Monday 24 April 2017

Film Perempuan Berkalung Sorban: Tentang Emansipasi dan Melek Literasi

Kalau masih mengindentikan film Indonesia bernuansa religi selalu identik dengan hal yang berbau poligami itu tidak salah. Tapi ga selalu film religi di sini harus melulu bercerita tentang poligami. Misalnya saja film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) yang dibintangi Revalina S Temat dan Reza Rahadian.

PBS memang bukan film anyar, kok. Sudah dirilis tahun 2009 silam, dibawah arahan sutradara Hanung Bramantyo yang pada saat itu sempat menuai kontroversi. Mengambil latar kehidupan pesantren di Jombang dan masyarakat Yogya,  dalam beberapa alur film diceritakan Annisa yang diperankan oleh Revalina harus menerima kenyataan dirinya dipoligami. Namun yang menjadi isu utama film ini adalah tentang emansipasi wanita dan melek literasi. 

Hari Rabu, 19 April 2017 kemarin, saya bersama teman-teman pengamat film dan konunitas FFB pergi ke Pesantren Suryalaya di Tasik untuk mengikuti diskusi film ini. Sebelum pemutaran dan sesi diskusi film,  kami sempat bersilaturahmi dengan  pengurus pesantren juga berziarah ke makam perintis pesantren, Abah Sepuh juga putranya Abah Anom.



Ada beberapa benang merah yang saya tangkap dari acara diskusi film kemarin.  Film sesungguhnya bukan hanya media hiburan saja tapi juga jadi sebuah gerakan budaya. Tidak selamanya film bagus mendapat apresiasi penonton. Sebaliknya film yang tayangannya di bioskop dijejali penumpang terkadang tidak mempunyai esensi apa-apa bagi penontonnya. Ehm :)

Ada banyak hal menarik yang saya dapatkan dalam acara ini. Kalau semuanya saya ceritakan di sini akan jadi tulisan yang panjang. Jadi, kita sepakati kalau ceritanya hanya fokus pada beberapa hal saja, ya.

Keadilan dan Kebebasan

PBS dibuka dengan adegan Anissa yang protes tidak boleh menunggang kuda oleh ayahnya, Kyai Hanan (Joshua Pandelaki). Anissa yang punya hobi membaca tidak puas hanya dengan alasan larangan itu berlaku karena dirinya perempuan. Ia  lalu menyebutkan para shohabiyah yang piawai menunggang kuda dan turun dalam peperangan. Jawaban Ayah Anissa yang melarang karena ia anak Abi (panggilan ayah dalam bahasa arab) tidak bisa diterimanya.

Kekecewaan  dan  ketidakadilan juga dirasakan Anissa ketika  ia harus rela melepas kemenangannya dalam pemilihan ketua kelas meski unggul 1 suara dari temannya yang laki-laki. Anissa  tidak boleh melanjutkan kuliahnya ke Yogya karena alasan ia tidak punya muhrim untuk menemani berpergian. Sementara  itu ia harus pasrah untuk dinikahkan dengan  Samsudin (Reza Rahadian), putra pemilik Pasantren Al Ikhlas, kolega ayahnya yang disegani.

Alih-allih mewujudkan mimpinya untuk sekolah lagi karena sudah mempunyai muhrim,  ia mendapati kenyataan suaminya berahlak buruk, temperamen dan menzinahi wanita lain.  Demi nama baik dan alasan izin beristri sampai 4 orang, Anissa sampai harus rela berbagi suami dengan Kalsum (Francine Roosenda).

Jika Anissa  memaknai kebebasan dengan mudahnya akses literasi dan persamaan hak wanita untuk bisa belajar dan memimpin, Umi (Widyawati) memilih untuk diam karena memilih keutuhan keluarga.

Aisyah, sahabat Anissa  merasa bebas dari pesantren dan menikmati kehidupan bebasnya sebagai mahasiswi termasuk bergaul sesuka hati dengan lawan jenis. Sesuatu hal yang sempat membuatnya kaget meski masih tetap bersahabat setelah mengetahui sisi lain dari temannya sewaktu di pesantren dulu.

Sedangkan kedua kakak-kakaknya Anissa lama sekali baru menyadari maknanya kebebasan  ketika merasa sikap Samsuddin sudah keterlaluan dan merendahkan harga diri keluarga dan pesantren Al Huda.

Pergaulan yang Baik

Anissa memang punya karakter keras dan penentang. Tapi bukan berarti  ia tidak tahu kodratnya sebagai anak dan istri. Anissa mengabaikan nelangsanya melupakan Khudori (Oka Antara) sahabat juga, kerabat dari garis ibu yang paling memahaminya. Trauma masa lalu dengan Samsudin masih membayanginya. Setelah bercerai dan akhirnya menikah dengan Khudori, Anissa tidak serta merta siap bergaul dengan suaminya dan memiliki anak. 

Beruntungnya Annisa yang sejak kecil sudah merasa nyaman dengan Khudori, ia mendapatkan jaminan punya hak yang sama sebagai istri. Padahal ketika masih di pesantren dulu, saat menanyakan hak wanita untuk meminta cerai (khulu) atau inisiatif meminta lebih dulu pada suami untuk berjima, Anissa mendapat kecaman keras dari Ayahnya. 

Jika semua suami mempunyai kesabaran dan pemahaman yang lusa bagaimana caranya menghargai wanita sebagai istri, mungkin tidak akan ada lagi atau setidaknya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh para klien  Anissa di LSM tempatnya bekerja.

Bukan hanya di film saja, tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang memilih pasrah pada tekanan yang dialami. Hanya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dan nasib anak-anaknya jika tidak ada kehadiran suami untuk menafkahi anak-anak. Sangat menyedihkan, ya.

Ada salah satu adegan di film ini yang bikin saya pingin nangis yaitu ketika Anissa bermimpi bertemu almarhum ayahnya. Adegan berpelukan dalam film ini terasa mengharukan. Sekeras apapun  ayahnya mendidik, Anissa tidak pernah bisa membenci ayahnya. 

 Natur dan Nurtur

Sehebat apapun seorang wanita dan luasnya akses yang didapatkan untuk berekspresi, tetap saja ada kewajiban yang harus dijalankan. Ada hak ada kewajiban, kan? Misalnya saja,  secara alami seorang wanita tidak bisa mengalihkan kodratnya sebagai seorang calon ibu yang mengandung bayi dalam rahimnya. Tidak akan pernah bisa kodrat alam ini dipindahkan pada suaminya.  

Dari Khudori, Anissa dan santri wanita di pesantren mendapat dukungan dan pencerahan kalau semua wanita mempunyai hak yang sama untuk mengakses ilmu,  melaluinya dengan cara yang baik tanpa emosi. Meski menyebalkan, Anissa mematuhi saran Khudori. Ia berhasil mewujudkan membangun ruang perpustakaan di pesantren yang sudah lama dirindukan dirinya, juga para santri di sana. 


Dalam sesi diskusi yang juga menghadirkan Tya Subiakto (penata musik film PBS) dan Mellya Baskarani (aktris FTV dan Putri Muslimah 2014) ada beberapa hal menarik yang mengemuka dari tanya jawab dengan para santri.

Ketika minat baca (apalagi menulis) masih rendah di Indonesia, jika dilihat dalam perjalanan sejarah, ada banyak penulis-penulis yang bisa menginspirasi saat terkurung dalam penjara. Misalnya saja Profesor Hamka yang produktif menulis dari balik tembok penjara. 

Bagi Tya, Anissa  adalah sosok yang bisa menginspirasi para wnita untuk mewujudkan mimpi. Jangan pernah meremehkan mimpi, lho. Siapa yang tidak menyangka kalau kerennya arahan musik dari Tya sudah dirintis sejak masih berusia 10 tahun? Arahan musiknya dalam film Hafalan Salat Delisa juga yang mengantarkan Tya ke ajang Festival Film Internasional di Macau.

Untuk mewujudkan keinginan yang ingin dicapai ada 3 tips yang disampaikan oleh Tya, yaitu kemauan, kemampuan dan waktu. Dalam pandangan saya soal waktu ini yang selalu jadi alasan kita untuk memulainya. Ya, ga? :)

Sementara Mellya Baskarani tidak menampik kodratnya sebagai wanita. Meskipun ia punya mimpi bebas berekspresi dan berkarya, kodratnya sebagai wanita membuat dirinya bercita-cita untuk menjadi guru bahasa Inggris karena lebih fleksibel dalam hal waktu.


 ---

Share:

4 comments:

  1. Wuihh Tia Subiakto..penggarap musiknya keren nih. Emang setuju banget Teh,kalo budaya literasi sudah mulai luntur. Jangankan anak2 kita aku pun juga sudah mulai malas baca haduwh gimana ini. Harus dirubah demi nambah ilmu ya. Btw suka banget sm peran yg dimainkan Annisa total deh mainnya

    ReplyDelete
  2. film ini benar-benar mengajarkan wanita sejajar dengan laki-laki ! tulisan mbak nya juga bagus!suka :)

    ReplyDelete
  3. Di film ini banyak pelajaran yang didapet bagaimana Annisa memperjuangkan hak2 dari seorang perempuan ya Teh, akting Revalina di film ini juga keren.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.