Selesai validasi, teman saya Dadi (perempuan lho) mengajak saya mampir ke rumahnya. Cuaca Bandung yang lagi panas-panasnya ditambah janji mampir ke tempat teman untuk suatu keperluan membuat saya menolak ajakannya. Lagi pula saya pengen segera sampai rumah. Setelah berganti angkot dan turun di depan terminal Leuwi Panjang, saya meneruskan perjalanan pulang dengan angkot rute Cimahi. Nah, di perempatan Pasirkoja, sekitar 1 km dari Leuwi Panjang seorang bocah kecil menghampiri angkot yang saya tumpangi dan mulai memainkan kecrekan sederhananya. Dan mengalun lah "Bukan Bang Toyib"nya Wali dari mulut kecilnya.
ilustrasi pengamen cilik |
Ah, Bang Toyib? Apakah ayahnya seperti Bang Toyib juga sampai sesiang itu dia harus mengamen. Apakah oranng tuanya tidak menyekolahkannya? Bukannya ada Dana BOS? Sekolah bisa gratis? Mungkin seperti itu kebanyakan yang terpikir sebagian orang.
Buat saya (meski tidak selalu ngasih sekedar receh sama pengamen), dengan membiarkan dia menyanyi dan tidak memberinya uang bukan satu solusi yang bijak. Bukan cuma potongan dari adegan sinetron atau film kalau seorang anak dieksploitasi orang lain atau malah orang tuanya sendiri untuk mengamen. Saya dan seorang teman pernah mengamati di tempat yang sama itu juga saat anak-anak itu mengamen tidak jauh dari mereka ada orang-orang dewasa (lai-laki dan perempuan) memperhatikan mereka. Entah siapa mereka, tapi yang terbayang dalam pikiran saya mereka seperti penadah setoran. Saya ga tega membayangkan anak-anak itu jika tidak bisa memenuhi harapan mereka. Dipukul? disiksa? Pikiran yang terlalu berlebihan mungkin tapi ya itu tadi kalau tujuannya mendidik bagi saya sasarannya salah. Lain cerita kalau pengamen atau pengemis yang kita jumpai itu sudah dewasa dan badannya bugar.
Kalau dengan tidak memberinya apa lantas membuat anak itu mikir dan berhenti mengamen kah? Buat saya justru mereka yang memaksa anak-anak itu mengamen dulu yang harus dibereskan. Ngomong-ngomong soal sekolah gratis tidak lantas semua serba gratis kan? lagi pula mungkin kalau mereka memang tidak mampu keadaanlah yang memaksa. padahal pasal 33 UUD 1945 jelas koq menyebutkan anak-anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara. Nah Lho!
Bicara soal keluarga miskin pun yang nota bene mendapat bantuan raskin dan BLT juga tetep harus melaui mekanisme nan ribet. Seperti BLT misalnya, untuk membuktikan seorang warga berhak mendapatkan BLT dia harus bisa menunjukkan Kartu keluarga, sementara di sisi lain birokrasi (lagi) yang ribet kerap meminta 'biaya administrasi' buat membereskannya. Ah, pusing, seperti Lingkaran setan saja ya? Saya berharap akan segera ada sosok seperti Muhamad Yunus (tau kan? beliau seorang tokoh dari Bangladesh yang konsen soal kemiskinan dan pernah diwawancara oleh Oprah karna kepeduliannya itu) di negeri ini. Mungkin ada dan tidak terekspos atau saya sendiri tidak tahu? Wallahualam, sya juga pengen seperti Muhamad Yunus yang bisa menyisihkan lebih banyak rejekinya buat mereka. Semoga yaaa, Amiin.
Nah, bicara soal pemberdayaan masyarakat miskin, saya jadi teringat satu judul buku "Berhenti Sejenak" tulisannya Bayu Gwatama. Sudah lama sekali saya membacanya. Waktu itu adik saya yang pinjam dari temen dan saya nimbrung ikutan baca. Ada satu bagian yang menginspirasi soal pengamen tadi. Saya tidak tahu apa masih bisa dicari atau tidak tapi mungkin ada teman atau saudaranya yang punya, silahkan baca. Isinya menyentuh kita akan kepedulian mereka yang malang.
Jadi, dalam salah satu bagian itu diceritakan (seingat saya itu yang dialami penulis dengan temannya, maaf kalau lupa ya). Dia heran dengan sikap cuek temannya yang tidak pernah mau mengulurkan barang sedikit receh untuk pengamen/pengemis yang dijumpai di jalan. Ah, pelit sekali sih kamu, protesnya. Temannya itu cuma tersenyum menanggapinya. Hingga satu waktu temannya ini mengajak beliau mengunjungi seorang ibu di daerah pemukiman yang padat penduduk. Ternyata temannya itu mengajaknya menemui seorang ibu penjual pecel. Akhirnya dalam obrolan itu terungkaplah kalau dulunya si Ibu penjual pecel itu seorang pengemis.
"Bu, saya mau ngasih ibu. Ibu mau pilih apa, saya kasih receh atau saya kasih modal buat usaha? kalau ibu mau modal usaha, ibu harus bisa mempertanggungjawabkan modal yang saya kasih," kurang lebih seperti itu dialognya. Subhanallah, ternyata si ibu pengemis ini memang mengemis karna terpaksa. Akhirnya disepakati si Ibu ini mendapat bantuan modal. Setelah mendapat modal usaha itu, si temannya ini selalu menemui si Ibu dan memantau perkembangan usahanya. Memperhatikan apa saja yang harus dibenahi dalam usahanya. Dan.... berhasil! ternyata beliau bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dari usaha itu.
Nah, proses mendidik seperti inilah yang menurut saya benar, bukan diam tidak memberi. (Duh, saya sih masih jauh dari sikap temannya Bayu Gawtama ini). Kalaupun kita tidak yakin dan mampu bisa memonitor bantuan si Ibu tadi, bukankah ada banyak Lembaga Amil Zakat yang bisa kita titipkan dana untuk membantu mereka yang tidak mampu? Mudah-mudahan cuma saya aja yang su'uzhan melihat mereka yang tidak mau memberi sedekah dan diam-diam menyalurkan dananya lewat lembaga amil zakat atau cara lain yang menurut mereka lebih baik.
Semoga yaaaa
kenyataannya emang banyak anak-anak yang kurang mendpat perlindungan
ReplyDeleteiyeee dikau jangan suudzoh dong... kan tangan kanan memberi tangan kiri gak tauuu :D
ReplyDeleteRTMB : Iya, kasian ya mereka, seperti apa masa depannya
ReplyDeleteMba Sita : Hehehe iya mba, pengen banget kayak temennya Gaw atau malah bisa kayak Pak Syahri atao Muhamad Yunus itu tajir tapi ga ada bosennya berderma
maksudnya pasal 34 UUD'45 kali yaa ;)
ReplyDeleteRufaidah : O iya bener pasal 34. Makasih koreksinya ya. SAlam kenal
ReplyDelete