Jika
aku bukan jalanmu
Ku kan berhenti mengharapkanmu...
Jika
aku memang tercipta untukmu
Ku kan
memiliku....
Video klip yang
sedang tayang berubah jadi
geger tawa penonton di studio.
Hilang sudah suasana romantis. Aku melirik
dengan tatapan protes ke arah Rika,
saudara sepupuku yang mengangkat remote, dan memindahkan saluran tv. Padahal aku
sedang asik menikmati suara
bujang berlesung pipi dan tatapan mata teduhnya dibalik kacamata berbingkai hitam itu. Rasanya
membuatku..
“Mau-maunya aja diphp-in, sih,
Mey?”
Ini
kali keduanya Rika
menggangguku. Membuyarkan kenanganku
tentang Dion. Sahabat yang kukenal
sejak SMA dan sampai
penghujung kuliah. Selama itu
juga aku cuma bisa
menelan perasaan, menekannya dalam
ruang paling gelap dalam hati,
tidak ada yang tahu, kecuali
Rika. Itu pun gara-gara aku keceplosan.
Aku
menekuk tungkai yang sejak
tadi lurus berselonjor.
Rinai hujan serupa
tirai seharian ini masih
enggan beranjak. Aroma pterichor yang
menari-nari di luar sana semakin menggodaku untuk semakin
malas, membuatku tenggelam dan bergelung
di kamar. Menghabiskan waktu sambil bermalas-malasan dan
menyesap wangi teh dengan aroma
mint.
Ngomong-ngomong soal Dion, dia memang mirip dengan Afghan, hanya saja bedanya Dion sedikit berisi dengan rambutnya yang agak ikal. Suaranya? Afghan lewat, deh. Ya, baiklah, mungkin menurut kalian itu cuma menurutku. Perasaan seorang fans gelap? Ah bukan. Aku bukan fans gelap. Hanya memuja, memuja yang terlalu lama. Hiks, tragis, ya.
Aku tahu Dion punya suara bagus karena waktu SMA pernah satu kelompok dan untuk tugas ensamble seni musik. Sungguh, suara baritonnya membuatku hanyut. Sayangnya suara emas Afghan, eh Dion tidak banyak yang bisa menikmati. Entah kenapa sejak SMA sampai kuliah, Dion selalu mengelak untuk ikutan grup paduan suara. Andai waktu itu tampil ensamble tempo hari aku merekamnya, agar bisa kunikmati saat sendiri seperti ini.
“Repot Mey,
gue ga mau punya fans,”
elaknya suatu hari.
Aku hanya melongo, membiarkan alisku terangkat seperti ulat bulu yang menjengit kepanasan. Dion hanya tertawa melihat ekspresiku.
“Kamu udah tau belum kabar terbaru soal Dion?” Rika duduk di sebelahku, menyorongkan piring berisi french fries buatanya, menarikku kembali dari lamunan.
“Apa?” tanyaku
sambil mengambil segenggam french fries dan memindahkannya ke atas selembar tissue.
“Dia baru aja
bikin pengumuman di kopma. Katanya mau over kontrak kosannya.”
“Terus?” Aku
mulai gusar. Dion
mau over kontrak
kosannya. Artinya Dion tidak lama lagi akan pergi. Ah, ya. baru saja minggu kemarin dia selesai sidang
skripsi. Ah, tidak! Aku bakal kehilangan kamu, Dion, keluhku dalam hati.
“Balas kiri, masih
kosong,” timpal Rika asal. "
Aku nyengir. “Gini deh, kalau punya temen berbakat jadi tukang parkir.”
“Mending gue dong, bakatnya disalurin, enggak dipendam. Lah, elu? Cinta diperam. Keburu busuk, tau. Mau nunggu sampai kapan? Mumpung masih di Bandung, Mey. Awal Bulan depan dia udah balik ke Bogor, ngurusin persiapan visa sama paspor, sebelum berangkat Januari nanti.”Rika mengipasiku.
“Tau ah,” aku semakin gusar.
“Percaya deh sama gue. Lu bakal nyesal neng. Kenapa tidak dicoba, sih?”
***
“Mey! Sini!”
Rika memanggilku. Wajahnya terlihat
serius menatap layar tv. Aku tergopoh-gopoh dari dapur sambil
membawa nampan berisi pizza. Wangi. Aku mengambil satu kerat
dan menyuapkan ke mulutku, meredam
aksi demo cacing di
perutku.
“Itu!” Mey menunjuk layar tv.
Mulutku berhenti mengunyah, mataku nanar menatap tv. Penyiar tv berambut sebahu menyampaikan breaking news berita jatuhnya sebuah pesawat dengan tujuan Tokyo, setengah jam setelah lepas landas. Itu adalah pesawat dengan nomor penerbangan yang membawa Dion. Mey merangkulku, dan mengusap buliran bening yang jatuh menderas di pipiku. Aku menyesal tidak menggubris ajakan Rika untuk mengantar ke bandara Dion sebelum berangkat. Setidaknya aku masih bisa melihat wajah teduhnya sebelum Dion hilang untuk selamanya membawa kenangan 7 tahun sejak SMA dulu. Bahkan hanya untuk melihat tubuhnya yang membujur pun aku tidak bisa.
***
“Sepertinya
kamu lebih berhak untuk
menyimpannya,” Wina kakak
Dion menyodorkan selembar foto
padaku. Setelah melayat ke
rumahnya.
Aku
membalikkan foto angkatan kami . Foto yang diambil setelah upacara
wisudanya. Ada tulisan
tangan Dion. Aku membacanya perlahan,
“Mey, hanya bisa
jadi sahabat.”
Air mataku
luruh sekali lagi.
mirip judul lagu grup band padi, tapi jelas isi dan pesannya juga mirip...bedanya ini disampaikan oleh seorang blogger...mantap, o iya td saya follow blognya ya...thanks
ReplyDeleteHarusnya ngutip lagunya Padi buat opening ceritanya, ya hehehehe. Makasih sudah jadi follower blog saya.
Deletemirip judul lagu grup band padi, tapi jelas isi dan pesannya juga mirip...bedanya ini disampaikan oleh seorang blogger...mantap, o iya td saya follow blognya ya...thanks
ReplyDeleteTerlalu kelamaan menunggu moment yang tepat, jadinya gak sampai-sampai juga.
ReplyDeleteIiya, ga berani sih, mereka.
DeleteKayak judul ftv ya hehehh
ReplyDeleteO, ya? Dah lama ga liat ftv hehehe
DeleteHyaaa...kecelakaan. Yg sabar ya, Mei. Masoh ada Afgan. Hihihi
ReplyDeleteAku juga mau kalau Afghan *lalu dicubit fans Afghan yang masih abg*
Deleteaaah...jadi sediiih...
ReplyDelete