[Quiz MFF #4]: Ayunan Terakhir
Sudah belasan tahun berlalu, tapi rumah mungil di ujung jalan
itu masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah, masih dengan gayanya yang jadul
namun kokoh berdiri, tidak tampak tanda-tanda akan roboh. Pagar kayu yang dulu, pohon rindang dengan ayunan
yang sama masih tetap di sana.
![]() | |
Credit: Betty Sanjaya |
“Kamu lucu.”
“Rambut kamu kayak sarang burung,” ledekku.
Lina terkekeh, sementara kedua bola matanya berputar, seakan
ingin mengintip ujung-ujung rambut ikalnya yang bergelayut di pangkal keningnya. “Aku iri sama rambutmu yang lurus. meski sekarang seperti terkena
sengat listrik,” ujar Lina sambil menggigit jambu air.
Kami tertawa lagi.
Aku merebahkan tubuh di samping Lina, diatas rerumputan, kadang terasa geli saat ujungnya yang lancip menyentuh pori-pori kulitku. Lelah dan senang setelah puas bermain ayunan dan berteriak sekencang-kencangnya. Saling bergantian mendorong, selalu dengan permintaan yang sama, "Lebih tinggi lagi!"
Dari sini kami bisa melihat pematang sawah di ujung sana yang menguning keemasan. Indah dengan kemilaunya bermandikan semburat mentari sore.
Dari sini kami bisa melihat pematang sawah di ujung sana yang menguning keemasan. Indah dengan kemilaunya bermandikan semburat mentari sore.
“Ngerujak, yuk?”
Satu tepukan lembut membuyarkan
lamunanku. Jojo, abangnya Lina mengajakku
duduk di halaman rumahnya. Bu Asih, mamahnya Lina tersenyum, mengajakku menikmati rujak buatannya. Rujak kesukaanku dan Lina, rujak jambu
air.
“Aku kangen Li,” kataku tercekat.
Jojo tersenyum tipis, “Kami juga,”
Bu Asih menatapku dalam. Aku
menunggunya berbicara, ada sesuatu yang membuat kerongkongku terasa kering.
Sementara sepiring rujak yang ada di hadapanku belum tersentuh sama sekali. Kenangan itu, kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, “Lina
sudah tenang, setenang senyumnya sore itu setelah bermain ayunan untuk yang
terakhir kali.”
Tiba-tiba aku merasa sesak. Dadaku seperti dihantam godam. Susah payah aku hapus kenangan itu, tapi tidak pernah bisa.
Kenangan yang membawaku kembali ke sini.
Lima belas tahun yang lalu, sehari sebelum keluargaku pindah, kami bermain ayunan bersama. Lina memintaku
mendorong bannya lebih keras. Aku bersemangat, sampai satu dorongan membuatnya terdiam. Hari itu, bukan saja hari terakhir kami bermain. Kedua tanganku jadi pembuka jalan bagi Lina ke tempat istirahat terakhirnya. Sebuah batu nisan yang hanya
beberapa meter berjarak dari ayunan itu. Di sana Lina terbaring dalam tidur panjangnya.
Aku menangis sesenggukan.
Aku menangis sesenggukan.
6 Comments
Sedih, semoga Lina diterima di sisi-Nya :'(
ReplyDeleteaamiin
DeleteRupanya maen ayunan juga berbahaya ya. Bisa menghilangkan nyawa ...
ReplyDeleteIya, kak
DeleteLinanya jatuh?
ReplyDeleteIya, mak. Jatuh.
DeleteSilakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.