Friday 28 October 2016

Angkutan Masal, Transport Aplikasi, atau Kendaraan Pribadi?

"Kamu tuh kan jarambah, kenapa sih ga bawa motor aja?"
Untuk pertanyaan seperti itu saya punya dua jawaban yang... well sama-sama benernya.  Hihihi Jadi jawaban pertama yang ideal kayak gini:
"Enggak mau nyumbang kemacetan. Bandung tambah heurin (sempit). Lebih suka naik angkutan masal. Selain angkot ada bus kota, misalnya."
Faktanya kalau lagi terburu-buru saya lebih milih gojek yang nota bene motor, salah satu  yang dianggap jadi penyumbang kemacetan. Tapi kan dengan gojek dan sejenisnya jadi ladang mata pencaharian buat orang lain. Mengurangi angka pengangguran, selain memang  memangkas waktu yang terburu-buru.
Angkutan Masal, Transport Aplikasi, atau Kendaraan Pribadi?
Kapan sampainya? :D
Eh ada alasan lain juga sih kenapa saya ga mau belajar motor. Ini jawaban keduanya.
Saya ini sieunan (ga berani) bawa motor. Suka ga fokus, gugupan dan ini, dislokasi ruang alias linglung yang suka ujug-ujug kumat.
Ya udah, saya mah jadi penumpang aja deh :) Yakin?  Ya kalau bisa bawa kendaraan sendiri, saya lebih memilih punya mobil daripada motor.

Mampir ke sini juga, ya.Dicurhatin Sama Driver Gojek

Beberapa kali kalau naik angkot saya sering dengar sopir angkotnya yang ngeluh karena penumpangnya sedikit. 
"Beuki rea wae motor di jalan teh, siga siraru (makin banyaak aja motor di jalan, kayak laron aja)." 
Kalau nguping (ya kan  ga sengaja denger gini, abiss volume suara mereka kan keras, jadi ya wajar aja kalau ga sengaja nyimak :). Nyimak yang macam gini suka bikin jadi iba. Tapi suka sebel kalau angkot yang saya tumpangi, sopirnya kayak kesambet Juan Pablo Montoya -  yang gahar melibas tikungan di F1 dan suka maen psywar. Ini pembalap yang pernah saya idolain karena bosen dengan dominasi Schummy sih sebenernya *LOL*

Lihat tayangan GP F1 yang kebut-kebutan di  sirkuit balapan itu  keren. Tapi kan jalanan Bandung,  atau kota lainnya beda. Bukan sirkuit di Monako,  yang memang ngambil jalan buat arena balap jet darat. Meski kadang ketika saya terburu-buru merasa bersyukur pas dapat angkot yang sopirnya bisa memacu kecepatan di atas rata-rata, namun tetep smooth. Enakeun kata urang sunda, mah.  Lah kalau ngebutnya sableng? Boro-boro enak, eneq yang ada.

Mobil? Iya, ini juga dituding jadi pencetus kemacetan jalanan. Suka sayang aja sih lihat mobil di jalan raya yang penumpangnya cuma 1-2  aja. Kenapa ga rame-rame aja? Itu dulu yang saya pikirkan. Tapi otak orang Indonesia itu kreatifnya luar biasa. Ketika ada aturan ini di buat seperti aturan kawasan Three in One, lalu  jadi lahan bisnis buat para joki. Dapat tumpangan gratis, dibayar pula. 

Ada juga yang lebih elegan, pas dengan tren dunia digital. Coba deh kepoin aplikasi nebengers. Konsepnya kurang lebih seperti ini. Berbagi seat yang masih kosong di dalam mobil. Kalau sudah unduh aplikainya nanti kita bisa cari tau siapa yang rutenya satu arah, lalu tinggal numpang. Sama-ssama cincai alias diuntungkan. Yang butuh akses perjalanan yang cepat bisa mendapatkan tumpangan murah. Yang punya mobil juga bisa dapat subsidi buat ngisi BBMnya.  So far saya belum nyobain aplikasi ini. Takut sslah pillih tumpangan, kemudian saya diculik hihihi... Lebay.  Ga gitu juga, sih. Tapi someday pengen coba ah. 

Nah ngomong-ngomong soal aplikasi transportasi yang fasilitasnya bisa kita dapatkan secara digital selain gojek itu tadi saya juga pernah pake Uber, Blue Bird, Go Car dan Grab Bike. Ada yang pernah barengan, cuma berdua atau sendiri.

What? Kamu nyumbang kemacetan dong Fiiii...

Ya mungkin gitu. *maafkan* 

Lirik Gita ah hihihi. Eh tulisan ini terinspirasi dari blogpostnya Gitawatty untuk program #PINKEBANDUNG. 


Angkutan Masal, Transport Aplikasi, atau Kendaraan Pribadi?
foto pribadi

Ketika sudah kemalaman, perlu cepat sementara  hujan sangat deras  membuat saya tidak mungkin jadi penumpang motor, atau  angkot susah didapet dan kalau ada pun rasanya insecure, khawatir aja sama keamanan sendiri, transporrtasi seperti ini jadi pilihan saya.  Ada alasan lain juga yang membuat saya naik sarana transportasi macam ini. Promo! Modis banget, modal diskon *greening*

Ga setiap hari juga saya naik  kayak gini, kok. Bisa bangkrut lah kalau saban hari ke mana-mana jalan pake jasa transportasi seperti ini. So, pilihannya kondisional aja, sih. Mostly, lebih suka ngangkot. Meski harus melapangkan hati ketika kesal tiada tara dengan kelakukan sopirnya, merasa terganggu dengan pengamen di perempatan yang mintanya 'maksa' dengan dandanan yang... gitu deh, kembaliannya yan kurang dan sebagainya. 

Setidaknya saya bisa merem dulu kalau merasa ngantuk. Pernah sampai kebablasan pula hahaha... Begitu sadar terlewat, biaasanya perlu energi ekstra untuk memulihkan rasa kantuk dan muka lecek yang entah kusutnya sampai level apa.

Begitu juga ketika naik bus kota. Saya merasa ada di kafe ((kafe))) karena beberapa pengamen menyanyikan lagu yang asik dan atau sopirnya suka memutarkan lagu-lagu easy listening. Meski beberapa kali muncul lagu jadul yang melownya bagai kidung nina bobo. Bikin saya buru-buru menjejalkan ear phone, memilih play list saya sendiri wkwkwk....

Ngomongin soal bus ini juga kadang saya suka belajar banyak hal.   Dari gerak-gerik penumpang, pengamen yang menyapa, pedagang yang menawarkan jualannya sebelum bus lepas landas eh jalan, atau sensasi ketika menjadi penumpang kela festival (baca: berdiri).


Maunya saya sih  sarana transport di Bandung khususnya dan Indonesia jadi lebih rapi, lebih tertib kayak di Barat sana. Banyak yang lebih milih bus daripada kendaraan pribadi, merasa tidak terancam ketika mengayuh sepeda atau menikmati jadi pedestrian tanpa takut diklasoknin motor yang ujug-ujug melaju di trotoar -_-.

coba siapa yang jadi model di foto ini?
Jadi kalau disuruh milih, mau pake sarana transport seperti apa, ya idealnya seperti yang ada di luar negeri sono, kayak di Eropa sana. Tapi lagi-lagi dalam kondisi  tertentu saya menjatuhkan pilihan untuk akses yang cepat dan nyaman. So, punya kendaraan priibadi buat saya ga salah kok.  Kondisional aja.
Share:

3 comments:

  1. Aku agak kurang nyaman pakek transportasi umum, Mbak. Sejak dijambret di angkot, rasanya males. Mending naik motor, cepet sampek. Atau naik gojek en grab. Huahahah :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh mudah-mudahan ga ngalamin lagi dijambret gitu ya, Beby. Kalau buru-buru atau pertimbangan lain aku juga masih suka pake transportasi kayak gojek atau semacam grab dkk gitu.

      Delete
  2. Budaya masyarakat kita belum friendly sama transportasi massal, Teh. Masih terbiasa pakai kendaraan pribadi, karena nyaman sih pastinya.

    Sama, kujuga pernah dicurhatin mamang angkot. Katanya, "penumpang ngan hiji, jaba macet". Sedih ya :(

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.