Friday, 8 August 2025

Leon Ray Legoh: Meracik Musik dan Masakan Ala Dapur Rock N Roll

Kalau selama ini kamu cuma mengenal Leon Ray Legoh sebagai drummer band Koil, siap-siap kaget. Di balik hentakan drumnya, ia juga lihai berkutat di dapur dan mengolah resep. Lewat Dapur Rock N Roll, Leon bercerita bagaimana musik dan memasak saling mengisi, membawa rasa dan cerita dari panggung ke meja makan.

Baru-baru ini, Leon merilis bukunya yang berjudul Dapur Rock N Roll: Di Antara Musik dan Masak. Baginya, musik dan memasak adalah dua hal yang nggak bisa dipisahkan dari hidupnya. Keahliannya di dapur pun nggak lepas dari perjalanan panjangnya sebagai musisi. Kalau bukan karena musik, mungkin Leon nggak akan terjun ke dunia masak. Begitu juga sebaliknya, tanpa masak, mungkin ia nggak akan punya energi yang sama untuk bermusik. Penasaran kan, kok bisa? 


Obrolan Santai yang Berbuah Bisnis Serius

Leon bercerita, dulu ia memutar otak supaya nggak perlu kerja kantoran di sela profesinya sebagai musisi. Ia nggak mau terikat jam kantor, apalagi penghasilannya dari musik dengan genre yang segmented waktu itu terasa kurang mencukupi.

Sampai akhirnya, lewat obrolan santai dengan Otong — vokalis Koil tercetuslah ide untuk membuka usaha rumah makan.  Awalnya Leon sendiri merasa heran dengan keputusannya, tapi kemudian ia malah jadi yakin bisa menjalani bisnis kuliner. Perjalanan inilah yang akhirnya ia tuangkan dalam bukunya.

Judul Dapur Rock N Roll dipilih karena memang mencerminkan sikapnya di dapur: cuek dan apa adanya. Ia nggak mau pusing mikirin omongan orang lain. Yang penting, kerjakan saja apa yang disukai. Sesederhana  itu.

Di acara peluncuran buku yang dipandu MC Idhar Resmadi dan pengamat kuliner Nadya Gadzali, Leon berbagi cerita di balik penulisan bukunya. Ia menyebutkan, irisan antara musik dan memasak ada pada kejujuran menyampaikan ide, bukan sekadar soal teknik yang dibawakan dengan santai. Hal itu, sudah cukup merepresentasikan kedua dunia yang ia cintai.

Salah satu bagian paling menarik adalah masa kecil Leon di Manado. Dulu, pasar adalah tempat yang ia hindari. Baginya, pasar itu kotor, becek, dan bau. Tapi sekarang, justru pasar jadi bagian dari kesehariannya. Kadang ia bisa keasikan berbelanja. Datang saat langit masih gelap dan selesai berbelanja matahari sudah muncul. 

Leon juga punya kebiasaan berburu inspirasi saat jalan-jalan, apalagi ketika band-nya tur keluar kota. Kuliner pinggir jalan pun tidak luput dari perhatiannya. Ia mengamati bagaimana pedagang mengolah pesanan, bumbu apa yang dipakai sampai tersaji di piring. “Cobain ah di dapur. Coba lagi, coba lagi,” ujarnya. 

Saya dibuat ngakak waktu di bukunya Leon bercerita ia kegirangan mendapat komposisi resep  yang pas. Eh tetep aja masakannya yang enak itu tidak laku. Tapi seiring berjalannya waktu, racikan yang katanya nggak laku itu akhirnya bisa diterima dan disukai konsumen saat tren olahan rica-rica menjadi booming. 

Di mata Nadya, perjalanan bukan cuma soal hiburan, tapi juga momen mendapatkan inspirasi, termasuk lewat makanan. Menurutnya, makanan bisa jadi bentuk diplomasi. Yang tadinya mau berantem bisa batal gara-gara duduk bareng sambil makan, apalagi kalau makanannya tradisional. 

Cara ini, menurutnya, mirip dengan pendekatan Leon saat mengolah masakan. Mencicipi berbagai kuliner dari banyak tempat bukan hanya memperkaya pengalaman, tapi juga membentuk cita rasa. Setiap tradisi punya rasa uniknya sendiri.

Kadang, keinginan mencicipi makanan bukan karena lapar, tapi sekadar penasaran rasanya. Relate banget, kan? Saya juga gitu kalau lagi jalan-jalan, lapar bisa ditahan dulu sampai nemu makanan yang unik dan jarang ditemui.

Rasa Lokal Lebih Keren

Meski awalnya merintis resto dengan menu western, Leon kemudian lebih tertarik mengeksplor kuliner lokal. Bukan karena makanan western nggak menarik, tapi ia merasa nggak punya cukup referensi untuk menguliknya.

“Sedangkan yang bisa jadi referensi adalah nyokap gua di rumah. Bisanya makanan Manado aja. Yang paling gampang dilihat dan diminta resepnya ya masakan Indonesia.”

Bagi Leon, masakan Indonesia punya gaya tersendiri. Ia teringat pengalaman dulu melihat penyajian hot dog di sebuah kios di Gelael Dago (sekarang Superindo). 

Menurutnya, prosesnya terlalu sederhana, cuma roti ditusuk, dipanggang, lalu diisi sosis, mentega, sayuran, dan saus. Selesai. Beda dengan masakan Indonesia yang kaya bumbu dan rasa. Di kepalanya, masakan Indonesia selalu lebih keren.


Cerita di Balik Menu yang Beda di Tiap Cabang

Walaupun Rumah Makan Legoh identik dengan menu Manado, ada hal menarik kalau memperhatikan perbedaan antara Legoh di Jalan Sultan Agung dan cabangnya di Jalan Lengkong Kecil. Menu rica-rica yang jadi favorit di Sultan Agung, ternyata nggak terlalu laku di Lengkong Kecil. Di Lengkong kecil selera pelanggannya lebih variatif, sehingga karakter menunya pun menyesuaikan. Leon tidak memaksakan menu di sini harus sama persis. 

Menurut Nadya, ini karena pendekatan kultural yang nggak disadari. Leon punya memori Manado yang melekat, sehingga mudah baginya memasak masakan khas sana, ia bisa langsung bertanya resep ke keluarga.

Namun, meski tanpa latar belakang pendidikan formal di dunia F&B, Leon mampu beradaptasi dengan selera orang Sunda yang cenderung asin dan pedas. Ia mengolah informasi secara personal, bertanya langsung seperti apa resep yang pas untuk lidah lokal.

Bagi Leon, tantangan terbesar justru bukan di dapur, tapi di manajemen restoran. Memasak sudah biasa, tapi mengelola orang? Itu cerita lain. “Kalau di dapur, yang dihadapi cuma kompor, bumbu, dan alat masak, semua benda mati. Masalahnya bisa diatasi, apalagi informasi sekarang mudah didapat. Tapi kalau memanage orang, itu lebih susah,” ujarnya.

Sedikit Bocoran dari Buku Dapur Rock N Roll

Leon pernah mengalamin kejadian horor (apa lucu, ya?) yang tidak terlupakan. Waktu itu ia sedang tur di luar kota, dan sudah dipanggil buat naik ke panggung, eh… tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Biasanya sebelum manggung Leon akan mematikan handphonenya dari awal, tapi entah kenapa kali itu malah lupa. Saat teleponnya diangkat, ternyata ada yang mau pesan nasi box! 

Bukannya menolak, Leon berhenti sebentar dan mencari spot yang tidak terlalu berisik, lalu menerima pesanan dulu.  Setelah itu ia kembali naik ke atas panggung. Konser pun berjalan lancar. Tapi masih ada kejadian lucu. 

Saat kembali ke Bandung dan bangun tidur keesokan harinya, handphone-nya kembali berbunyi. Ternyata masih panggilan dari orang yang sama dan menanyakan nasi box tadi. Sebelumnya Leon memang segera membuatkan pesanan tapi ia lupa mengirimkan orderan. Lagian beda kota juga. Leon mengomeli dirinya dan segera memasak lagi untuk memenuhi pesanan yang tertunda itu. 

Selain bercerita pengalamannya menggeluti dunia kuliner,  dalam bukunya ini Leon pun berbagi tips melayani tamu yang karakternya berbeda-beda, mengatasi komplain sampai resep masakan yang biasanya kita jumpai di restonya.

Dengan pilihan font yang lebih besar dari kebanyakan buku pada umumnya juga cara bertutur seperti mengobrol, bukunya Leon ini bisa selesai dibaca sekali duduk. Beneran, deh.



Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.