“Air mata buaya kali, Don,” Agus
asyik mengunyah mie ayam yang masih mengepul.
Entah sudah berapa hari anak ini tidak makan.
“Gue enggak tega,” aku menyeruput
teh dingin. Aku dan Agus makan berbarengan namun masih kalah finish dengan
mahluk yang memang doyan memamah biak ini.
“Elu kali yang buaya,” aku tertawa
geli mendengar suara sendawa Agus.
Beberapa mahasiswi yang duduk tidak
jauh dari kami bergidik jijik. Agus cuek, sambil menepuk-nepuk perutnya yang
buncit.
“Kamu masih lapar?” tannyaku lagi.
Agus menggeleng. “Aku lagi diet.”
Aku menaikan alis lalu nyaris tersedak. “Lagi diet begini saja makannya seperti
dikejar buaya. Apalagi kalau enggak diet?”
“Lu tuh yang disosor buaya Don.”
Aku tertawa. “Kalau dia buaya,
gue Paaya dong?”
“Basi lu”
“Eh, Gus. Tapi sumpah dia itu charming banget,” aku masih berdalih mencari pembenaran. Buatku, Lili adalah mahluk termanis yang
pernah aku temui di kampus ini.
“Elu belum
pernah denger selentingan anak-anak?”
“Soal apa?”
Aku menyodorkan
selembar uang berwarna hijau. Mang Agus, tukang mie ayam langganan kami yang
juga namanya sama dengan Agus sahabatku.
“Jadi gini,
Bro...” Agus mulai bercerita soal kesaksian dari teman-teman seangkatan tentang
Lili. Lili yang pendiam, Lili yang tersenyum manis dengan lesung pipinya itu
ternyata... ah aku tidak berani mengatakannya.
“Gue belum lihat sama mata kepala sendiri,
Gus.” Aku masih ngeyel.
“Terserah. Yang
jelas sebagai teman, gue udah ngasih tau.”
Aku mengangkat
bahu. Ah biarlah. Kita lihat saja nanti, bisikku dalam hati. Sampai di persimpangan Balubur, aku dan Agus
berpisah. Aku memutuskan untuk segera pulang, melewatkan tawaran Agus yang
mengajak mampir ke kosannya.
Kata-kata Agus
masih bergema di benakku. Semakin
berusaha aku menepis dan membantah desas desus tentang Lili, semakin penasaran
aku dibuatnya. Sekitar sebulan lalu aku melihat Lili anak mahasiswa baru itu tengah
menangis sesenggukan. Aku yang tidak
tega melihatnya mengajak Lili untu mengobrol. You know what? Lili ternyata bukan cuma punya mata yang indah,
senyum manisnya saat aku berusaha melucu membuat aku terpana.
Lampu lalu
lintas menunjukkan warna merah. Baterai HPku kolaps, seolah membuatku mati
gaya. Jejaring media sosial yang saat
ini ditatapi dengan khusyuk para penumpang lain sukses mengalihkan dunia nyata
mereka. Aku melemparkan pandangan ke satu titik di sebrang jalan. Rasa-rasanya,
aku mengenal sosok itu, Sosok yang baru saja jadi topik obrolan aku dan Agus
beberapa menit yang lalu.
“Lili!” Reflek
aku memanggil.
Gadis berkuncir
rambut dalam balutan kaos hitam itu menoleh. Tidak salah lagi, itu Lili. Apa
yang dia lakukan di lampu merah siang-siang begini?
Aku segera membayar
ongkos dan melompat turun, sebelum lampu lalu lintas berganti menjadi hijau.
“Li!”
Lili menoleh
tersenyum. Tidak terlihat usahanya untuk menjauh atau menghindariku. Jadi
benarkah seperti yang dibilang anak-anak kalau Lili suka malakin anak jalanan?
Aku masih
berusaha mencerna dan menyinkronkan kasak kusuk dan fakta yang kulihat.
“Merekalah yang
membuat aku menangis. Mereka tidak bisa belajar seperti teman-teman seusianya.”
Seorang bocah
berusia 7 tahun menghampiri Lili, menyerahkan selembar uang berwarna ungu. “Mereka
punya semangat hebat, ingin punya perpustakaan. Tabungan mereka sudah banyak. Kamu
bisa bantu cari sponsor buat mereka?”
Lili, peri dari negeri
mana sih, kamu?
Aih nama tokohnya sama denganku, beda hrf belakangnya saja ya.
ReplyDeleteIni manusia berhati peri ya :D
Aih, iya mbak. Pas aku bw aku mesem-mesem, kok bisa samaan ga pake janjian, ya? :D
Delete