Sunday 30 June 2013

Akhir yang Indah

Entah keberapa kali saya menemukan makna "everything happen for a reason". Ya, selalu tidak pernah ada kebetulan.

Seperti pagi tadi, 'kebetulan' itu saya temukan, dan saya terlibat di dalamnya. Minggu pagi tadi, setelah 3 minggu absen, saya kangen banget pengen ngaji. Kalau minggu-minggu sebelumnya pengajian biasanya digelar di masjid Al Murasalah Telkom, Geger Kalong. Tapi tidak pagi tadi. Biasanya, pengajian dipindahkan tempatnya karena memang sudah diagendakan atau Telkom sebagai tuan rumah punya hajatan. Jadi, singkat cerita, hari ini pengajiannya digelar di Masjid At Taqwa, enggak jauh dari masjid Daarut Tauhiid (DT). Ah, ya kalo ngomongin DT ada banyak kenangan tertinggal di sana. Sejak SMP saya sudah mengenal DT dan ibu saya susah payah "menggusur" saya supaya mau ikutan Sanlat selama liburan. Masa lalu yang enggak pantas dicontoh, ya.

Nah, balik ke pengajian tadi, begitu memasuki pelataran masjid, saya heran ketika mendengar panitia mengumumkan sesuatu. Samar-samar saya mendengar panitia menyebut shalat jenazah. Errrr, saya ga salah acara, kan? Saya meyakinkan diri, para pedagang yang rutin mengisi bazaar pengajian MPI emang udah saya hafal wajah-wajahnya.

Akhirnya, saya baru 'ngeh' kalo dalam waktu yang bersamaan ada warga setempat yang meninggal. Jadi, sebelum acara dimulai, akan diadakan dulu shalat jenazah. Setelah shalat jenazah selesai, barulah acara dimulai.
gambar ngambil dari sini

Saya yang masih punya wudhu sejak pergi dari rumah, jadi tidak perlu melipir dulu ke belakang untuk berwudhu. Masya Allah, yaaaa. Allah sudah punya rencananya. Enggak ada yang kebetulan, apa yang terjadi hari ini sudah diatur Allah. Saya pernah dengar kalau seseorang yang meninggal dishalatkan oleh 40 orang dosa-dosanya akan diampuni Allah. Jamaah pengajian yang menshalatkan almarhumah (belakangan saya tau yang meninggal adalah seorang wanita dari pesan yang disampaikan perwakilan keluarga) lebih dari itu.Dengan massa yang rutin menghadiri pengajian Percikan Iman bikin  saya merinding. Tidak seperti biasanya, apalagi saya tidak tahu sama sekali siapa almarhumah. Padahal, saya sering memperhatikan, saat seseorang meninggal saja, belum tentu kerabat atau tetangga terdekat tergerak hatinya untuk ikut menshalatkan. Lalu, bagaimana dengan hari ini? Saya dan yang hadir tadi (kecuali saudara dan tetangga) juga tidak mengenal sama sekali.

Pastilah almarhumah punya kebaikan semasa hidupnya sampai Allah menghadiahkan saat indah seperti tadi pagi. Ah, saya selalu berpikir, bagaimana kalau saya meninggal nanti? Ada berapa banyak orang yang menshalatkan saya? Apakah orang-orang menangisi kepergian saya, atau malah bersorak senang? Naudzubillah....

Sebuah pelajaran berharga, apalagi moderator juga mengimbuhkan dalam komentarnya sebelum kajian. "Semoga saat kita meninggal, kita meninggalkan mereka yang menangisi kita dengan tersenyum bahagia. Bahagia kembali kepada Allah karena melaluinya dengan Khusnul Khatimah."

Aamiin.


Share:

Saturday 8 June 2013

Ketika Pangeran Cassava Jatuh Cinta

gambar ngambil dari http://sro.web.id/
Minggu menjelang petang, setelah wara wiri dari toko buku di sebuah pusat perbelanjaan aku dan teman berniat segera pulang.

Kami  urung pulang, terhadang hujan yang deras mengguyur kota Bandung. Sambil menunggu hujan reda, temanku mengajak berbelok ke sebuah resto franchise. Aku batal memesan minuman karena yang tersedia hanya minuman bersoda saja.

Tidak ada tempat yang tesisa kecuali sebuah pojokan dengan sofa memanjang yang menyisakan tiga seat kosong. Baru saja kami duduk,  sebuah suara membuat kami menoleh melirik sumber suara.

“Lu adalah cinta sejati gue,” oh lalala Bona gajah kecil temannya Bobo itukah? Bukan…. Lalu,  ada yang lagi latihan teater kah?

Oh, bukan sama sekali. Bukan juga dua kali atau tiga kali.

Seorang cowok berbadan tegap, berkemeja rapi sebrang kursiku,  dengan jarak sekitar setengah meter itu masih cukup terdengar jelas. Ia lalu menggamit jemari seorang cewek bertampang ayu, mirip artis Mona Ratuliu,yang duduk di depannya.

Reflek cewek itu menarik lengannya.

Aku memperhatikan cowok itu, beberapa tato dengan warna warni mejeng dengan ‘kerennya’ di leher dan lengan kirinya.

Aku jadi teringat kenangan masa kecil.  Dulu ada permen karet yang berhadiah tato temporer , atau… permen dengan rasa meriah yang bisa membuat lidah kita warnanya jadi enggak karuan.

Sontak, radarku begerak, menyesuaikan sinyal dengan frekuensi yang lebih pas. Ah, klik. Aku dan temanku ngikik sambil senyum-senyum nyimak Pangeran Cassava yang sedang beraksi.

Nah siapa yang jadi korban? Cewek dengan arah 2 dari posisi tempat dudukku itu? Hohoho… Sepertinya bukan wahai  saudara-saudara sebanga se tanah air sekalian.

Nah, kembali ke TKP….

“Lu tau ga? Waktu smp, sma gue terkenal banget lho.”

*Ciyus? Miapa?*
Rupanya cowok ini belum sembuh dari penyakit post populer syndrome-nya. Ah, kalau pinjem kamusnya Andrea Hirata,ada di urutan ke berapa ya kelainan ini? Seratus? Dua Ratus? Entah…

Masih tidak ada tanggapan. Si cewek masih asik dengan perannya sebagai pendengar setia ketimbang jadi juri yang jutek. Yeee, emang audisi-audisian?

Si cewek tadi belum bereaksi, masih menatap bingung. Mungkin separuh pikirannya sudah terbang ke rumah membayangkan kamar yang hangat, bergelung dibalik selimut sambil menyeruput susu coklat yang hangat.  Hahaha….ini sebenernya yang menghayal siapa sih?

“Lu tanya deh temen-temen smp sama  sma gue di …..” si playboy cap singkong ini nyebutin nama kota asalnya (demi melindungi privasi korban yang jadi objek candid script) Deuh… Iseng banget sih mas sampe harus melintas pulau   demi survey iseng begituan.

“Lu tanya mereka deh, ga  ada yg ga kenal gue,” pede bener deh cowok itu berusaha meyakinkan kalau si cewek itu justru bakal rugi ga jadian sama dia.

Akhirnya si cewek buka suara.

“Lu udah empat kali deh ngomong beginian.” Jderrr, skak mat.
Sekali. Lagi ngomong dapet gelas kali ya? Hehehehe
Hujan mulai reda. Beberapa pengunjung segera meninggalkan arena dan juara, eh arena perbelanjaan maksudnya. Aku pun begitu, bersama teman segera bergegas pulang. Tersenyum senang karena ternyata nemuin ide yang tergeletak begitu saja di sudut resto ini.

Maaf ya mas, sepertinya dirimu layak jadi bintang candid. Demi kepentingan para gadis-gadis  untuk jadi contoh menghadapi playboy hehehe…, Hasta la vista. Arivederchi…
repost dari blog tumblrku http://celotehannyaefi.tumblr.com/page/4
Share:

Saturday 1 June 2013

Memaafkan : Hati Seluas Samudera itu Berbalas Surga.

gambar ngambil dari sini
"Ah, biarin aja dia gitu. Itung-itung dapet transferan pahala, kan lumayan."

Pernah denger selorohan seperti ini? Atau mungkin kita sendiri yang mengucapkannya. Saat kita mendapat perlakuan yang enggak mengenakan dari seseorang, kadang terlintas perasaan seperti ini, ya? Jujur, saya juga sering kepikiran seperti ini.

Padahal, mungkin tanpa sadar ada sikap atau kata-kata saya yang membuat orang lain terluka. Kadang, perasaan ego manusia kita juga sedikit terusik saat diingatkan ada sikap atau kata-kata kita yang tidak semestinya. Kadang, mungkin kita punya argumen lain. "Abis, dia gitu, sih." atau "Ah, masa, sih?" dan sederet pledoi lainnya. Ehm, jujur, saya juga pernah membela diri seperti itu. Ah, malu deh.

Lalu, pekan kemarin saya dibuat tercenung. Tepatnya, kamis malam lalu saat saya mendengar relay langsung kajian marifattullah dari Masjid DT. Saat itu Aa Gym memberikan materi tentang hati yang bersih. Persis seperti yang saya ceritakan di atas.

Apa pasal yang membuat sayang merenung?
Dalam ceramahnya, Aa Gym membuat saya berpikir dari sudut pandang lain. Justru, kita jangan "memanfaatkan" kezhaliman orang lain untuk mendapatkan transfer pahala gratis.
"Jangan, memanfaatkan kezhaliman orang lain. Surga itu kan luas. Kita doakan saja dia berubah jadi baik. Mending kita doakan saja masuk surga bareng-bareng."

JLEB.
Saya tersenyum masam mendengarnya. Rasanya seperti kesindir. Ah, mindset saya selama ini barus berubah, ya. Lalu saya jadi teringat kisah Rasulullah SAW saat berada di Thaif. Saat itu, beliau sedang dirundung kesedihan , setelah beberapa waktu sebelumnya secara berturut-turut ditinggalkan Bunda Khadijah dan paman tercinta, Abu Thalib.

Berangkatlah Rasulullah menuju Thaif, mencari pembesar di sana yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Alih-alih mendapat sambutan, penduduk di sana malah mengusir dan melempari beliau sampai terluka. Saat itu, datanglah malaikat Jibril menawari Rasulullah pertolongan untuk menimpakan gunung Qubais dan gunung Qa’aqa’an. 

Tapi Rasulullah menolak. Malah, Rasulullah mendoakan agar dari penduduk Thaif lahir generasi yang shaleh. "Ya Allah tunjukanlah kepada mereka jalan yang lurus.  Sesungguhnya mereka melakukan itu karena mereka tidak mengerti," ujar Rasulullah dalam doanya.

Duh, begitu pemaafnya, ya Rasulullah. Apa yang kita alami mungkin cuma seujung kuku dibanding perihnya penderitaan Rasulullah. Kita juga ingat bagaimana perlakuan sahabat Umar sebelum memeluk Islam, tapi Rasulullah mendoakan Umar bin Khaththab jadi salah satu pilar kejayaan Islam pada masa itu, dan Allah mengabulkan doanya.

Kita juga tidak lupa dengan kisah Yusuf as yang memaafkan perlakuan saudara-saudaranya yang pernah "membuang", atau Ayub as yang memaafkan istrinya dan jangan lupa juga, bagaimana sadisnya Hindun yang memakan hati Hamzah, paman tercinta Rasulullah, tapi masih dimaafkan.

Seperti yang Allah perintahkan dalam srat Al-A'raf ayat 199. "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang baik serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh."

Melupakan, barangkali memang bukan perkara mudah. Tapi, dengan memaafkan, akan membuat ingatan pengalaman tidak nyaman itu tidak membebani pikiran kita. Plong. Bukankah, samudra yang luas tidak terpengaruh warna dan rasa meski kita membuang bangkai ke sana? Ah, enggak mudah, ya? Tapi mengasah jiwa maaf itu memang perlu waktu. Setidaknya, waktu yang berlalu tidak sia-sia hanya karena sibuk memikirkan orang lain. Mungkin, dia acuh tak acuh, masa bodoh. Biarkan, saja. Tapi, jangan sampai kita dibuat rugi dua kali. Hei, bukankah kita juga pernah merasa bersalah, dan rasanga legaaa sekali saat dorang lain memaafkan kita. Move on, so you can Move Up.

 

Share: