Kalau Jepara punya pahlawan pejuang emansiapasi wanita Kartini, Bandung dan Jawa Barat juga punya Rd Dewi Sartika yang terkenal dengan Sakola Kautamaan Istrinya. Sampai sekarang sekolah ini masih ada, lho.
Tapi ternyata selain Rd Dewi Sartika yang punya nama kecil Uwi, masih ada pahlawan wanita lainnya yang memperjuangan hal yang sama dengan beliau, yaitu Emma Poeradiredja dan Lasminingrat. Sudah tau belum profil mereka ini?
Tapi ternyata selain Rd Dewi Sartika yang punya nama kecil Uwi, masih ada pahlawan wanita lainnya yang memperjuangan hal yang sama dengan beliau, yaitu Emma Poeradiredja dan Lasminingrat. Sudah tau belum profil mereka ini?
Kalau kalian belum ngeh, tenang aja. Di tulisan kali ini saya mau cerita lebih banyak soal mereka. Berkat hadir di acara Monolog Wanodja Soenda, wawasan saya nambah lagi soal keberadaan para srikandi dari tatar Pasundan ini.
Secara resmi acara Monolog ini diselenggarakan pada hari Rabu, 29 Januari 2020 bertempat di Hotel Savoy Hormann Bandung. Tapi beruntung banget, bersama teman-teman media yang meliput, saya dapat kesempatan lebih dulu menyaksikan pementasan monolognya sekaligus konferensi pressnya di hotel yang sama.
Siang itu diantar guyuran hujan, saya menjejakan kaki di lobby Savoy Homann. Sudah banyak tamu yang datang. Selain media dan sponsor, para perwakilan keluarga dari ketiga pahlawan ini juga sudah hilir mudik. Pemandangan yang mengesankan hari itu adalah para undangan mengenakan pakaian tradisional yang sunda banget. Bahkan para penerima tamu pun mengenakan samping untuk setelan bawahnya.
Saya sendiri bareng Nchie, Egy dan Ulu udah sepakat pakai kebaya. Untunglah punya satu stel kebaya di rumah. By the way ini kebaya akhirnya dipakai lagi setelah sekian tahun nganggur. Alhamdulillah masih muat. Rasanya amaze sama diri sendiri (muahaha narsis) pas liat pantulan diri di cermin dengan kebaya ini. Wow, anggun sekali. Secara biasanya kesebelasan alias cuek, kasual dengan celana panjang atau jeans dalam keseharian.
Monolog ini berkisah tentang semangat perlawanan para wanita Sunda pada era HIndia Belanda yang sudah berkiprah di bidang politik, pendidikan dan budaya. Untuk Dewi Sartika diperankan oleh Sita Nursanti - personilnya RSD, Lasminingrat diperankan oleh Zaenab eh Maudy Koesnaedi dan Emma Poeradiredja oleh Rieke Dyah Pitaloka. Bertindak sebagai sutradara ada Wawan Sofwan, Inayah Wahid yang menjadi narator sera Atalia Praratya yang membacakan puisi.
Acara yang diproduseri oleh Heni Smith selaku pemilik The Lodge Foundation ini didikun oleh para penulis naskah yang terdiri dari Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrulloh dan Faisal Syahreza serta sponsor Satoe Komunika, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat serta PT Kereta Api Indonesia.
Emma Poeradiredja
Setelah acara dibuka, Rike Dyah Pitaloka tampil pertama ke panggung membacakan monolog dari profil Emma Poeradireja. Emma bertutur bagaimana pentingnya para wanita memperoleh kedudukan yang setara dalam sebuah negara. Jangan mau kalau hanya berkutat di wilayah dapur sumur dan kasur.
Selorohannya dengan logat yang sunda banget, khas wanita sunda yang cerewet dan keras kemauan mencairkan susana. Bukan saya saja lho, penonton lainnya pun tertawa geli dibuatnya.
"Bagaiman rasanya bersuara tapi orang-orang tak bisa mendengar? Aku tau betul seperti apa rasanya. Aku merasa seperti itulah dunia bekerja terhadap kami, perempuan. "
"Cobalah renungkan, bukankah suatu bangsa terjadi dari dua bagian? Laki-laki dan perempuan. Jika perempuan dianggap sebagai bagian dari suatu bangsa, tentu mereka punya tempat dan kedudukan yang berhubungan dengansegala hal dalam bangsa itu. Bukankah suatu bangsa menjadi dewasa jika masing-masing bagian menjadi satu kesatuan yang utuh, kuat, dan patuh? Pengaruh perempuan dan laki-laki harus terlihat bertimbangan. Artinya perempuan dan laki-laki ada sama harganya."
Rieke terlihat begitu ekspresif ketika menggambarkan keharuan Emma saat mendengar proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno - Hatta. Hembusan nafasnya menyiratkan kebahagiaan dan harapan yang besar jika kaum wanita juga akan mendapatkan kebebasan yang lebih luas setelah kemerdekaan Republik Indonesia .
Rd Dewi Sartika
Monolog profil kedua yang tampil di panggung adalah Rd Dewi Sartika yang monolognya disampaikan oleh Sita Nursanti. Kalau Emma sebelumnya banyak berdiri dan hilir mudik di atas panggung, penampilan Uwi kali ini lebih anggun dan duduk di panggung.
Kala itu Uwi yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan membaca dan menulis sering dimintai oleh para somah untuk membacakannya surat cinta. Uwi mendorong para somah agar bisa membaca dan menulis juga berhitung.
Seperti ini monolognya:
"Dunia bukan hanya surat cinta. Tidakkah kalian menginginkannya? Aku menginginkannya. Aku ingin mata kalian terbuka. Aku ingin kalian bisa membaca"
Rd Dewi Sartika tidak pernah puas dengan yang sudah didapatkannya. Perlawanan Uwi bukan hanya semanta karena ayahnya adalah pemberontak hingga dibuang Ke Ternate. Bagi Uwi, para somah terutama somah perempuan berhak mendapat perlakuan yang manusiawi. Ia hanya ingin bisa memberikan yang bisa dilakukan, kemampuan membaca dan menulis bagi somah teruma perempuan di zaman yang akan membuat resah kaum bangsawan dan keluarga yang masih kolot.
Uwi memprotes somah tidk boleh sederhana yang hanya bisa memasak, menjahit dan berbakti pada suami. Iming-iming surga sebagai bakti para perempuan bukanlah halangan bagi para somah wanita untuk tau lebih banyak.
Lasminingrat
Di antara tiga wanodja soenda yang narasinya dibacakan secara Monolog, Lasmi adalah sosok yang modern. Kalau di saat sekarang bisa dibilang sebagai pahlawan wanita yang milenial. Sosok ini dibacakan oleh Maudy Koenaedi.
Lasmi pernah menikah namun suaminya lebih dulu meninggalkannya. Kedekatan ayah Lasmi dengan petinggi kolonial membuatnya mendapatkan akses mendapat pengetahuan dan menjadikannya hobi membaca. Dari sini lah ia ingin penduduk Garut di tempat ia tinggal mendapatkan hak yang sama. Sayangnya, karena kedekatan keluarga Lasmi dengan Belanda ia tidak disukai penduduk setempat. Kalau secara sekilas, kisah Lasmi ini mirip-mirip dengan Rd Kartini, ya? Bedanya Lasmi tidak mengalami poligami.
Meskipun berat, Lasmi ingin mengajak masyarakat membaca dan menemukan ilmu di da dalamnya. Masyarakatnya pada masa itu hanya bekerja dan bertani dan tidak mengalami perkembangan secara signifikan yang meningkatkan kesejahteraannya karena aturan yang mereka sendiri tidak paham.
Perjuangan Lasmi semakin berat karena keponakannya sendiri menjadi orang yang mempersulit perjuangannya dengan menurunkan segala foto dan arsip kegiatan Sakola Kautamaan Istri yang didirikan ayahnya, bahkan membantai rakyatnya sendiri sehingga mencoreng nama baik keluarganya sendiri.
Namun Lasmi yakin sejarah akan berpihak kepadanya dengan mengungkapkan kebenaran bahwa pada masanya pernah hadir semangat untuk bangkit untuk melawan kebodohan dan penindasan.
Wiiih merinding ga sih denger ceritanya?
Sebelum pementasan monolog ini, di area restoran Savoy Homann ini diselenggarakan eksibisi dari dua wanodja milenial dengan skill unik yang dimilikinya. Risa Noorisa mempunyai skill menempa besi, dii mana pada masa dulu kepandaian ini identik dengan kemampuan yang cuma dimiliki laki-laki. Percika api dan bara dari logam berhasil menyihir saya untuk terus di sana memotret aktivitasnya.
Selain ditemani oleh seorang laki-laki yang menyiapkan tungku api, di belakang Risa ada dua laki-laki yang memainkan alat musik sunda yaitu kecapi dan rebab. Rebab ini dari penampilannya mirip biola namun menghasilkan nada dengan laras musik sunda. Masih ingat tangga nadanya? Da mi na ti la da....
Meskipun berat, Lasmi ingin mengajak masyarakat membaca dan menemukan ilmu di da dalamnya. Masyarakatnya pada masa itu hanya bekerja dan bertani dan tidak mengalami perkembangan secara signifikan yang meningkatkan kesejahteraannya karena aturan yang mereka sendiri tidak paham.
Perjuangan Lasmi semakin berat karena keponakannya sendiri menjadi orang yang mempersulit perjuangannya dengan menurunkan segala foto dan arsip kegiatan Sakola Kautamaan Istri yang didirikan ayahnya, bahkan membantai rakyatnya sendiri sehingga mencoreng nama baik keluarganya sendiri.
Namun Lasmi yakin sejarah akan berpihak kepadanya dengan mengungkapkan kebenaran bahwa pada masanya pernah hadir semangat untuk bangkit untuk melawan kebodohan dan penindasan.
Wiiih merinding ga sih denger ceritanya?
Sebelum pementasan monolog ini, di area restoran Savoy Homann ini diselenggarakan eksibisi dari dua wanodja milenial dengan skill unik yang dimilikinya. Risa Noorisa mempunyai skill menempa besi, dii mana pada masa dulu kepandaian ini identik dengan kemampuan yang cuma dimiliki laki-laki. Percika api dan bara dari logam berhasil menyihir saya untuk terus di sana memotret aktivitasnya.
Selain ditemani oleh seorang laki-laki yang menyiapkan tungku api, di belakang Risa ada dua laki-laki yang memainkan alat musik sunda yaitu kecapi dan rebab. Rebab ini dari penampilannya mirip biola namun menghasilkan nada dengan laras musik sunda. Masih ingat tangga nadanya? Da mi na ti la da....
Masih di sudut arena yang sama, sepelemparan batu dari Risa, ada Edrike Joosencia yang anteng melukis. Bukan cuma siapa tokoh yang sedang dilukisnya tapi media yang digunakan juga menarik perhatian. Untuk bahan warnanya, Edrike menggunakan arang dan kunyit untuk memulas lukisan.
Acara yang juga dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat Ir Ridwan Kamil ini berakhir pada pukul 18.00. Kalau dirata-ratakan, setiap tokoh yang naik ke panggung menghabiskan waktu sekitar 30-40 menitan.
Semuanya menyampaikan naskah tanpa teks atau di luar kepala. Luar biasa! Salut deh sama konsentrasi dan daya tahan mereka untuk tetap tenang selama berada di atas panggung.
Buah perjuangan dari ketiganya bisa kita rasakan sekarang ini. Para perempuan Indonesia punya hak yang sama untuk mengakses ilmu pengetahuan dan berkiprah dengan kemampuan yang dimilikinya.
Ngahaturkeun nuhun nu kasuhun kangge para pahlawan wanodja soenda kangge perjuanganna.
masya Allaah ternyata ibu Heni Smith ini pemilik the LODGE MARIBAYA yaaa
ReplyDeletebeliau concern banget dengan kemajuan dan pelestarian kebudayaan ya, salut bangeeet!
Wanodja Soenda ini berbeda juga, dapat menyebarluaskan kisah ketiga perempuan hebat tersebut yang selama ini mungkin kurang diketahui. semoga perjuangan mereka dapat menginspirasi perempuan-perempuan Indonesia dalam mencapai impiannya.
Wah acaranya mengedukasi sekali teh. Baca ini jadi lagi kayak baca sejarah. Soalnya diingetin lagi ama para srikandi tatanan sunda. Biasanya aku tahunya cuma dewi sartika aja. Tapi ternyata banyak ya
ReplyDeleteiyh ternyata ada banyak tokoh wanita hebat ya. waah ini mengedukasi sekali. sayanf gak bs nonton langsung. baca ajah udah seseru ini
DeleteWah, menarik banget teh, makasih sharingnya... Jadi tau tentang acara keren ini dan tiga srikandi sunda yang menginspirasi banget... Lukisannya juga keren banget ya dari kunyit & arang...
ReplyDeleteGeulis-geulis banget ini teh Efi dan teh Nchie mengenakan kebaya, jarang-jarang nih aku lihatnya. Btw akupun baru tau tentang cerita 3 Wanodja Soenda, baca ulasan dari teh Efi jadi tertarik banget ini pengen tau.
ReplyDelete3 tokoh Wanoja Sunda memaknai perjuangan yang saling terhubung dengan tali semangat perubahan. Penampilan yang menginspirasi ya yang apik dimainkan oleh publik figur yang berkualitas
ReplyDeleteWaaah cantik sekali Efi dengan kebaya merahmu, baru ngeliat Efi pakai kebaya begitu :))
ReplyDeleteAku baru tau juga cerita 3 Wanodja Soenda ini..
Pangling lihat Teh Efi cantik dan anggun dengan kebayanya... Btw baru tau perjuangan Emma dan Lasmi dari tulisan ini, aku kirain pahlawan sunda cuma Rd Dewi Sartika. Ternyata masih ada Emma dan Lasmi yang gak kalah penting perjuangannya.
ReplyDeletePemeran monolognya keren dan pengalaman sih, pasti menjiwai banget deh.
ReplyDeleteHarus sering sering diadakan pementasan monolog tentang pahlawan terdahulu, supaya generasi penerus juga paham pahlawan terdahulu itu sebetulnya ada banyak seperti Emma Poeradiredja
Meuni geulis pisan teeh kebayaan merah...acaranya indah sekali, ahh aku pengen nonton juga huhu..walaupun rada roaming ya pakai basa Sunda...keren pisan..
ReplyDeletePas lihat di sosmed, seneng akuuuuu kalian cantik-cantik pakai kebayanya. Dan aku iri tau nggak sih? Ini acara asyik banget. Kalian beruntung bgt bisa nonton deh.
ReplyDeleteCantik-cantik banget pada pakai kebaya, bikin manglingin semuanya. ^_^
ReplyDeleteSri Kandi dari tanah Soenda keren-keren semua ya. Mereka bukan hanya pahlawan bagi saya, tapi mereka memang pejuang untuk wanita. Karena wanita itu berharga, enggak hanya soal ngurus dapur, sumur dan kasur. Setuju banget.
Dan yang memerankannya keren, ya. Teksnya hapal di luar kepala. Kalau saya udah gemetaran dulu di panggung, teksnya buyar. Hahhaa.
Aku baru mendalami cerita cerita tentang pahlawan wanita Sunda dari postingan ini lho teh. Wah itu yang hadir memang aktris watak semua ya. Ada teh Atalia Praratya juga yaa. Aku ngefans beliau....
ReplyDeleteMonolog tanpa teks 30 menitan..keren bangets Sita, Rieke dan Maudy yaa
ReplyDeleteDan dari artikel ini baru ngeh selain Rd Dewi Sartika ada tokoh perempuan Sunda lain yang sungguh inspiratif. Wanodja Sunda, sungguh ketiganya luar biasa
acaranya keren. seneng liat pada pake kebaya yg cantik. kalo aku ikut nonton juga pasti terbengong2 krna kagum
ReplyDeleteAkkkk pengen banget nonton pementasan kayak gini. Kalau di Jogja, wah pasti udah bakal aku book cepet-cepet tiketnya :')
ReplyDeleteNamanya cukup tidak familiar, beruntung banget bisa mengenal kedua tokoh pejuang perempuan tersebut 😊 apalagi dihadiri idolaku, kang Emil 😍 pasti seru banget yah kak eventnya
ReplyDeleteSuka kagum Aku juga teh Sana YG bisa mengekspresikan /menyampaikannaskah tanpa teks atau di luar kepala semoga Ada d Jakarta nih mau nonton juga
ReplyDeleteImut loh teh efi sama kebayanya. Btw, kita samaan lo teh. Aku juga jarang pakai kebaya. Entah sudah berapa tahun nganggur ini. Harusnya aku ikutan juga acara begini supaya kebayanya gak nganggur. Hahaha.
ReplyDeleteOoo.. ternyata foto di IG kmrn itu, mau datang ke acara ini. Cakep ih konsep acaranya, keren.
ReplyDeleteTeh Efie oge meni geulis ih. Pantes banget jadi Wanoja Sunda. Seru ya kalau dress codenya pakai kabaya, terasa klasik namun artistik.
ReplyDeleteAku mungkin kalau nonton monolog ini, gak paham ya, teh...?Secara disampaikan dengan logat dan bahasa Sunda.
ReplyDeleteKebayang kelemah lembutan wanita Sunda yang aku kagumi. Tapi tetap tegas dan kuat pendirian seperti Rd Dewi Sartika.
Ternyata banyak tokoh wanita inspiratif sejak dulu di Indonesia ya..hanya familiar dengan Dewi Sartika. Harusnya pengenalan tokoh-tokoh wanita semakin diintensifkan lagi. Biar semangat mereka bisa tertular di kalangan generasi muda
ReplyDeleteSomah itu apa sih Fi?
ReplyDeleteTernyata, Indonesia tak hanya punya Kartini ya yang memperjuangkan kesetaraan perempuan secara gender. Wanita punya hak untuk berkembang dengan segala potensinya, tanpa meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Salut untuk perjuangan para wanodya Soenda ini.