dalam kubangan lumpur bukan saja berhasil mencairkan wajah cemberut Donny dan Lola. Pesan yang ditemukan dalam kaleng-kaleng itu memberikan makna yang mendalam. “Kebahagiaan itu ada dalam hatimu bukan di benda-benda sekitarmu” atau “Orang hebat adalah yang kakinya menapak tanah”, mengajarkan mereka untuk tidak materialistis dan selalu bersikap rendah hati.
  
Lalu, apakah sandal jepit kakek berhasil ditemukan? Apakah anda juga penasaran apa yang membuat Bu Elsi bersikap dingin? Atau bagaiama Dina bisa berbesar hati melepaskan kepergian ibu yang begitu mendadak (Pohon Kenangan) dan kelembutan Arga yang begitu tulus merangkul Azha untuk bersahabat tanpa mengiraukan kekurangan Azha? (Teman Sejati).
Ngomong-ngomong soal kreatifitas, kita juga bisa membaca cerita Nisa (Koki Cilik) yang menginspirasi ibunya untuk membuka usaha bisnis kue, atau Ivan dengan daun-daunnya menciptakan ide "Batik Nigeria" yang menjadi jalan pembuka orang tuanya untuk membayar hutang-hutangnya.

Ah, masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang tak kalah menarik dalam Buku Cerita di Balik Noda ini.  Nah, tunggu apalagi? Ayo segera cari bukunya.
Share: