"Nama saya  Meneer  Kumis." 
Begitu kata  lelaki yang tahun ini akan berusia  74 tahun.  Untuk semurannya,  tubuhnya terlihat sehat, enggak ringkih. Kan, tidak jarang  mereka  yag sudah memasuki separuh baya, mulai sakit-sakitan atau pikun, ya? Punggungnya pun cukup  tegap  dan bicaranya lancar ketika diajak ngobrol.
Saya dan 4 blogger  lainnya (Dydie,  Bang Aswi, Ulu dan Alfian) sempat  dibuat  bengong  juga dibuatnya.
"Seriusan pak,  namanya Meneer  Kumis?"
|  | 
| Pintu masuk pasar Cihapit dari samping Vitasari Bakery | 
Ealah,  dia bercanda. Ternyata nama aslinya adalah Suhendi Baridji. Selain  secara fisik terbilang sehat,  ingatannya juga  masih lumayan. Seperti kebanyakan pedangan lainnya di kawasan pasar  Cihapit,  Pak kumis ini sudah lama berjualan sejak tahun 1942. Lancar bercerita ketika  Jepang datang menduduki Bandung dan menahan keluarga  Belanda dalam  kamp konsentrasi di kawasan ini. 
|  | 
| Meneer Kumis pedagang camilan | 
"Bapak bisa  ngomong bahasa Jepang atau Belanda?" saya iseng nanya.
"Bisa," katanya. "Arigato Gozaimasu," sambil tersenyum dan memperagakan sikap  tumbuh  yang harus dilakukan pada tentara Jepang.  Iya, pada  masa  itu  bukan cuma para meneer Belanda, penduduk pribumi juga kena aturan  yang diterapkan  tentara  pendudukan Jepang.
Nah,  setelah setengah hari  blusukan di Pasar Cihapit, ada 6 hal menarik dari pasar tua di Bandung ini.
1. Kawasan Legendaris
Pak  Suhendi  yang berjualan  camilan sejak puluhan tahun lalu ini juga bercerita sempat merasakan kengerian yang mencekam ketika Westerling  dan tentara ratu adilnya puluhan tahun silam.   Setiap hari, Pak Suhendi alias Pak kumis, mulai pagi jam 6  sampai  jam 5 sore.  Ayah dari  9 anak (satu sudah meninggal) kakek  dari  46 cucu dan 1 buyut ini akan mangkal menjajakan  camilannya berdampingan dengan lapak penjual buah  di sisi luar pasar Cihapit  ini.
Secara resmi pasar  Cihapit ini didirikan tahun 1960an oleh pemerintah Bandung, meski pun sejak tahun 1920  sudah ada. Konsep pembangunan wilayah yang memetakan tata ruang yang terencana -  termasuk pasar ini -  untuk pribumi dan warga Belanda pada  masa itu sempat  meraih predikat sebagai  contoh wilayah  yang sehat, lho. 
2. Pasar yang Bersih
Sebelum direvitalisasi pada tahun 2008, sebenarnya pasar Cihapit  ini juga sama saja dengan pasar tradisional lainnya.  Becek, kumuh, dan tumpukan sampah  menggunung dan menguarkan aroma yang mengganggu.  Tipikal kebanyakan pasar  tradisional lainnya di Indonesia, 
|  | 
| Bersih dan ga kumuh | 
To be honest,  ini  kali pertama saya seumur hidup menginjakkan  kaki di pasar  ini. Iyaaa,  serius. Jangan ketawa,  lho. Envy dan amaze begitu melongok penataan pasar  ini.  Meski tidak besar dan luas  seperti kebanyakan pasar tradisional lainnya, let say  kayak Pasar Cijerah  dekat rumah saya. Konsep pengelolaan pasar  ini  sangat apik dan rapi.  Beberapa  lapak  penjual dikelompokkan di tempat terpisah.  
|  | 
| Lapak-lapak yang tertata rapi | 
Untuk pedagang seperti ikan, daging ayam dan daging sapi ditempatkan  di area  yang sama. Tidak saya temukan genangan air yang  biasanya bisa kita jumpai di pasar lainnya.  Palingan yang rada bau itu dekat lapaknya penjual ayam yang menempatkan kandang ayam di sekitarnya.  Aroma khas pakan ayam dan kotoran cukup tercium di sini. Eh tapi,  dibanding pasar  baru  yang lokasinya di Jalan Otto Iskandardinata pun, situasi di  sini jauh lebih rapi dan bersih.
|  | 
| kondisi wc pasar yang bersih | 
Kalau sebagian  pedagang di luar area pasar ini  berdagang sampai sore jam 5, rata-rata  jam 2 siang para penjual di sini sudah menutup  lapaknya dan meninggalkan kiosnya dalam keadaan bersih. Dari hasil obrolan dengan ketua pasar dan pemilik  lapak, sebelum pulang, para pedagang  akan membersihkan lapaknya.
Selain karena edukasi yang intens oleh beberapa pihak para mahasiswa SBM ITB dengan program BAPER (Bawa Perubahan) yang diantaranya melibatkan Sasa dan Nicky, para pedagang di sini menyadari pentingnya suasana yang nyaman dan bersih. Kalau di pasar lainnya biasanya tuh akan kita temukan gundukan sampah yang baunya minta ampun, amit-amit bikin kita perlu tissue atau mungkin masker untuk menutup hidup. Nah, tumpukan sampah semacam itu tidak akan kita temui di sini. Sebelumnya sih, sempat ada area yang jadi tempat pembuangan sampah sementara di pasar Cihapit.
Selain karena edukasi yang intens oleh beberapa pihak para mahasiswa SBM ITB dengan program BAPER (Bawa Perubahan) yang diantaranya melibatkan Sasa dan Nicky, para pedagang di sini menyadari pentingnya suasana yang nyaman dan bersih. Kalau di pasar lainnya biasanya tuh akan kita temukan gundukan sampah yang baunya minta ampun, amit-amit bikin kita perlu tissue atau mungkin masker untuk menutup hidup. Nah, tumpukan sampah semacam itu tidak akan kita temui di sini. Sebelumnya sih, sempat ada area yang jadi tempat pembuangan sampah sementara di pasar Cihapit.
Demi kenyamanan, kebersihan dan kebersihan lingkungan,  lokasi pembuangan sampah pun dialihkan ke tempat  lain. Siapa sangka coba kalau tempat yang saya  foto  ini dulunya tempat penyimapanan sampah sementara?
|  | 
| Dulunya sampah dari lapak-lapak ditampung sementara di sini | 
3. Sewa atau Hak Milik Lapak Permanen
Selain membayar sewa  lapak, para pedagang di sini  juga bisa memiliki lapak menjadi hak  milik permanen, Asiknya lagi, sebelum  menetap dalam jangka waktu panjang,  calon pedagang diberi kesempatan untuk  bedagang selama satu bulan, kemudian bisa memutuskan untuk lanjut  atau tidak. Seperti itu obrolan saya dengan seorang pedagang di sini.
Boro-boro deh setelah tempatnya enakeun gini, sebelum direvitalisasi pun, sebagian besar pedagang di sini berjualan secara turun temurun. Sayang kalau ga dilanjutkan? Contohnya Bu Popon yang berjualan dengan suaminya ini. beliau sudah 40 tahun (tepatnya dari tahun 1975) mencari nafkah di sini. Soal biaya? terbilang murah. Untuk lapak yang kecil cukup membayar sewa sebesr Rp.300.000/bulan. Hitung deh kalau harus dibayar per hari. Ringan, sekali, ya?
Boro-boro deh setelah tempatnya enakeun gini, sebelum direvitalisasi pun, sebagian besar pedagang di sini berjualan secara turun temurun. Sayang kalau ga dilanjutkan? Contohnya Bu Popon yang berjualan dengan suaminya ini. beliau sudah 40 tahun (tepatnya dari tahun 1975) mencari nafkah di sini. Soal biaya? terbilang murah. Untuk lapak yang kecil cukup membayar sewa sebesr Rp.300.000/bulan. Hitung deh kalau harus dibayar per hari. Ringan, sekali, ya?
|  | 
| Ngajak Wefie bu Popon | 
4. Kualitas Komoditas Yang Terjaga
Tempat  yang bersih dan kualitas yang terjaga membuat pasar Cihapit punya segmen tersendiri. Jadi nih, ga semua  sayur atau buah-buahan bakal dijual  langsung sama pedagang di sini. Mereka  akan memilih  komoditas  yang baik sebelum dijual ke pelanggannya. Mahal dikit cincai lah, ya.  Ga kalah bagusnya dengan yang dipajang di supermarket.
|  | 
| Buah-buahannya bikin mupeng | 
Karena keasyikan  ngobrol dan nongkrong sampai  jam 2 siang. Pas pulang  tadi saya  cuma sempat membeli dua ikat daun kelor  ini yang masing-masing dijual seharga Rp. 5.000. 
|  | 
| Dua ikat daun kelor yang saya beli siang tadi | 
5. Nongkrongable
Yang menarik di kawasan  pasar Cihapit  ini, selain nama kios yang unik, lukisan mural pada dinding di dekat pintu masuk, beberapa kios juga bisa jadi tempat nonkrong.  Misalnya warung  kopi ini. Setiap kamis minggu pertama, para penggiat  fotografi entah itu  yang minat dengan wedding photography, food photography dan aliran lainnya punya kegiatan khusus  untuk nongkrong di sini. Di sini juga ada Warung Bu Dosen yang  dimilki oleh Bu Cilik, yang mengajar di SBM ITB.  
|  | 
| Yuk nongkrong di sini | 
|  | 
| Lukisan muralnya keren, ya? | 
|  | 
| nama lapak yang unik | 
Selain itu, seru deh, memperhatikan aktivitas lainnya di sini. Misalnya ada sekolah pasar yang mengenalkan aktivitas  di pasar  untuk anak-anak usia pra sekolah. Lucu juga memerhatikan kekepoan mereka. Di area pasar  yang sudah berlantaikan ubin ini juga beberapa  anak dengan riangnya  mengayuh sepeda  mengitari  selasar pasar  dengan riang. Coba kalau di pasar lainnya, ada ga sih yang kayak  gini?
|  | 
| Sekolah pasar | 
6. Kuliner Legendaris
Selain memang para pedang yang berjualan di sini berjualan secara turun temurun seperti yang saya bilang tadi,  para  pemilik kios makanan  pun sudah terkenal legendaris. Sedikit kecewa tidak bisa menjajal kuliner legendaris Ibu Eha di sini, karena setiap tanggal merah atau libur nasional, warung Bu Eha juga akan libur. Hiks hiks.  Saya dan teman-teman akhirnya menikmati lotek Cihapit yang juga sudah terkenal. Dengan porsi sebanyak ini, cuma dihargai  Rp. 15.000 saja, dan sukses bikin perut kenyang. 
|  | 
| Lotek Cihapit | 
Atau mau menikmati seduhan kopi? Murah lho, cuma Rp. 11.0000  saja per saji.
|  | 
| Biar item dan digiling kasar, kopi Premium blend ini soft, ga terlalu pait lho | 
|  | 
| Cara penyajian kopi tradisional yang bisa kita lihat dari dekat | 
Ah, saya pengen ke sini lagi  pas hari kerja nanti.  Bagusnya sih,  datang pagi-pagi  kalau emang pengen mencicipi masakannya Ibu Eha. Soalnya kalau sudah siang jangan harap busa kebagian. Saking larisnya, tuh. Selain Dewi Dee dan Pak Bondan Mak Nyus,  para PNS dan karyawan lainnya  juga banyak yang wara-wiri menghabiskan waktu istirahat makan siangnya di sini.
Jadi kalau berencana berburu barang antik seperti buku lama, kaset dan barang jadul lainnya di pasar loak Cihapit, jangan lupa untuk melipir ke sini.
Mau belanja, jajan atau nongkrong di pasar Cihapit bakal jadi acara main yang seru dan tidak biasa. Suka gorengan, camilan khas yang juga murmer? Bisa juga lho kita dapatkan di sini. Pokoknya seru, murah dan meriah.
Jadi kalau berencana berburu barang antik seperti buku lama, kaset dan barang jadul lainnya di pasar loak Cihapit, jangan lupa untuk melipir ke sini.
Mau belanja, jajan atau nongkrong di pasar Cihapit bakal jadi acara main yang seru dan tidak biasa. Suka gorengan, camilan khas yang juga murmer? Bisa juga lho kita dapatkan di sini. Pokoknya seru, murah dan meriah.
|  | 
| Masakan Bu Eha yang cepat habis. Credit: komunitasaleut.om | 
|  | 
| Suka gorengan? Ada banyak, kok | 

 
 

 
 
 

Sayang, nggak ada KRL :p
ReplyDeleteYaelah, masa harus ada KRL di mari, dek? Sini pake odong-odong aja ke Bandungnya, beani, ga? :D
DeleteMau nyobain belanja kesini ah sambil nongkrong bareng Marwah dan ayahnya hehe, kebetulan deket dari rumah :D
ReplyDeleteKapan-kapan sama Admin Kece BB kita nongkrong bareng di sini, yuk. Masih penasaran sama warung Mak Ehanya euy.
DeletePasar bersih, pasti pengunjungnya tambah banyak. Apalagi kalau penjualnya ramah-ramah.
ReplyDeleteItu lotek chapit, mirip gado-gado ya.
Iiya. Coba kalau semua pasar kayak gini, ya? Itu lotek, kok Mas. Beneran hehehe. Jangan lupa cobain kalau nanti sempat ke Bandung, ya.
Deleteyg di bawah eta teh Ca Kwe sama Bolang-baling ya.. wah loteknya juga enak kayaknya
ReplyDeleteBukan. Yang paling bawah itu gorengan. Jajanan favorit sejuta umat :)
DeletePasarnya bersih bangeeettt...dan rapi, sampe bisa dibuat maenan sepedaan sama anak2 TK itu :)
ReplyDeleteIya, mbak. Asik banget lah ya kalau semua pasar bisa kayak gini.
DeleteSuka sam afoto kopinya. eeer, sound like mesin foto kopi isn't it? Hihihi
ReplyDeleteSayang aku nggak bisa ikut ngopi bareng kalian. Padahal aku ada di depan sampai kelar Salat Jumat karena suamiku Jumatan di masjid Cihapit. Kapan-kapan ngopi bareng di sana yuk ;)
It is :) Uh sayang padahal ajak aja suamimu nongkrong bareng di sini abis Jumatan. Yuk ah dolan lagi ke sana, Dy.
DeleteYa ampun ngga cuma pasar modern, tapi pasar yang nyeni juga ya Maaak. Keren euy. Ini pasti idenya kang ridwan kamil juga yaaah
ReplyDeleteIya, kebayang kan kerennya ekonomi rakyat kalau semua pasar tradisional bersih dan rapi kayak, gini. Seingetku Pemkot Bandung memang merencanakan revitalisasi beberapa pasar tradisional. Bukan cuma yang ini aja. Mudah-mudahan yang deket rumahku juga bisa sekeren ini segera :)
DeleteIni yang dipromosiin Pak Wali ya Mbak di Twitter nya atau di facebooknya gitu. Lupa. Tapi pernah baca, ada statusnya Pak Wali yang recommend pasar untuk dikunjungi...
ReplyDeleteIya, beliau emang pingin bikin pasar tradisional jadi keren, rapi, nongkrongable dan tematik juga. Belum tau nih nantinya kalau konsep tematiknya sudah diaplikasikan.
DeletePasarnya bersih yah Mbak Efi, yang belanja jadi nyaman :)
ReplyDeleteBanget. Biasanya kan paling males kalau belanja ke pasar yang kotor, becek dan bau.
DeletePasarnay bersih. Jadi suka pastinyaa belanja disini :)
ReplyDeletePastinya. Mudah-mudahan semua pasar tradisional minimal bisa kayak gini, ya.
DeleteIni yang namanya upgrading pasar tradisional, biar nggak kelaut sama pasar mini dan pasar super.
ReplyDeleteKeren ini!
Jadi pengen tahu kok bisa gitu dibikin kayak gini. dari dana Bansos, APBD atau apakah. Biar pasar-pasar yang lain bisa mengikuti. :)
Ini kayaknya dana APBD. Pasar-pasar tradisional ini dikelola oleh PD yang termasuk bagian dari BUMD, kan.
Deletebelum kesampean mampir ke pasar cihapit nih teh efi :D
ReplyDeleteseru kayaknya foto2 di mural *fokusnya tetep ke foto2*
Hayu maen ke sini. Aku juga pengen :)
Delete