Ada yang pernah nonton film Merah Putih yang dibintangi
Lukman Sardi? Film trilogi yang mengambil seting pada masa kemerdekaan itu saya
tonton seri pertamanya tahun 2009 di bioskop. Jarang-jarang saya mau ke bioskop,
baik itu nonton film barat maupun film Indonesia. Bukan apa-apa sih, soalnya males
ngantri saat antriannya masih mengular. Kalau pun sampai bela-belain mau
nonton sebuah film, setidaknya di mata saya film itu adalah film yang keren dan
menarik. Benar saja, bersama
adik yang waktu itu masih di bangku
SD, saya tidak menyesal menonton film ini.
Dalam beberapa hal, kelemahan dari sisi sebuah film adalah
tidak bisa seutuhnya mengangkat semua detil layaknya dalam sebuah buku. Belum
lagi, eksotisme dari membaca adalah sudut pandang yang timbul setelah membaca
dari setiap orang belum tentu sama. So, kalau ada film yang diadaptasi dari sebuah buku akan lebih afdol kalau dibaca dulu bukunya. Spoil memang, kita keburu tahu endingnya seperti apa,, tapi visualisasi yang kita bayangkan dengan penafsiran sutradara tidak selalu sama, lho.
Buku yang akan saya resensi ini memang belum diadaptasi ke
layar lebar, namun menyimak kisah nyata dari seorang Mayor Mochamad Sroedji, sepertinya akan menjadi sebuah
fim yang asyik dan layak diapresiasi. Sudah lama juga, ya, kita tidak
menyaksikan film beraroma heroik perjuangan pahlawan-pahlawan Indonesia yang wara wiri di bioskop?
Judul Buku :
Sang Patriot
Penulis :
Irma Devita
Tebal :
266 halaman + xii
Penerbit :
Inti Dinamika Publisher
Cetakan Pertama :
Februari, 2014
ISBN :
978-602-14969-0-9
Sang Patriot dibuka dengan masa kecil Moch Sroedji yang lahir dari ibunya, Amni, yang cantik dan
ayahnya yang pedagang bernama Hasan. Sroedji mempunyai kelebihan fisik dan
kecemerlangan otak membuatnya tidak kesulitan untuk bersekolah di HIS dan Ambactsleergang (setara dengan sekola teknik), yang mengharuskan muridnya memiliki strata
sosial berdarah biru. Berkat pamannya, Pusponegoro yang jeli menangkap potensi
yang dimiliki, Sroedji berhasil mengenyam pendidikan yang setara dengan
anak-anak Belanda dan para pejabat pada masa itu.
Meskipun berotak encer, Sroedji tidak mewarisi bakat sang
ayahnya sebagai pedagang. Acap kali Sroedji pulang dengan tangan hampa, atau
terkadang memberikan barang jualannya dengan alasan iba. Namun begitu, pasar menjadi awal pertemuan
Sroedji bertemu dengan Rukmini, seorang wanita cantik dan juga pintar yang akan
menjadi istrinya kelak. Lewat pertemuan yaang diatur rapi dan seolah-olah tidak
sengaja itu, diam-diam keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya menikah.
Demi pegabdiannya pada Sroedji, Rukmini rela melepaskan
mimpinya untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Leiden, menjadi seorang pakar
di bidang hukum. Meski begitu, kecerdasan Rukmini membantu banyak Sroedji yang
kerap bertukar pikiran dengannya saat membahas dinamika politik yang sedang
terjadi baik saat masa pergolakan menjelang kemerdekaan, pendudukan Jepang,
atau bahkan saat masa agresi Belanda, tidak lama setelah disepakatinya perjanjian Renville.
Alur logika Rukmini memang diatas rata-rata para wanita di masanya,
namun urung juga ia kerap dilanda rasa kehilangan saat harus berpisah dengan Sroedji
yang bertugas ke luar kota - memimpin Batalyon Alap-alap - bergerilya dan
memimpin hijrah, menempuh ratusan kilometer menapaki hutan dan melalui
pegunungan yang terjal agar terhindar dari kejaran Belanda. Rukmini berusaha tegar, mengeraskan hatinya
untuk melepaskan kepergian Sroedji pergi berperang.
“Pak, ikuti kata
hatimu. Sudah jadi tekadmu menjadi
pembela tanah air. Jangan khawatirkan Cuk,
Pom atau aku. Kami tidak pernah sendirian. Allah selalu beserta kita,
Pak. Aku ikhlas.”
Latar belakang Irma Devita sebagai praktisi di bidang hukum,
dunia yang digelutinya sehari-hari tidak menjadikannya terasa canggung meracik novei
ini agar terasa renyah dibaca. Apalagi, penulis juga merupakan cucu dari pahlawan yang sosoknya diabadikan menjadi
monumen di depan kantor bupati Jember ini. Selain kedekatan emosionalnya
dengan sang nenek yang tidak lain adalah Rukmini, Irma Devita juga mengolah data yang akurat dengan para keluarga tokoh lain yang dikisahkan
dalam novel ini, semisal dengan Letkol dr. RM, sahabat dekat Mayor Sroedji.
Menekuri perjalanan kisah Sroedji dan Rukmini tidak melulu
membahas sengitnya pertempuran dan adu taktik dengan Jepang atau Belanda. Novel
ini juga menelisik sisi lain dari seorang pejuang yang juga manusia biasa yang punya emosi dan kepekaan nurani. Ada
sisi persahabatan, kegigihan, kesederhanaan, pengorbanan, romantika asmara dan penghianatan
yang terjalin apik dalam alur ceritanya.
Buat saya, ini adalah
cara belajar sejarah yang mengasyikan. Selama ini pelajaran sejarah selalu
identik dengan hafalan tahun, angka, nama tokoh, atau isi perjanjian yang sering
tertukar dan membuat ngantuk. Padahal dalam mempelajari sejarah, bukan hanya
bagaimana mengingat kronologi sebuah peristiwa atau nama-nama tokoh pahlawan. Dari
sejarah pula ada banyak teladan yang bisa kita renungkan. Banyak refleksi yang
seharusnya bisa kita petik.
Beberapa dialog dalam bahasa Belanda atau Jepang yang dipaparkan dengan
redaksi yang membuat kita bisa larut dan memahami cerita. Sebagai pembaca, kita bisa memahami dengan mudah apa itu seikerei, onderneeming, blitzkrieg, atau
apa itu garis Van Mook. Namun kadang-kadang saya
dibuat sedikit roaming karena ada
beberapa kosa kata bahasa jawa saya tidak saya kenal dan luput dari penjelasan yang
disampaikan. Eh, meski begitu, tidak terlalu mengganggu juga, kok,
hehehe. Kalau ditanya bagian mana yang menggelitik kepenasaran
saya, maka saya akan menjawab karakter Somad. Komandan KNIL yang berhasil menyusup ke dalam
barisan Batalyon Alap-alap. Kelicinan Somad, yang menyembunyikan jati dirinya membuatnya
berhasil membocorkan satu persatu taktik dan rencana yang sudah disusun matang
oleh Sroedji dan kawan-kawan. Sepertinya pembaca lain akan sepakat dengan saya bagaimana nasib akhir Somad yang tidak diceritakan lebih lanjut di novel ini.
Anda juga pasti akan penasaran, bagaimana kecerdikan Rukmini bermain sandiwara
atau kucing-kucingan dengan tentara KNIL
yang mengincar suaminya, atau galaunya Rukmini yang dilanda
rasa cemas dan gelisah saat berpisah dengan Sroedji. Setenang dan selihai apa sih, kemampuan
Sroedji yang mengelabui Belanda? Dan tentu saja bagaimana akhir cerita Sang
Patriot dalam novel ini? Kalau saya berhasil menggelitik rasa kepo anda,
mending sekarang buru-buru membuat jadwal untuk menyambangi toko buku terdekat dan
memboyong novel ini.
10 Comments
wah, mantap sekali ini review nya , Efi
ReplyDeleteyang membaca review buku ini, pasti jadi penasaran, pingin tau endingnya....
semoga sukses di lomba review ini, Efi :)
salam
Salam juga bunda. :D senang sudah dikunjungi ^_^
DeleteReviewnya mantap mbak Evi. Saya baru menulis draftnya di kertas. Hhehee.. bukan ambil last minute, tapi memang liburan.xixi
ReplyDeleteHihii...masih adawaktu kok, mbak.
Deletesangat bagus di rekomendasikan terutama untuk diri saya sendiri.. karna saya suka novel heroik hehe..
ReplyDeletesaya jugaaa :)
DeleteAku suka nonton film kepahlawanan gini, mak. Ini kl dijadiin film, kabar2i aku ya...Makasiihh. :)
ReplyDeleteMari kita tanya Mbak Irma :)
DeleteMak, dari yang aku tangkap di buku... pertemuan Sroedji dan Rukmini di pasar itu bukan karena Sroedji berjualan di pasar. Saat itu Sroedji sudah bekerja sbg mantri malaria di RS Kreongan Jember. Dia sengaja datang ke Malang dan mengunjungi pasar yang biasa didatangi Rukmini karena dia ingin melihat Rukmini yang hendak dijodohkan dengannya. CMIIW....
ReplyDeleteSalam hangat dari Madiun... :)
Oh, iya, mak. makasih koreksinya. Aku edit sekarang ah, biar ga lupa :)
DeleteSilakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.