Friday 27 January 2017

Tour de Petjinan van Bandoeng, Napak Tilas Sejarah Etnis Tionghoa di Bandung

Ada banyak cerita dibalik nama jalan-jalan yang ada di Bandung.  Sebagian besar nama jalan yang kita kenal ternyata punya akar sejarah yang menarik untuk ditelusuri.  Saya jadi ingat cerita teman saya, teh Imas,  kalau nama-nama gang di sekitaran jalan Holis atau Cibuntu terkait dengan sejarah nama tokoh tertentu. Jalan Syahbandar yang teletak di samping Puskemas Cibuntu adalah salah satunya. Konon katanya semasa hidupnya Syahbandar  adalah seorang yang sangat kaya dengan aset tanahnya yang luas. Saya juga jadi teringat cerita teman SMP saya ketika menceritakan gang Siti Mariah, gang menuju ke rumahnya juga ada ceritanya. Saya lupa-lupa ingat  detail daerahnya tapi di kawasan itu kita bisa menjumpai makam Siti Mariah di sana.  

Bergeser ke pusat kota, nama-nama jalan seperti Jalan Tamblong (babah tukang kayu), Jalan Asep Berlian (orang yang sangat kaya karena punya punya perhiasan banyak di tangannya), Jalann Dulatip (salah satu saudagar pasar pada tahun 1900an) Jalan Tamim (pemburu dan pengoleksi celana jeans mesti tau banget tempat ini) dan beberapa titik lainnya pun tidak lepas dengan akar sejarah pada masa lampau. 

Yang tidak kalah menarik adalah cerita penamaan jalan Paltiga. Ruas jalan yang terletak di sebelah kiri jalan Jendral Sudirman, sekitar 300 meter sebelum Cibeureum-Cimahi adalaah jalan menuju komplek tempat tinggal saya. Dulu  pernah ada yang bilang kalau di daerah sana pernah ada 3 pesawat (orang Sunda kalau nyebut pesawat terbang dengan sebutan kapal) yang jatuh. Konyol juga sih kalau dengar cerita ini, karena tidak mungkin lalu lintas pesawat  bisa berpapasan lalu tiga pesawat bersamaan jatuh di sana (cmiiw).  Sampai akhirnya saya baru ngeh ketika mengikuti napak tilas bersama komunitas  Aleut (24 Januari 2017). Ih ke mana aja ya?

Penamaan Paltiga adalah pemberian nama jalan terkait lalu lintas dengan kuda yang ditandai dengan batas pal (1 pal kurang lebih setara dengan 1,5 km). Saat itu transportasi di Bandung masih sangat sederhana, bagi para keluarga menak (bangsawan) dan Belanda, kuda menjadi sarana transportasi untuk menempuh perjalanan. 



Area alun-alun Bandung menjadi meet point bagi kami peserta ngaleut yang disponsori oleh hotel Best Western Premire,  Bandung. Karena akhir pekan ini akan menyongsong tahun baru Imlek  2568, tema itenerary yang diambil adalah Tour de Petjinan van Bandoeng.

Bersama Bang Aswi dan Mbak Alaika, kami turut ngaleut (berjalan kaki bareng-bareng) dengan perwakilan media, pengurus komunitas Aleut, Mojang Jajaka  Bandung, Koko Cici Jakarta, Akko Amoi Bandung, dan Mojang Jajaka Bandung serta tim dari hotel Best Wetern Premier Bandung pastinya. Kurang lebih ada 38 peserta menyusuri jejak sejarah etnis Tionghoa sejak pertama kali Jalan Pos (De Grotepostweg) dibangun untuk menghidupkan perekonomian Bandung.  Kalau sekarang jalan Pos ini lebih dikenal dengan nama jalan Asia Afrika. Tahu dong di mana itu?

Warung Kopi Purnama

Itinerary pertama yang kami tuju adalah Warung Kopi Purnama yang terletak di jalan Alkateri. kalau berjalan dari Alun-alun Bandung letaknya ada di sebelah kiri jalan Asia Afrika,  di samping hotel Grand Flower yang dulunya merupakan salah satu mall yang terkenal di akhir tahun 1980an, Romano Plaza. Game Zonenya sempat ngehits juga dengan lift tembus pandang dari halaman luarnya. Yang ngaku anak Bandung mesti tahu ini :).

Back to topic, ya.  Meski matahari sudah mulai menyengat, pagi itu selasar jalan Asia Afrika yang biasanya dipadati PKL masih terlihat sepi. Saya sempat mengabadikan mural di salah satu sudut jalan ini. Ada yang tahu siapa Kim Jong yang dimaksud di sini?

Tidak jauh dari mural ini, kami tiba di Warung Kopi Purnama, sebuah warung kopi yang cukup legendaris. Usianya sudah menjejak 87 tahun, didirikan pada tahun 1930.Pada saat itu masih bernama Chang Chong Se (berganti nama pada tahun 1966). Saat ini  Warung Kopi Purnama sudah dikelola oleh generasi ke-4. 

Jangan merasa khawatir kalau datang sendirian ke warung ini. Akan selalu ada mereka yang menyapa dan mengajak untuk nimbrung ngobrol.  Bila dulu jam 5 sore sudah tutup, sekarang waktu operasi Warung Kopi Purnama jadi lebih lama, yaitu tutup pada jam 10 malam. Yang menarik, kebutuhan kopi untuk warung ini dipasok dari Kopi Aroma yang lokasinya cukup berdekatan. 

Kopi Aroma

Ada banya kedai atau cafe tempat ngopi di Bandung. Tapi jangan pernah mengabaikan salah satu pusat kopi yang satu ini, pabrik Kopi  Aroma. Belum sampai di depan tokonya saja aroma kopi sudah menguar di udara dengan sensasi aroma yang harum menyenangkan.  Tokonya belum buka saja sudah banyak orang-orang yang mengantri. Pada waktu tertentu antriannya bisa lebih panjang dibanding ketika hari itu kami main ke sini.

Selain rasanya yang tetap konsisten, Kopi Aroma juga masih setia dengan mengandalkan peralatan lama untuk mengolah kopinya. Bahkan sebelum diolah di sini persediaan kopi bisa disimpan sampai 5 tahun ke depan. Hasilnya, kopi racikan di sini mempunyai kadar asam yang rendah. Kecuali punya keluhan maag yang sangat akut, Kopi Aroma ini bisa jadi pilihan lain menyesap kopi tanpa meninggalkan rasa bersalah. Ya tentu saja asal jangan over dosis, dong. 

Dengan andalannya berupa Mocca arabika dan Robusta, Kopi Aroma tidak pernah membuka cabang lain. Cuma di sini saja. Tapi jangan khawaatir, kemasan Kopi Aroma yang kita jumpai di Supermarket itu asli kok karena  untuk beberapa swalayan memang sudah dipasok.


Babah Kuya

Bagi yang mempunyai keluarga dengan keluhan penyakit degenaratif seperti kolesterol,  darah tinggi, diabetes dan penyakit lainnya, nama tokob  obat ini sudah sangat familiar. Selain memang dikenal secara umum, toko obat Babah Kuya juga jadi rujukan para terapis herbal, farmasi dan Sinshe untuk mendapatkan obat. Selain membeli obat yang diresepkan, pembeli juga bisa minta tolong diracikan obat untuk jenis penyakit tertentu. Bahkan di sini juga katanya bisa dijumpai rempah-rempah bumbu masakan yang sulit dtemukan. Sambiloto, Batrawali atau Bidara bisa didapatkan di sini. Aroma obat herbal yang memenuhi toko sangat khas sekali.Hingga saat ini  Babah Kuya masih dikelola oleh keturunanya, sudah masuk generasi ke-4.



Cakue Osin

Kenyang hanya dengan menghirup aroma kopi, kebal dengan bau obat dan rempah lainnya, perut kami mulai demo dan minta diisi. Fiuh, senangnyaaaa karena kami tiba di Cakue Osin yang terletak di jalan Babatan. Tidak jauh dari pasar atau dekat SMP 6 Bandung. Sekilas nama usaha kuliner ini mengingatkan saya dengan drama seri dari Jepang itu, lho. Tapi ini Osin, bukan Oshin versi Jepang itu. 

Ngomong-ngomong soal kuliner Tionghoa, selain capcay, bacang, siomay atau bakpau, cakue ini juga merupakan hasil perkawinan kuliner Tionghoa dengan kuliner lokal. Cakue Osin  ini juga usianya sudah lama. Sejak tahun 1934 sudah ada, lho. Warungnya sangat sederhana tapi jangan salah, mereka punya pelanggan yang loyal. Untuk beberapa jenis tertentu malah bisa habis diborong sebelum jam 10 pagi.

Untuk ukuran harga dan rasa sepadan lah. Satu cakue yang ukurannya jumbo cukup mengenyangkan. Bisa dicocol dengan saus yang endeus itu atau dicelupkan dengan bubur kacang Fujian. Kacang yang digunakan pun unik, bukan kacang hijau seperti biasa tapi kacang tanah yang lembut dengan aroma dan rasaya yang khas. Manisnya pun tidak berlebih.

Bagi yang muslim, harap berhati-hati untuk menjajal jenis makanan tertentu karena komposisi bahannya mengandung babi alias non halal. Tapi untuk  cakue, bubur kacang, kue tambang dan kompia kosong aman dan halal kok. Bahkan untuk mengolah sebelum dijualpun diperlakukan secara terpisah.


Pasar dan Huru-hara

Meskipun karakter etnis Tionghoa  pada saat itu bisa dibilang cair dan mudah berbaur dengan warga lainnya, tidak lah mudah bagi mereka untuk mendapatkan izin masuk ke Bandung. Menjadi seorang muslim adalah salah satu cara untuk memuluskan jalan masuk. Namun situasi ini dimanfaatkan oleh seorang Tionghoa bernama Munada. Dengan berpura-pura masuk menjadi orang muslim, Munada tidak bisa menutupi karakter aslinya yang suka membuat kekacauan. Peristiwa kebakaran pasar Ciguriang pada bulan November tahun 1845 juga tidak terlepas dari perannya.Huru-hara ini adalah umpan utnuk melampiaskan dendam pada Asisten Residen Priangan dan Bupati Bandung pada saat itu.

Puluhan tahun berlalu setelah kebakaran yang melanda pasar Ciguriang pada tahun 1904 didirikan pasar  baru dengan los-los  yang semipermanen. Yang menarik dari pasar ini, pada tahun 1935 Pasar Baru mendapat pernghargaan berupa pasar terbersih dan teratur  di wilayah Hindia Belanda.  Pada tahun 1970an pasar baru mengalami perombakan menjadi gedung bertingkat dan direnovasi lagi menjadi semakin baik pada tahun 2001 sampai sekarang.

Saudagar pasar dan Rasia Bandung

Salah satu alasan kedatangan etnis Tionghoa ke Bandung pada saat itu adalah dibutuhkannya keahlian mereka dalam hal perkayuan untuk menunjang pembangunan Bandung. Namun ternyata mereka bukan hanya jago soal kayu, tapi juga punya naluri berniaga yang mumpuni. Selain menjadi ahli pengobatan seperti Babah Kuya, pengusaha kopi  (kopi Purnama dan Kopi Aroma) atau atau mengelola berbagai bisnis kuliner seperti Cakue Osin, etnis Tionghoa di Bandung pada saat itu juga dikenal jago berniaga di pasar. Konon kedatangan para warga Tionghoa ini selain terkait kepentingan Belanda yang sedang menggenjot pembangunan Bandung juga terktat dengan meletusnya Perang Diponegoro.

Bermula hanya ada 13 orang (tahun 1840), populasi warga Tionghoa semakin membesar dan membutuhkan permukiman yang pada saat itu dilokalisasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kawasan Pecinan atau Kampung Cina pada saat itu terpusat di  Kampung Suniaraja (Santiong)  dengan batasan jalan Asia Afrika, Banceuy, Suniaraja dan jalan Otto Iskandardinata. Namun pada perkembangannya batasan pemukiman etnis Tionghoa ini jadi samar karena pada saat itu sebagain besar dari mereka hidup membaur dengan masyarakat  pribumi dan pendatang lainnya.

 Salah satunya adalah Tidak keluarga Tan Djin Gie sebagai pedagang batik Solo yang terkenal. Bahkan sampai saat ini kita masih bisa menjumpai jejak sejarah keluarga ini dalam bentu bangunan hotel Surabaya (dulu bernama  Landhuis). 


Terkait dengan keluarga ini terbit sebuah novel  pada tahun 1917 Rasia Bandung, berkisah tentang kisah cinta terlarang.  Salah satu tokoh utamanya bernama Hilda, anak dari Tan Djin Gie yang jatuh cinta pada seorang pemuda yang juga berasal dari marga Tan. Pada saat itu menjalin cinta apalagi menikah dengan sesama marga adalah sebuah aib  sehingga membuat anak gadis dari Tan Djin Gie yaitu Hilda tidak diakui oleh keluarga. Nahasnya cinta setia Hilda pada Tan Tjin Hiauw, pemuda yang dicintainya itu tidak sepenuhnya berbalas kesetiaan  hingga menjadi pusaran kisah cinta yang rumit.

Beberapa tahun kemudian kisah cinta mereka ini terangkum dalam novel. Kalau Siti Nurbaya sudah dikenal dan jadi novel yang yang lgendaris, kisah cinta Rasia Bandung ini belum banyak yang familiar. Identitas penulis dari novel ini pun masih misteri. Ada yang menduga penulis novel ini (Chabanneau, nama samaran  yang artinya minuman keras) berusaha memeras tokoh utama cerita. 

Penasaran dengan buku ini? Saya sudah punya bukunya tapi nanti saja ya saya tulis reviewnya ddi blog saya khsuus buku akunbukucom.  Dinamika bahasa juga terjadi di novel ini. Gaya bahasanya sangat berbeda dengan novel populer modern. Tadinya  Rasia Bandung terbit dalam 3 jilid kemudian disempurnakan di sana sini seperti ejaan bahasa lama  yang disesuaikan dengan ejaan sekarang, c
atata kaki untuk memberikan keterangan dan disatukan dalam satu jilid saja. Kalau ingin baca sendiri silahkan hubungi Komunitas Aleut untuk memesan buku ini, baik untuk yang tinggal di Bandung atau di luar Bandung. Silahkan chat saja via WA di nomer  0896 8095 4394 atau 0859 7490 5769.  Yang mau main ke markas Aleut sambil langsung memboyong buku ini bisa melipir ke jalan Solontongan No. 20-D, Buahbatu, Bandung.

Vihara Satya Budi

Viahra yang dulunya bersebelahan dengan almamater SMP saya (SMPN 25 Bandung yang sekarang beralamat di jalan Pajagalan) ini terletak di jalan Kelenteng.  Usia Kelenteng ini udah cukup tua, didirikan pada tahun 1800an. Vihara Satya Budi didirikan di atas tanah milik Tan Ju Liong. Vihara yang selalu ramai dipadati pengunjung  di setiap malam Imlek ini desainnya dirancang secara istimewa. Tan Ju Liong memanggil arsiteknya langsung membangun vihara yang megah dari Tiongkok Selatan. 



Meski terbuka untuk umum di luar umat Konghucu, pengunjung yang datang iharapkan untuk tetap menjag etika agar tidak menganggu proses ibadah. Di beberapa titik kita diperkenankan untuk memotret atau berfoto ria, di bagian lain seperti bagian dalam vihara tidak diiziinkan untuk memotret.  Aroma dari dupa, lilin yang besar (dinyakalan dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore saja, dan patung-patung dengan nuansa merah dan kuning yang dominan bisa kita jumpai di sini. 

Share:

22 comments:

  1. Hemmm ada aroma, ada Purnama nama yang singkat dan gampang diingat, pantesan selalu rame hehe. Btw gambar wiharanya keren euy, lebih keren lagi yang pakai payung. Jadi ikutan adem deh ngelihatnya hehe. Cucok deh jadi gambar foto akhirnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaah dirimu salah fokus, Mak. Itu yang payungan cuma satu aja kok hehehe. Hayuk sini maen ke Bandung.

      Delete
  2. Tempatnya kece-kece. Kok aku jadi pengen ikutan makan cakue. Ini kan tidak ada di daerahku....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, ternyata kalau mau ngulik banyak tempat kece di Bandung. Kalau maen ke Bandung jangn lupa mampir Ke Cakue Osin ya.

      Delete
  3. Wawwww seru, teh efi! Lengkap pisan turnya. Ke warkop purnama, cakue oshin, sampe klenteng. Ini turnya dibuka utk umum gak,teh?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktu itu limited sih Lu, ga dibuka buat umum. Aku diajakin sama BWP.

      Delete
  4. Hai mba EFi, aku pas kemarin ke BAndung juga panasnya menyengat banget, tapi tetap ya pesona Bandung nggak hilang. Hihii. Asyik nih catatatnnya bisa jadi panduan kalau bisa main ke Bandung lagi :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih, panas membara bisa bikin eksotis hahaha. Kalau maen ke Bandung lagi jangan lupa mampir ke tempat-tempat ini, ya.

      Delete
  5. teh Efi ..., ini komunitas bukan? kok jadi kepengen ikutan deh menjelajah Bandung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tur heritage ini emang jadi program mingguannya komunitas aleut, Mbak. Tiap hari minggu agendanya. Kalau yang saya ikutin ini special edition sih. Ada kok akunnya di facebook. Kali aja mau ke Bandung, mau ikutan turnya, bisa daftar dulu di eventnya mereka.

      Delete
  6. Teh,, efii,, jadi mupeng beneran mau ngubek 2 mbandung mdh2an segera ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayuuuu sini ke Bandung. Siapa tau kita bisa ikutan ngaleut bareng.

      Delete
  7. minum kopi sambil ngeblog atau baca buku memang paling asik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa betah tuh seharian nongkrong di warung kopi Purnamanya

      Delete
  8. menariik banget Teh, buat aku apalagi ya yg bukan orang Bandung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku aja tertatik pake banget. Berasa belum kenal Bandung seutuhnya hahaha

      Delete
  9. Seru banget kayaknya Teh dan aku belum pernah ke semua tempat itu.. T_T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayu ikutan Mit kalau para bocil udah bisa ditinggal. Seru lho.

      Delete
  10. Wah seru teeeh. Btw dulu aku sering ke Babah Kuya itu teh, beli macem - macem rempah buat bapak dan bedak dingin buat jerawat. Jadi keingetan pengen ke sana. Seru ya acara ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku pernah ke sana juga sebelum ini. Nemenin mamaku yang nyari obat. Nantk ke sana lagi ah cari rempah-rempah buat masak.

      Delete
  11. Babah Kuya sekarang lebih sering tutup daripada buka :( tiap aku kesana pasti tutup waeee...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah gitu ya? Lain kali mungkin harus cari tau jadwal buka ya, Gita. Biar ga kuciwa datang ke sana eh malah tutup.

      Delete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.