Rumah sakit? Entah itu rumah sakit besar atau rumah sakit
kecil, begitu mendengar yang terbersit di benak saya adalah sebuah tempat yang
tidak enak, meski kelas VIP sekalipun. Mulai dari aroma eter yang menusuk
hidung, jarum suntik, belalai infus, kasur berseprai putih, kursi roda sampai
ruang operasi. “Jangan sampai saya ngalamin dirawat di RS, kecuali kalau
melahirkan,” begitu yang selalu terpikirkan.
Seumur hidup pun saya belum pernah merasakan dirawat di
rumah sakit, kecuali menengok atau menunggui mama dan apa (sebutan buat orang
tua saya) waktu mereka sakit.Itu pun jarang sekali. Alhamdulillah, keduanya
jarang mengalami sakit yang serius.
Manusia punya harapan tapi Allah juga yang punya rencana
lain. 16 Oktober 2012 silam adalah awal semuanya. Selasa sore, ditengah jam les bahasa Inggris yang saya ikuti perut saya terasa mulas melilit. Beberapa hari sebelumnya memang
perut saya rasanya tidak nyaman. Saya pikir cuma masalah kecil saja.
Saya asyik mengikuti materi sampai kelas bahasa Inggris bubar. Adzan pun berkumandang, saya segera mengambi wudhu dan shalat maghrib sambil berdoa mudah-mudahan rasa sakit itu hilang. Selesai shalat, perut saya terasa semakin sakit, bahkan tidak bisa berdiri tegak menahan sakit yang semakin hebat.
Saya asyik mengikuti materi sampai kelas bahasa Inggris bubar. Adzan pun berkumandang, saya segera mengambi wudhu dan shalat maghrib sambil berdoa mudah-mudahan rasa sakit itu hilang. Selesai shalat, perut saya terasa semakin sakit, bahkan tidak bisa berdiri tegak menahan sakit yang semakin hebat.
Waktu itu saya memutuskan pulang naik taksi saja. Mahal
memang, tapi rasa sakit yang tidak bisa kompromi lagi membuat saya memutuskan
begitu, hampir setengah jam saya menunggu taksi tapi tidak juga ada yang lewat.
Sambil menahan sakit, saya menyerah, akhirnya saya pulang
juga dengan angkot. Syukurlah setiap angkot yang saya naiki tidak penuh, saya
bisa leluasa duduk setengah leyeh-leyeh demi menahan sakit. Satu jam kemudian,
akhirnya saya sampai ke rumah dan segera jatuh terkulai di ranjang.
Saya berteriak memanggil seisi rumah, mengeluh rasa sakit
yang terus menekan. Rasanya perut saya seperti balon yang ditiup dan nyaris
pecah, mulas, dan sesak yang menghimpit. Masuk angin kah? Saya coba menarik
nafas lebih dalam untuk mengeluarkan angin. Sia-sia, rasa sesak semakin
menekan. Hampir menjelang subuh saya
tidak bisa tidur. Shalat isya pun saya lakukan tengah malam dengan
posisi terlentang. Warm sack yang ditempel di perut saya tidak bisa menolong
banyak. Madu dan norit yang saya minum pun mental, termuntahkan.
Saya mengeluh sedih. Padahal saya sudah dapat izin 'bolos
sehari' mengikuti acara forum grup diskusi (FGD) tentang fasilitasi publikasikasrya fiksi dan non fiksi yang digelar kementerian ekonomi kreatif. Ah, sesuatu yang berharga sekali buat penulis pemula seperti saya. Alih-alih bisa menghadiri acara yang ternyata keren itu, saya malah harus
masuk UGD. Beda satu huruf saja ya, tapi tentu beda sekali suasananya.
Pagi harinya kondisi saya agak mendingan tapi tetap masih
harus bersusah payah bangkit dari kasur menuju toilet. Siang harinya saya
lagi-lagi muntah hingga akhirnya saya menyerah, pasrah dibawa ke rumah sakit.
“Mudah-mudahan ga sampai nginep,” adik saya coba menghibur.
Meski demikian, saya nurut saja menyiapkan beberapa potong pakaian,
berjaga-jaga jangan-jangan memang harus dirawat.
Benar saja, setelah melalui serangkaian pemeriksaan di UGD,
dokter jaga memberitahukan kalau saya harus dirawat. Selain belalang infus yang
dipasang, belalai NGT juga dipasang melalui hidung hingga salah satu ujungnya
mencapai lambung.
“Untuk mengambil racun yang terjebak di lambung,” jelas
salah seorang perawat. Saat proses pemasangan selang NGT itu, saya sempat
tersedak karena selang itu melalui tenggorokan. Ingatan saya langsung melayang,
teringat mendiang Uwak yang sempat dirawat. Separah apa penyakit saya sampai
harus dipasang selang seperti ini? Saya coba menepis pikiran buruk itu.
“Bagaimana nanti saja,” pikir saya pasrah.
Akhirnya sebelum masuk ruang perawatan, salah seorang
dokter yang ditunjuk menangani saya datang menghampiri.
“Diagnosa awalnya kalau tidak masalah dengan usus buntu,
ada masalah dengan kista di rahim kamu. Bisa jadi dua-duanya,” jelas dokter
ramah itu dengan eskpresi tenang.
Entah kenapa, mendengar berita itu saya tidak bisa
menangis. Rasa sakit yang mengusik membuat saya tidak bisa berfikir panjang ada
apa dengan perut saya.
Esok harinya dokter kembali datang. Setelah beberapa dokter
datang memeriksa dan pemeriksaan lab akhirnya keluar juga, didapatlah diagnosa
yang lebih akurat. Ada kista dengan diameter 10 cm di rahim saya dan mulai
bocor, rembes ke usus sehingga membuat usus saya melengket, pergerakannya jadi
melambat.
Entah karena saya yang kurang peka atau cuek, saya tidak
pernah merasakan gejala sakit seperti yang dialami oleh kebanyakan penderita
kista. Saya tidak pernah merasa sakit ketika datang bulan. Bahkan, dua minggu
sebelum dioperasi itu saya sempat menasihati seorang teman yang sudah
ketahuan mempunyai kista di rahimnya
untuk terus berobat.
“Berat memang, tapi kamu jangan putus obat, Kalau sudah
masuk rumh sakit, biayanya bakal lebih mahal lho,” bujuk saya. Tapi ternyata
justru saya sendiri yang mengalami hal itu.
Itu dia rupanya yang menyebabkan saya muntah-muntah tiga
hari terakhir dan kehilangan selera makan selama beberapa hari sebelumnya. Saya tidak punya pilihan lain selain operasi untuk mengangkat kista.
“Kamu harus puasa dulu ya sebelum operasi besok,” ujar
dokter itu sebelum meninggalkan saya. Saya mengangguk lemah. Dengan kondisi
tidak enak makan seperti ini saya tidak perlu protes harus berpuasa dan menerima asupan makan cuma
melalui infus saja.
Sebelum dioperasi serangkaian pemeriksaan harus saya lalui
lagi, mulai dari tensi darah (yang alhamdulillah sekali tekanannya normal), tes
alergi obat, sampai USG ulang.
Hari jumat, bada jumatan, seorang perawat datang
menghampiri saya. “Sudah siap bu?” tanyanya dengan tenang.
Saya mengangguk. Dikiuti kedua orang tua saya, perawat itu
mendorong ranjang saya menuju ruang operasi di lantai atas. Jika beberapa waktu
sebelumnya saya sempat menyaksikan seorang pasien terkulai lemah diatas kasur
menyusuri lorong rumah sakit, kali itu saya sendiri yang mengalaminya, diiringi
tatapan beberapa pasang mata yang berpapasan melihat saya. Entah tatapan iba
atau penasaran. Saya tidak peduli dengan semua itu, yang saya fikirkan cuma
satu hal, berharap rasa sakit itu segera hilang.
Syukurlah proses operasi selama tiga jam itu berjalan
lancar. Bahkan saya baru tersadar
sekitar pukul 19 malam. Itupun rasanya masih ngantuk sekali. Saya baru
merasakan kesadaran saya benar-benar pulih ketika menjelang tengah malam ketika
seorang perawat datang memeriksa keadaan saya.
Esok paginya saya menyadari ada dua selang tambahan lainnya
yang terpasang di perut saya. Rasanya saya tampak aneh sekali. Adik saya yang
bungsu sempat bercanda menyebut saya mirip sapi glonggongan. Ya, karena memang
tidak ada asupan makanan kecuali lewat selang infus, lengan dan kaki saya
terlihat bengkak.
Bosan terlentang di kasur, membuat saya meminta adik saya
menemani saya menikmati Healing Garden
di lantai paling atas, dengan menggunakan kursi roda tentunya. Nah, saat
'berwisata' di Healing Garden itu saya bertemu dengan seorang bocah usia 4
tahunan. Matanya yang sipit berkejap-kejap lucu memandang saya yang tampak
aneh.
“Tante, hidungnya kenapa?” tanya polos sambil tertawa.
Aku cuma nyengir sambil menahan nyeri. “Iya, tante lagi
sakit. Kayak gajah ya? Tante ada belalainya,” aku mencoba bercanda.
“Hehehehe,.... iya tante,” sambut bocah itu disela
tawa-tawa kenesnya. Kedua orang tuanya cuma tersenyum rikuh dengan pertanyaan
bocah itu. Ah, namanya juga anak kecil.
Setelah lima hari berpuasa, akhirnya saya diperbolehkan
untuk makan. Enak? Jujur saja, saya tidak bisa lahap menikmati bubur atau nasi
tim yang disajikan dari pantry rumah sakit. Cuma setengahnya saja saya sanggup
habiskan. Untunglah perawat tidak rewel melihat makanan yang tidak bisa saya
habiskan.
Akhirnya setelah seminggu dirawat, dokter memperbolehkan
pulang, sambil rawat jalan untuk memantau luka bekas operasi.
Nah, selama dirawat di rumah sakit dan rawat jalan oini ada
banyak hal yang saya sakitkan. Ada banyak hal yang jadi vitamin hati buat saya.
Mulai dari korban tabrak lari yang tangannya nyaris putus, seorang ibu yang
mengalami gangguan buang air kecil selama satu bulan (bayangkan, seperti apa
rasanya menahan nyeri selama itu?) atau seorang pasien yang mengidap batu
empedu tapi terlihat selalu ceria selama dirawat.
Saat rawat jalan saya juga sempat menyaksikan seorang bapak
tua dengan perban memenuhi kepala dan hidungnya, entah operasi apa atau
pasien-pasien lainnya yang duduk lemas dalam kursi roda nyaris tanpa ekspresi.
Ah... saya tidak tahu sampai usia berapa jatah yang Allah
beri buat saya. Saya membayangkan bagaimana jadinya saya di hari tua nanti?
Apakah saya akan menjalaninya dengan segar bugar? Jika saya sakit, apakah
orang-orang di sekeliling saya akan menemani saya sepenuh hati seperti mereka
yang menemani pasien-pasien yang sudah uzur itu?
Saya tidak tahu, saya cuma berharap Allah memberi usia yang
berkah buat saya. Jika satu waktu waktu saya sudah habis, mudah-mudahan tidak
saya alami dengan kepayahan. Saya berdoa semoga saya menutupnya dengan Khusnul
Khatimah.
Nikmat sehat itu mahal
sekali. Setelah dirawat itu, saya lebih hati-hati lagi dengan makanan. Makanan
dengan penyedap yang kuat misalnya, saya harus berusaha lebih arif memilih
camilan atau makanan yang lebih meyehatkan. Saya tidak mau mempertaruhkan lagi hidup
saya karena pola makan saya yang kacau.
3 Comments
Mbak Efi, waktu masang NGT sakit ga? Terus setelah terpasang rasanya gimana?
ReplyDeleteSakit sih, enggak.Cuma rasanya ga nyaman selama NGT terpasang. Aneh, gitu.
DeleteMbak Efi, waktu operasi kista, memakai cateter atau tidak ?
DeleteSilakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.