Judul
: The
Vanilla Heart
Penulis
: Indah Hanaco
Penerbit :
Bentang, Juni 2013
Tebal
: 258 halaman
ISBN
: 978-602-7888-47-0
Kalau anda penggemar es krim, pasti familiar dengan
varian Vanilla, salah satu varian yang saya suka, termasuk untuk minuman
instant keluaran sebah brand yang terkenal itu. Karakter khas dari Vanilla ini
juga yang melumerkan dua orang – Hugo dan Dominique – yang tidak sengaja bertemu
dalam sebuah insiden dan jadi awal cerita di antara mereka berdua yang akhirnya
bertemu lagi 5 tahun kemudian.
The Vanilla Heart |
Indah Hanaco memulai cerita ini dengan cerita Hugo
yang baru saja putus dari Farah, gadis yang dicintainya sejak di bangku SMP.
Kesal dengan sikap Farah yang belum siap terikat dalam pertunangan bukan saja
membuat Hugo pergi dari rumah Farah dan mengabaikan kedua orang
tuanya, Hugo juga memutuskan Farah dan memutar tujuan bangku kuliahnya.
Hugo memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Bristol, Inggris, alih-alih ke
Melbourne, kota yang jadi tujuan semula mereka berdua.
Dalam perjalanan menuju pulang itulah, Hugo yang
ceroboh nyaris menabrak Kyoko, sahabat Dominique. Dominique yang geram
memaksanya keluar dari mobil dan mendampratnya habis-habisan.
Gugup menghadapi gadis yang galak meski sebenarnya
cantik denga sorot matanya yang memesona seperti Dominique membuat Hugo
berulah konyol dengan kata-katanya seperti ini: “Dominique,” apakah kamu mau menikah
denganku?”
Bisa ditebak, reaksi Dominique menjawab ucapan
Hugo dengan sebuah tendangan dan melengos pergi begitu saja. Setelah kejadian
itu, Hugo tidak bisa melupakan sepenuhnya sosok Dominique meski menghabiskan
kuliahnya selama 5 tahun di Bristol, Inggris. Di Inggris inilah, Hugo
berkenalan dengan salah seorang teman kosnya, Garvin, mahasiswa asal London
yang mengambil jurusan Computer Science. Gara-gara Garvin, Hugo jadi kecanduan
aroma Vanila, dan terus terbawa sampai kembali ke Indonesia.
Kembali ke Indonesia dan bekerja di Perusahaan milik
orang tuanya, Hugo bertemu lagi dengan Dominique yang menjadi
karyawannya. Bukan cuma Hugo, Dominique juga masih ingat raut wajah Hugo
dan tindakan spontanitas Domi yang menendangnya kembali, panggilan Hogo untuk
Dominique yang menendang atasannya itu menjadi awal kelanjutan cerita mereka
berdua.
Sementara Hugo terjebak dalam usahanya melepaskan diri
dari kejaran Farah yang ingin balik lagi dan pesona Dominique yang semakin
menguat. Lalu ada curhat Twinkle di acara radio, Vanilla for Life juga
membuatnya penasaran. Hugo yang simpati dengan patah hati mendera gadis itu
merasa penasaran dan berharap bia menemukan gadis yang curhatnya sering
mengudara setiap akhir pekan itu.
Awalnya saat membaca novel ini saya merasa jenuh
karena alurnya berjalan terasa pelan, ditambah lagi dengan pilihan katanya
terasa kaku, kurang lincah. Saya merasa seperti membaca novel lawas yang
cenderung formal. Bahkan dialog yang tercipta di antara Dominique dengan Hugo
pun masih terasa kagok, padahal karakter keduanya berada dalam rentang usia
25-an.
Perlahan seperti es krim yang lumer, saya mulai
menemukan suasana yang lebih cair saat memasuki paruh kedua dari novel ini.
Dominique dan Hugo lebih intens bersama dan memancing kecemburuan Farah.
Apalagi ternyata keduanya mempunyai hobi yang sama terhadap es krim vanila.
Dominique yang sebenarnya patah hati karena
mantan kakak kelasnya menyukai Ingrid, sahabatnya belum sepenuh hati siap
dengan kehadiran orang lain.Hugo bukan hanya harus berjuang menundukkan
Dominique, gadis keras kepala yang juga punya nama belakang Vanila, tapi juga
turut campur ibunda yang ingin meraih kembali Farah dan rasa penasarannya
dengan gadis misterius yang menyamar sebagai twinkle.
Di setiap awal bab novel ini dibuka dengan petikan
‘dialog’ yang jadi quote pembuka. Salah satu quote yang saya suka
ada di halaman 187: “Kenapa manusia
mesti membuang waktu untuk menangisi sesuatu yang tidak bisa berubah? Berduka
pun ada ada kadaluarsanya.”
Menurut saya sih, quote yang juga disisipkan di
setiap akhir bab yang berhubungan dengan sifat khas vanila tidak perlu lagi
diimbuhkan. Well, ini cuma pendapat pribadi, saja, sih. Filosofi dari vanila
sebenarnya sudah cukup tergambarkan dalam jalinan cerita. Saya malah harus
membaca berulang-ulang setiap quote yang disisipkan di setiap
bab.
Secara keseluruhan, saya kasih apresiasi buat
Indah Hanaco yang sukses membuat saya jatuh cinta dengan karakter Dominique
yang cuek, keras, pembantah namun sebenarnya punya hati yang
lembut.
Apa yang membuat Dominique akhirnya mau makan siang
bersama dengan Hugo, ya? Terus nih, bagaimana sikap Farah yang melihat
kedekatan mantan kekasihnya dengan seorang karyawan yang cueknya minta ampun,
ini? Kira-kira, Hugo akan memillih siapa, ya? Apakah tunduk dengan keinginan
sang ibu yang juga jadi otak di belakang kesuksesan kerajaan bisnis
keluarganya, atau Dominique yang tidak pernah risih membentak Hugo di
depan atasan atau menuntaskan rasa penasarannya dengan gadis bernama Twinkle?
As always, no spoil, ya. Mangga,
dibaca saja novelnya. Pastinya bakalan ada sudut pandang yang berbeda setelah
membaca novel ini. Jangan lupa, siapkan Vanilla Late atau Es krim Vanilla untuk
menemani me-time anda dengan novel genre young adult ini. Seperti yang jadi
tagline novel ini: “Karena kejujuran rasa
adalah segalanya.”
Walau saya tak suka sama sekali dengan Vanila, tentunya akan senang bila bisa membaca buku Mb Indah Hanaco ini. Resensinya bikin penasaran euyyy...
ReplyDeletealways love vanilla flavour...
ReplyDelete