Jembatan Pensil: Tentang Mimpi dan Ketulusan Seorang Disabilitas

Saya lupa kapan terakhir kali menangis sesenggukan saat menonton film. Ada kalanya ketika teman-teman bercerita  bagaimana mereka merasa teriris sampai terisak, saya malah tidak mengalami sedramatis  mereka. Nah, Film Jembatan Pensil yang siang tadi saya tonton sukses melelehkan air mata lebih dari separuh tayangannnya. Sisanya, saya dibuat tersenyum, kadang  diselingi  rasa mencelos karena beberapa adegan membahayakan nyawa.Terutama ketika menampilkan bagian Ondeng(Didi Mulya) dan keempat teman-temannya.

Pembuka film dibuka dengan adegan Aida (Alisia Rininta) seorang guru muda yang baru kembali dari Jakarta ke kampung halamannya di Muna (Sulawesi Tenggara). Aida kembali ke Muna untuk membantu mengajar di sekolah gratis yang dirintis oleh bapaknya (Andi Muna). Dalam  perjalanan pulang, Aida terus-terusan direcoki kecerewetan ibunya, Farida (Meriam Belina). Ketika turun dari feri, tasnya terjatuh di dermaga dan jatuh ke air laut. Beruntung ia bertemu dengan Pak Mone (Deden Bagaskara), nelayan yang juga tetangganya di sana. Pak Mone  kemudian menyuruh Gading (Kevin Julio) untuk membantu mengambilkan tas Aida.  Adegan tas yang jatuh, beningnya air laut yang berwarna biru hijau selanjutnya menjadi nafas  fragmen demi fragmen dalam film ini.

Tadinya saya pikir pertemuan Aida dengan Gading akan mempunyai porsi besar dalam film ini, ditambah kehadiran Arman (Agung Saga),  peternak sapi yang juga naksir dia. Tapi syukurlah, Jembatan Pensil konsisten dengan gagasan utamanya memotret kehidupan  Ondeng.  Walau terbelakang, sesungguhnya Ondeng mempunyai sisi kecerdasan lain yang kerap terabaikan. Selain pintar menggambar, Ondeng  mempunyai hati yang lembut, dibalik tingkahnya yang childish (padaal Ondeng bongsor sekali dengan wajah yang terlewat tua untuk usia anak SD).

Apa yang dialami oleh Ondeng dan 4 sahabatnya Nia , Yanti, Azka, dan Inal (diperankan oleh Nayla D Purnama,  Permata Jingga, Azka dan Angger Bayu) memotret secara sederhana kehidupan anak-anak sekolah dasar di pelosok Indonesia yang infrastrukturnya masih sederhana.  Setiap hari mereka harus berjalan jauh untuk pergi sekolah. Selain harus menggantungkan sepatu dan berjalan 'nyeker' agar sepatunya tidak lekas aus. Mereka pun harus mempertaruhkan nyawanya saban melewati jembatan yang bilah-bilahnya rapuh. Saya ikut deg-degan dibuatnya saat mereka berjalan di atasnya. Rasanya pengin sekali ikutan teriak seperti Ondeng bilang "Awaaas...!"

Sebenarnya Ondeng bisa saja langsung berangkat ke sekolah tanpa harus menunggui keempat teman-temannya itu di jembatan. Tapi ya itu tadi, Ondeng punya hati yang lembut dan peka. Ondeng hanya ingin memastikan keempat teman-temannya sukses melewati drama menantang maut setiap pagi dengan aman. Apalagi diantara mereka ada Inal seorang tunanetra yang perlu mendapatkan pendampingan agar tidak  jatuh ke sungai. 

Selain tinggal bersama ayahnya, Ondeng juga tinggal bersama Gading yang sejak kecil sudah jadi bagian dalam keluarganya. Di mata Pak Mone, selepas kematian istrinya, Ondeng adalah hartanya yang begitu berharga, terlepas dari keterbelakangannya itu.

Alih-alih merasakan gemas dengan cerita cinta segitiga antara Gading, Aida dan Arman, saya lebih tertarik dengan sosok Pak Mone. Entahlah, walau penokohannya sederhana, setiap interaksi Pak Mone dengan Ondeng selalu bikin saya nangis. Pun ketika Onde curhat tasnya hanyut di sungai, Pak Mone menghibur Onde kalau tas masih bisa dicari, beda dengan nyawa. Tidak ada yang menjual. Yang ga  kalah nyesek tentang Pak Mone adalah berita kematiannya.  Saya ikuta nangis apalagi ketika melihat  Ondeng histeris dibuatnya.  

Ingatan saya langsung tertuju pada Apa (Bapak saya) di rumah yang semakin hari semakin menua. Hingga detik ini  waktu saya menulis  review film Jembatan Pensil, rasanya saya masih jauh dari idealnya gadis kecilnya yang berbakti. Saya belum bisa membalas budi dan membahagiakannya. Saya tiba-tiba dihinggapi ketakutan akan kehilangannya. Hiks hiks.....

Walau trauma dengan suara gelegar petir, sesungguhnya Ondeng adalah seorang anak yang pemberani. Dalam satu adegan, Ondeng tidak berpikir panjang nyebur ke sungai untuk menyelamatkan teman-temannya yang tercebur. Dalam keadaan basah kuyup, mereka bukannya balik badan kembali ke rumah, tapi melanjutkan perjalanan ke sekolah. Bersama teman-temannya Ondeng tiba di halaman sekolah yang sederhana. Mereka ikut memberikan hormat pada bendera saat lagu Indonesia Raya berkumandang. Adegan yang  sederhana, tapi sangat menyentuh. Impian mereka untuk menjadikan hidupnya lebih baik membuat ujian terperosok ke sungai jadi tidak ada apa-apanya.

Film besutan Hasto Broto berdurasi 91 menit ini bukan saja mengemas secara apik indahnya kecerdasan sosial yang dimiliki seorang anak penyandang disabilitas tapi juga bentang alam tepian pantai Indoneia yng indah. Kemilau air laut dan sungai yang biru kehijauan adalah fenomena yang jarang saya temui. Walau  bukan penggemar liburan pantai, saya tidak bisa menampik indahnya pesona pantai yang ditampilkan di film ini. Sinematografinya super duper cantiiiik.  Terus, saya jadi membandingkan dengan sungai-sungai di Bandung yang pernah saya lewati. Hiks, beda. Keruh dan kotor, ditambah dengan tumpukan sampah-sampah yang hanyut atau tersangkut. Kapan yaaa, Bandung bisa punya sungai sebening itu?

Di sisi lain, saya juga mencatat film ini mengangkat celah strata sosial yang masih lebar di belahan Indonesia Timur sana. Walau sering diolok-olok istrinya Bu Farida, Pak Guru bersikukuh melanjutkan sekolah gratisnya di SD Towea bagi anak-anak di sana. Pun begitu kalau memerhatikan rumah-rumah panggung  masih jadi ciri khas di sana. Ini menggambarkan kondisi perekonomian yang masyarakatnya yang cukup jomplang. Akting ngenyeknya Bu Farida pada Gading bikin saya sebel. Emang kenapa kalau dia nelayan dan nolongin Aida? Kenapa setiap pertolongan dari orang-orang sederhana seperti Gading selalu dicurigai ada modus dibaliknya? 

Jembatan Pensil bukan hanya bercerita tentang mimpi sederhana seorang Ondeng yang bercita-cita bisa membangun jembatan yang kokoh agar teman-temannya bisa dengan aman melewati jembatan menuju sekolah. Dibalik kerapuhan mentalnya, Ondeng bisa menjembatani teman-temannya untuk tetap menggenggam mimpi demi masa depan yang lebih baik.

Dari sebatang pensil yang dimilikinya Ondeng mengingatkan kita semua, hal-hal yang baik atau buruk bisa kita tuliskan. Jika tulisan bisa dihapus, kenangan akan kebaikan atau keburukan akan selalu terpahat dalam kenangan. Kita tinggal memilih, akan menuliskan cerita indah atau kenangan buruk bagi orang lain di sekitar kita.



8 Comments

  1. Ondeng mengajarkan pada kesederhanaan juga ya, Mbak. Aku belum nonton pilem ini. Pingiiin. :D

    ReplyDelete
  2. Jembatan pensil. Dari judulnya aja udh bikin penasaran pgn nonton

    ReplyDelete
  3. teh Efiiii, nuhun ih sudah nonton hahaha dan sudah sharing pastinya. Kemarin malika minta nonton ini.. akunya lagi riweuh banget. Dan belum baca review soal film ini sama sekali. Jadi weh bilang ke malika "ntar aja kalau sdh ditayangkan di tv" eh ga taunya bagus ya.. ajak malika deh minggu ini. NUhunn sakali lagi

    ReplyDelete
  4. Duh teteh, jadi inget sm ayahku juga di rumah. Sama, masih jauh juga dari 'gadis kecil' idealnya, hiks. Btw filmnya menarik ya teh, mengangkat kesederhanaan yg nyatanya sehari2 terjadi. Sepatu aus, jembatan penyabung nyawa.. barakallahu buat semua yg mengalami itu deh. Aku ga kuat kayaknya :D

    ReplyDelete
  5. Film2 kayak gini tuh kayak semacam pengingat, di bawah tanah masi ada tanah. Kita masi ngeluh2 berasa paling susah, itu yg kesusahan masi banyak banget rupanya.

    ReplyDelete
  6. Aku cari reviewnya nih film jembatan pensil, mau ngajak anak jadi mau tahu aman atau ngga-nya

    ReplyDelete
  7. Wah moral ceritanya bagus... jadi pingin nonton :)

    ReplyDelete
  8. Huaa... Enggak sempet nonton Jembatan Pensil :'(

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.