Sareundeuk saigel, sabobot sapihanean. Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak.
Rasanya sudah lama sekali saya ga mendengar paribasa sunda yang satu ini sampai kemudian hari Rabu, 31 Agustus 2016 kemarin akhir saya mendengar lagi petikannya saat menghadiri acara Reopening Rumah Makan Sunda Sindang Reret yang beralamat di jalan Cikole, KM 22, Lembang - Bandung Barat.
Sejuknya udara kabupaten Bandung Barat yang menyapa hanya sebagian
sambutan saja yang menyapa kami (saya dan NChie) saat menjejakan kaki di
rumah makan sunda yang sudah ada selama 27 tahun di Lembang
(43 tahun kiprah grup Sindang Reret di dunia kuliner Jawa Barat).
Monumen kujang di pintu masuk dan di beberapa sudut, seeng (alat menanak
nasi khas Jawa Barat), boneka wayang, perahu dan properti lain yang
sangat dekat dengan keseharian masyarakat Sunda tampak mewarnai suasana. Ditambah lagi alunan kecapi suling di panggung utama,
seakan-akan menarik saya belasan silam, kala Bandung masik sejuk dan
halimun kerap menyapa pagi.
Acara kemarin, Tasyakur Bi'Nimah pembukaan kembali Sindang Reret di Cikole ini ramai dihadiri para pejabat penting di Jawa Barat. Ada Ibu Ida, Kadisbudpar Jawa Barat, perwakilan Kadin, PHRI para sesepuh Jawa Barat sampai Sultan dari Cirebon juga menghadiri acara ini. Tidak mengherankan, karena rumah makan Sindang Reret sudah segitunya legendaris sebagai salah satu referensi kuliner di Jawa Barat.
Ga percaya? Dari luar negeri, Raja Belanda dan para utusan KTT Non Blok pernah bersantap di sini. Bahkan, mantan presiden RI, BJ Habibie pun sering mampir ke sini untuk makan, lho.
Ga percaya? Dari luar negeri, Raja Belanda dan para utusan KTT Non Blok pernah bersantap di sini. Bahkan, mantan presiden RI, BJ Habibie pun sering mampir ke sini untuk makan, lho.
Selain 9 saung yang berdiri di atas kolam ada 7 perahu terapung di bagian depan restaurant ini yang bisa kita pilih untuk lesehan bersama teman atau keluarga. Jangan heran atau protes dulu kalau melihat penampakan perahu ini. Menurut salah satu pemilik dari bisnis keluarga Hermawan ini, keberadaan perahu di dalam rumah makan terinspirasi dari legenda Sangkuriang yang terkenal dengan Tangkubanperahunya. Kalau properti perahu dikondisikan dalam keadaan nangkub alias terbalik, mungkin hanya bisa kita saksikan dalam bentuk meja. Sementara bila ditampilkan dalam kondisi seperti ini, seolah-olah seperti itulah keadaan perahu yang belum ditendang Sangkuriang karena marah tidak berhasil menyelesaikan permintaan Dayang Sumbi untuk membuat perahu sebelum fajar tiba.
Mau makan di perahu atau saung? |
Total ada 9 saung dan 7 perahu yang bisa menampung pengunjung untuk bersantap, mulai dari pagi sampai malam, selama restoran ini buka Kalau weekend, sepertinya spot-spot ini cepat terisi karena terlalu sayang untuk diabaikan. Lagi pula kebiasaan orang sunda saat makan adalah makan sambil duduk bersila atau emok beralas tikar dengan meja yang rendah. Akan lebih nikmat menikmati nasi dengan lauk pauk lengkap, berikut sambal dan lalapannya sambil menggunakan tangan, bukan sendok. Ya, kecuali kalau makannya dengan sayur seperti sayur asem. Ga mungkin lah, ya. Eh tapi penasaran ding, orangtua jaman dulu kalau makan makanannya berkuah pake apa, ya?
Ada makna yang dalam dibalik 7 seeng ini |
Tadinya waktu pertama kali datang pas melihat kolam dengan ornamen seeng (bacanya seperti terdiri dari dua suku kata, se-eng) ini cuma sekedar pajangan untuk mempercantik dekorasi saja, lho. Ternyata bukan. Seeng sebagai alat menanak nasi khas sunda ini punya filosofinya. Di kolam yang jadi latar foto saya di atas ini, 7 seeng melambangkan 2 orangtua (ayah dan ibu) serta lima anak dari keluarga Hermawan ini sebagai kebersamaan dan gotong royong dalam menjalankan bisnisnya.
Bahkan wastafelnya juga berbentuk seeng |
Ornamen wayang goleknya anggun, ya? |
Makanya, peribahasa di atas tadi
mewakili spirit yang diusung restoran yang nyunda ini. Kalau
diterjemahkan secara bebas, peribahasa "Sareundeuk saigel, sabobot
sapihanean" mempunyai makna selalu bersama, tidak pernah ribut meski
berbeda pendapat. Sedangkan peribahasa "Ka cai Jadi saleuwi Ka darat jadi salebak" mempunyai arti
sauyunan, layeut, tara pasea atau tidak berantem. Kurang lebih sama lah
dengan peribahasa sebelumnya.
Selama berada di sini, rasanya seperti diingatkan lagi dengan pelajaran bahasa Sunda yang terakhir kali didapat waktu SMP kelas 3 (waktu saya SMA dulu, bahasa sunda sudah enggak masuk lagi ke dalam kurikulum). Dan itu sudah 22 tahun berlalu!
Selama berada di sini, rasanya seperti diingatkan lagi dengan pelajaran bahasa Sunda yang terakhir kali didapat waktu SMP kelas 3 (waktu saya SMA dulu, bahasa sunda sudah enggak masuk lagi ke dalam kurikulum). Dan itu sudah 22 tahun berlalu!
Biasanya saya menyaksikan upacara adat yang konsepnya nyunda sekali kalau datang ke acara resepsi pernikahan. Itu pun kalau saya sudah stand by dari awal. Kalau enggak mah, ya wasalam, deh. Alkhirnya pas acara kemarin, saya dan para pengunjung acara dimanjakan kembali dengan sajian prosesi yang megah diiringi petikan kecapi, tabuhan kendang dan alunan seruling selama tarian daerah ini ditampilkan.
Dlam balutan kostum yang dominan dengan warna kuning dan merah, tarian ini menceritakan persembahan hasil bumi dari rakyat kepada pemimpinnya untuk diolah menjdi makanan yang bisa disantap. Huaaa keren banget ini. Kostumnya colorful dan propertinya pun apik pisan. Love it!
Dlam balutan kostum yang dominan dengan warna kuning dan merah, tarian ini menceritakan persembahan hasil bumi dari rakyat kepada pemimpinnya untuk diolah menjdi makanan yang bisa disantap. Huaaa keren banget ini. Kostumnya colorful dan propertinya pun apik pisan. Love it!
Suka lihat atraksi tariannya |
Pengiring musiknya keren semua |
Selesai prosesi tarian, ke-5 putra, Ibu Hermawan dan kerabat yang menggantikan posisi Pak Hermawan - yang sedang sakit - dipanggung melakukan simbolisasi menanak nasi dengan seeng. Mungkin ada yang mengira seeng ini adalah dandang, padahal beda lho. Penggunaan suluh (kayu bakar), hawu (perapian), boboko (anyaman dari bambu untuk mewadahi beras/nasi), aseupan (anyaman bambu berbentuk kerucut) pun punya makna yang dalam dan filosofis.
Keluarga owner RM Sindang Reret, minus Pak Hermawan yang sedang sakit |
Secara umum, proses memasak beras sampai matang menjadi nasi dengan perkakas lama ini memberi arti orangtua sepenuhnya mendukung anak-anaknya agar mempunyai skill yang bisa memberikan manfaat bagi orang banyak. Di sisi lain, para anak-anak pun harus memiliki cita-cita yang tinggi dibarengi dengan usaha semaksimal mungkin. Itu juga sebabnya di bagian depan rumah makan ini, seeng diposisikan seolah-olah melayang, sebagai lambang dari cita-cita.
Sebelum makan siang, acara ditutup dengan penancapan kujang, yang merupakan senjata khas masyarakat sunda. Penancapan kujang ini merupakan simbol dari pencanangan Jawa Barat sebagai warisan budaya Jawa Barat di bidang kuliner yang bertaraf internasional. Keren kan?
Kujang, senjata khas orang Jawa Barat |
O, ya, jangan lupa lho, tahun ini salah satu kuliner Jawa Barat, Chocodot juga terdaftar sebagai nominasi destinasi kuliner halal bersama daerah-daerah lainnya di Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata. Dukung, ya. bisa di www.halaltourism.id, atau www.mlife.id.
Baca juga : Wisata Halal Indonesia dan Media Sosial
Menu makan yang nyunda pisan |
Ikan Paray ini kriuk dan gurih. Bikin nagih |
Yummy... Makan yuuuk |
Ada yang bisa nebak apa isi dibalik bungkusan daun pisng di piring ini? |
Aneka camilan dan jajanan pasarnya bikin nagih |
Menempati area yang luas,selain menikmati aneka hidangan khas tatar sunda, pengunjung dari luar kota juga bisa menginap di hotel yang lokasinya tidak jauh dari restoran. Arena camping, taman yang asri sampai masjid dengan arsitek bangunan yang kental dengan suasana desa di Jawa Barat ini rasanya bakal bikin betah dan kangen untuk berkunjung lagi dan lagi.
Terlalu banyak spotcantik buat berfoto :) |
Betah lho ngadem di masjidnya. |
Sebagai salah satu perusahaan yang terus bertumbuh dan berkembang, dalam acara kemarin pun manajemen RM Sindang Reret melakukan penyerahan tanah wakaf, sebagai salah satu wujud Corporate Social Responsibilty. Hadir dalam acara ini ketua RW 05 Sukasari yang menerima secara simbolis. Semoga berkah dan bermanfaat.
RM Sindang Reret
Head Office:
Jalan Surapati No. 43 Bandung
Web: sindangreret.co.id
Telp: 022-2535050
Fax: 022-2531216
FB: Sindang Reret Grup
Twitter: sindangrerets
IG: sindangreret
Cabang:
- Jalan Raya CIkole KM 22 Lembang (Hotel & Restaurant) t
- Jalan Raya Provinsi CIwidey, Kab. Bandung
- Jl. Tarumanagara KM.3, Karawang - Jawabarat
Tempatnya emang tambah kece, makin betah deh the New Sindang Reret niy yaa. Masakannya itu loh nikmat banget so sundanenesse pisan, sukaaa apalagi nasi liwet plus baby fish, yummi...
ReplyDeleteYuk balik lagi kesana..!!sekalian nginep soalnya bikin mager eeaa
Neng Nchie Hanie kumaha damang? basa eta ketemu di kereta api ....
DeleteIya waktu itu Nchie cerita ketemu ibu di kereta, ya. :)
DeleteAku taunya yang di Karawang dan itu hitts banget
ReplyDeleteYang di Karawang belum aku sambangin, Nay. :)
Deletemau ah ke sana . Teteh juga beberapa kali suka makan di sana .Dulu bawa keponakan dan anak-anak . Jadi kepingin ke sana lagi deh. Foto-fotonya bikin laper....
ReplyDeleteEfi ge pengen ke sana lagi. Jangan lupa kamera, tongkat selfie sama powerbanknya :)
DeleteJalan jalan bae yah ehehe. keren- keren lagi tempatnya. ajakin ajakin :p
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete