Tuesday 22 August 2017

Bermedia Sosial dan Kepekaan Kultural

Kalau ada orang yang saya mau bilang terimakasih banyak sedalam laut Atlantik atau setinggi Himalaya  saat ini, dia adalah John Barger.  Sudah kenal belum? Saya sendiri baru ngeh dengan keberadaan Eyang Barger hari ini, saat mengikuti acara Flashblogging yang digagas oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hari ini, 22 Agustus 2017 di hotel Holiday inn.


Adalah paparan dari Enda Nasution sebagai salah satu narsum hari ini yang mengajak audiens untuk flashback mengingat lagi sejarah dunia blogging. Nah, John Barger ini adalah adalah seorang blogger asal negeri Mamang Sam (Uncle Sam maksudnya) yang menggagas dibuatnya platform weblog yang sekarang lebih populer dengan sebutan yang pendek saja, blog. Bayangin aja, tahun 1995 ketika weblog kali pertama dibuat orang-orang banyak yang belum mengoptimalkan pemanfaatkan komputer secanggih sekarang untuk mengakses informasi dalam hitungan detik. Eh tapi sebelum itu dia sudah aktif memanfaatkan internet untuk menulis semacam FAQs dari tahun 1989. Huaaaa,  bener-bener visioner, ya. Tengkyu pisan, Sir.


Cuma waktu itu fitur yang muncul  belum interaktif serperti sekarang. Untuk navigasinya pun masih rada ribet, harus mengakses link lain dulu untuk bisa membuka  informasi yang ingin kita baca. ya taun segitu kan Mbah Google belum lahir (terus kenapa disapa Mbah, ya?) Kurang lebih seperti ini, nih.

Bersyukurlah kita yang hidup di jaman milenia yang serba digital ini.  Transformasi teknologi yang super cepat juga membuat hidup kita seakan dalam genggaman, satu jentikan jari dan voilaaa. Semuanya langsung terpampang dari layar kecil berdimensi 5 inch, selama masih ada kuota yang memenuhi pastinya.

Sayangnya euforia di jaman digital sekarang ini tidak selalu berdampak positif. Seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, ada juga ekses negatif yang datang mengekori.  Kemunculan berita hoax, boradcasting abal-abal di grup chat, ujaran kebencian dan war-waran yang wara-wiri di media sosial lumayan bikin pening kepala. Gampangnya sih ya dicuekin aja. 

Yakin dicuekin aja? Ga kepikiran untuk mengimbangi atau malah meng-counter konten-konten negatif nan menyebalkan itu?

Dari sambutan yang disampaikan oleh Rosalita Niken Widiastuti selaku Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik  Kementerian Komunikasi dan Informatika, proporsi penulis konten dengan pihak pembaca yang memviralkan adalah 10 persen berbanding 90 persen (ten to ninety). Ngeri deh kalau kita membiarkan 90 persen tangan-tangan yang tidak membaca teliti atau melakukan cross check membiarkan berita-berita palsu, konten  yang nyerempet SARA, ujaran kebencian, radikalisme, pornografi, caci maki dan hal-hal negatif itu tadi dengan mudah tersebar hanya lewat copas atau menekan tombol Share it. 

Komunikasi dunia maya membuat orang lebih ekspresif menyampaikan gagasannya tanpa harus bertatap muka dengn audiens menjadikan nilai-nilai kesopanan dan kesantunan menjadi hal yang perlahan surut. Padahal kalau di dunia nyata, saya yakin deh,  belum tentu mereka yang gahar dan galak di tulisannya punya sikap dan rasa ucapan yang sama seperti tulisannya. Ya, ada juga orang-orang yang memang attitude dan gaya berbicaranya berbanding lurus antara dunia maya dan dunia nyata. 

Tapi kan nulis di blog atau media sosial bisa diedit loh, Fi.
Iya memang bisa diedit, tapi kalau lidah tidak bertulang, yang namanya hentakan jari yang meninggalkan  jejak lewat tulisan di blog atau media sosial jika sudah terlanjur publish alias tayang sudah menjadi milik publik.  Adanya media klarifikasi untuk meluruskan masalah atau meralat rasanya jadi sia-sia. Karenanya pikir masak-masak apakah konten yang kita sebar itu bermanfaat dan tidak akan menyebabkan serangan negara api alias hura-hara, tidak?  Menjadi bagian dari bagian masyarakat digital tanpa kita sadari menciptakan massa pengikut yang loyal atau berbalik menjauh hanya karena kepeleset jari. Nggak mau kan jadi public enemy?


Dari paparan yang disampaikan oleh  Prof Karim Suryadi  yang sehari-harinya aktif sebagai dosen di UPI dan beberapa perguruan tinggi saya tertarik dengan analogi kepekaan kultural antara orang Jakarta dengan saudara-saudara kita di Kupang,  NTT sana. Saya baru tau loh, kalau karakter tanah di sana padat dengan struktur karang yang memerlukan perjuangan ekstra untuk menggali hanya sekadar menguburkan jenazah. Sudahlah hidup terasa berat, saat mati pun ternyata masih repot. Jadi, persepsi yang kita anut belum tentu harus selalu sama dengan persepsi orang lain. 

Sebagai muslim tentunya kita mengenal, minimal pernah membaca firman Allah dalam surat  Al Maidah ayat 48:

"Kalau Allah Menghendaki, niscaya kamu Dijadikan- Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak Menguji kamu terhadap karunia yang telah Diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
Yang saya pahami dari ayat di atas, perbedaan yang Allah ciptakan sebenarnya bukan menjadikan kita saling bermusuhan akan tetapi saling menghargai dan menghormati dalam kerangka toleransi. Sudah banyak sejarah yang mencatat perseteruan di kalangan sendiri hanya menyebabkan yang kalah jadi arang dan yang kalah jadi abu. Ga ada yang untung dengan berantem dengan sodara sendiri apalagi kalau ternyata pencetus keributan itu karena kita sendiri tidak bijak melakukan tabayyun. Mungkin karena kita mengabaikan hal ini, yang namanya media sosial jadi terasa gaduh. Bikin pening yang berakibat putusnya pertemanan (unfriend) hanya karena kita tidak siap dengan perbedaan atau ketidakyamanan dengan sebaran informasi yang wara-wiri di timeline media sosial kita.


Padahal nih, keasikan berselancar di media sosial secara psikologis mempunyai efek positif di mana kegembiraan yang tercipta bisa meningkatkan kadar hormon oksitosin (hormon cinta) sampai 40%. Ini kurang lebih sama dengan kebahagian yang didapatkan oleh seorang bayi yang rewel dan tangisannya mereda setelah mendapatkan ASI dari ibunya. Luar biasa, ya!  

Sebagai khalifah Allah di bumi, manusia sesungguhnya dibekali Allah dengan kecerdasan akal untuk merespon perubahan yang terjadi. Jika hewan menanggapi evolusi alam dengan perubahan pada struktur organ tubuh dan fisiknya, maka sejak jaman nabi Adam as, manusia  manusia dibekali dengan kecerdasan akalnya dengan pola kebudayaan.  Apa yang terjadi di Cina tidak ama dengan di Eropa, Afrika dan belahan dunia lainnya. Makanya, kalau semua harus serba sama,  tidak akan menyelesaikan masalah karena latar belakang permasalahan pun tidak sama, kan. Contoh gampangnya ya seperti analogi struktur tanah antara Jakarta dan Kupang tadi. Ongkos mati pun terasa berat, setidaknya begitu.

Sebagai blogger yang bisa mengakses dunia media sosial, dan pencipta konten, menjadikan blog sebagai media komunikasi dengan pembaca setia memerlukan kecerdasan sosial untuk memilah dan memillih  informasi yang akan disampaikan dan tentu saja pilihan kata yang luwes, tidak menciptakan war-waran yang bikin atmosfir dunia  digital terasa panas. Lubang ozone sudah cukup lebar yang bikin cuaca bumi semakin gerah, mending kita ademkan dengan sharing yang positif dan bermanfaat. Kalau kita bisa menciptakan kebahagiaan buat orang lain,  feedbacknya seperti  gema yang memantul kembali pada kita. Kita ngomong baik yang gemanya baik lagi. Ga akan tertukar. Beneran, deh.

Share:

4 comments:

  1. halo teh Efi...makasih banget tulisannya membuka pikiran. Caem teteh.... salam kenal ya teh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo juga Novi. Terimakasih sudah berkunjung, salam kenal juga. Senang kalau tulisanku bisa bermanfaat buat Novi. :)

      Delete
  2. jarimu harimaumu sekarang mah :D ah tulisan ttg ini udah buat kemarin pas flash blogging, tapi ulu balikin ke draft mau direvisi. Nulis diburu-buru mah tulisan ulu asa teu baleg wkwkwkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk... sama Luuu. Aku ge mau touch up (((touch up))) tulisan ini eh tapi can kaburu hahaha

      Delete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.