Kangen, udah lama ga bikin cerpen. Tapi pikiran lagi buntu (alesan hahaha). Lalu tba-tiba inget sama salah satu cerpenku yang ikutan proyek kumcer Project Tentang Kita: Yang Bisa Terjadi Ketika Jarak Memisahkan .(rilis tahun 2013) Semua cerpen yang ditulis di sini terinspirasi dari lagu-lagunya KLa Project. Anak 90's mana sih yang ga kenal lagu-lagu romantisnya KLa (kyaaaa lalu sembunyiin KTP).
Kenapa tiba-tiba pengen share cerpen ini? Telat sih, ya. tapi latar cerpen ini kejadian pas bulan Puasa, momen buka puasa. Hehehe, super telat! Harusnya dishare pas awal-awal puasa.
Nah, kalau ini cerpen kontribusinya saya.
Belahan Jiwa
Aku masih asik memainkan hp. Hanya ada
tanda ceklis yang muncul di layar, entah jaringan siapa yang ngaco.
PING.
Dua menit.
Tidak ada jawaban.
Bosan. Aku mengklik recent
activities. Stalking. Iseng membaca status beberapa teman. Mayoritas asik
berceloteh dengan aktifitas akhir Ramadhannya. Maya asik bercerita dengan
eksperimen kue-kue keringnya.
Andi sibuk dengan cari-cari rental
mobilnya untuk mudik ke Surabaya. Susahnya mencari mobil yang masih available
saat H-4 seperti ini. Satu insiden membuat mobilnya harus menginap di bengkel sampai lebaran.
Pusing,
please rental mobil dong. Emoticon menangis di ujung statusnya. Lebay. Aku nyengir. Iseng mengirimnya gambar balon
dan permen.
Siska bercerita H2Cnya yang akan menikah
usai lebaran.
Menikah?
Deg.
Aku teringat satu obrolan pendekku
dengan seseorang.
Seorang teman yang terlanjur
membuatku merasa nyaman dengannya. Seseorang yang membuatku berharap banyak, andai satu hari dia
jadi malaikatku, Leo.
Andai.....
“Aku yakin akan menikah tahun ini,”
katanya satu hari.
“Sudah ada calon?” Selama ini dia tidak
pernah bercerita tentang seorang gadis yang mengusik hati dan pikirannya.
“Habis lebaran nanti, Aku mau melamar dia,” dia tersenyum
tipis.
“Kok, ga bilang-bilang dari dulu? Ujug-ujug
mau ngelamar aja.”
Dia tidak menjawab. Hanya tertawa lalu
menyesap lagi kopinya.
Aku penasaran. Gemas, cemburu bercampur satu.
“Aku kenal dia, ga?” Ups, kenapa tanya
begitu? Aku merutuk dalam hati. Bodoh! Konyol. Ngapain? Enggak penting.
“Kenapa emang? “ Dia asik menarawang
keluar keluar jendela. Hujan sore ini membuat kami tertahan di cafe, menantinya
reda. “Cemburu, ya?” tembaknya.
“Ngapain cemburu?” aku berkelit,, sibuk mengaduk-ngaduk capuccinoku yang sudah mulai dingin. Konyol, kamuflase yang gagal.
“Terus, kenapa tanya?” kejarnya.
“Yeeeh, itu pertanyaan standar, kali.”
“Masa? Tapi nada bicara kamu beda,
seperti yang...”
“Apa?’
“Ah, enggak penting,” tukasnya. Tertawa
lagi.
Hujan masih deras di luar sana.
Anak-anak pengojek payung ramai menawarkan jasanya. Kami memilih hujan reda, sambil
menunggu maghrib. Lima belas menit lagi, aku menoleh jam tanganku. Aku dan Leo,
temanku yang ajaib ini memang cukup dekat. Tidak pernah ada kata suka atau
komitmen untuk rencana masa depan. Aku menyukainya, entah dengan dia. Kantor
kami yang berdekatan membuat kami sering bertemu, satu angkot, bertemu saat
mencari makan siang hingga akhirnya bertukar PIN BB dan ngobrol ngalor ngidul
ga penting, membunuh waktu sampai kantuk menyerang.
Belakangan,
aku jarang melihat update status BBMnya,
kalau ada hanya status biasa. Aku malas mengomentarinya. Tambahan lagi, setelah
obrolan tempo hari, aku seperti menjaga jarak. Jaim yang sebenarnya berbalut
rindu. Ah, sudahlah.
Satu getaran lembut di tanganku
menyentak lamunannku. Tessa. “Jadi, ga, ceu? Kalau enggak gue ganti baju, nih.”
“Deuh, ngambek. Sorry, Tadi chargerku rusak. Ini juga numpang
ngecharge.”
“Sekarang di mana?”
“Aku lagi di jalan. Tunggu lima belas menit lagi.” Tessa
menutup pesannya dengan lambaian tangan.
Acara buka bersama dengan teman-teman
SMA-ku. Sudah sepuluh tahun, lima kali reuni, dan aku selalu absen datang. Sibuk, tertinggal
informasi, dan sederet aneka alasan lainnya membuatku batal hadir.
“Loe kudu datang reunian kali ini. Ga
mau tau,” ujar Tessa seminggu yang lalu.
“Iya, iya. Gue dateng.”
“Loe jangan kayak caleg, ah,” sindir Tessa.
“Hah, caleg? Apa hubungannya sama buka
bersama?” Aku bingung.
“Janji palsu, ceu.”
“Yeeeh, dodol. Emang kenapa gue wajib datang?”
“Idih, Siska kan mau merit, dia mau bawa
calonnya, ngenalin sama kita-kita semua.”
“Oh, gitu.”
“Eh iya, Siska mau nraktir kita
semua, lho.”
“Cieee, yang mau merit nraktir gerombolan si berat? Ga bangkrut,
tuh?” ledekku. Tessa misuh-misuh. Posturnya biasa saja, tidak kurus atau gendut. Tapi porsinya
yang besar, nyaris sama dengan ukuran makan cowok. Sama maruknya dengan ganknya Alex, Roy dan Bisma.
Kalau mereka, kan, cowok. Wajar. Nah, cewek satu ini enggak ada jaim-jaimnya.
“Gue orang
yang apa adanya,” Tessa ngeles.
Fiuuuh,
akhirnya jadi juga ikut reunian SMA sekarang. Iseng aku lihat profil Leo.
Status baru. “Buka Bersama”. Aku malas
buat menyapa.
Leo. Nama
yang selama beberapa bulan ini mengusik hati. Satu nama yang bayangannya
mendadak muncul di langit-langit kamarku, saat menjelang tidur. Saat kami riuh ngobrol ngalor ngidul, saling cela dan
ledek-ledekkan jagoan bolanya. Saat aku sok jaim tidak mau mengalah dalam baris-baris BBMan itu, justru
bayangannya tanpa diundang muncul di langit-langit kamar. Seperti dalam
film-film sains fiction yang
menghadirkan bayangan hologram yang bisa ngomong.
Sambil
menunggu Tessa datang, aku memanjangkan kaki di kursi berleyeh-leyeh ria. Bayangannya
muncul lagi. Sejak awal puasa ini aku tidak pernah bertemu atau ngobrol lagi.
Obrolan dengannya tempo hari membayang lagi, seperti slide yang diputar. Apa kabarnya dia, ya? Kangen sih, tapi……
Ah, aku ga
boleh merindukannya lagi. Sebentar lagi dia menikah. Bisa-bisa aku dilabrak
istrinya nanti. Huaaa tragis apa
nahas?
Ting tong!
Bel depan
rumahku berbunyi. Tessa datang membuyarkan lamnunanku. Aku segera bangkit,
membuka pintu dan menyambar helm di atas meja.
“Yuuuk!”
Setelah
pamit sebentar dengan Mama, aku meloncat, naik ke motor yang dibawa Tessa. Aku ogah
naik motor, lebih suka menumpang atau naik angkutan kota. Bukan tidak punya
uang untuk mencicil, aku malas belajar. Juga
malas dengan aroma khas jalanan bercampur knalpot. Merusak aroma parfumku
saja.
****
“Ih, Na,
loe tambah cantik, tambah berisi aja. Makmur ya, sekarang?” Siska sibuk
berceloteh mengomentari penampilannku. Sepuluh tahun berpisah setelah lulus
SMA, tentu saja banyak berubah. Aku yang dulunya kurus, seperti pengidap
depresi komplikasi dengan bulimia sekarang terlihat lebih berisi. Padahal, aku
bukan susah makan, memang bawaannya aja susah gendut. Padahalnya lagi, sejak
SMA hingga sekarang cuma bertambah
tujuh kilo saja. Jadi, sebenarnya biasa saja. Bandingkan dengan teman-temanku
yang berat badannya naik drastis. Apalagi yang sudah menikah, rata-rata kepala
enam!
“Loe, belum
married? Ah, loe pilih-pilih sih,” celetuk Adrian, teman sebangkuku dulu.
“Abis,
gimana dia mau married, kerjaannya ngurusin kucing mulu, kalau enggak sama
anjing.” Kali ini Alex yang bersuara.
Aku manyun.
Ya, kerjaannku di Pet Shop jadi
membuatku lebih banyak bermain-main dengan mahluk piaraan yang sebenarnya manis
dan menyenangkan.
“Makanya,
jadi asisten dokter aja, Na. Bisa ngecengin pasien yang orang beneran,” Tessa
mengimbuhkan.
“Sebenarnya
dia bisa tuh ngecengin yang punya hewan piaraan,” Wanda yang baru datang dan
bergabung langsung nyambung dengan topik.
“Hoi, ini
yang mau merit kan Siska? Kok gue yang jadi objek?’ Aku protes, jengah
tepatnya.
Siska yang
jadi bos hari itu tertawa.
“Ya, yaaa
baiklah, bos ga boleh diusik.” Aku menyerah. Bisa-bisa traktiran hari itu jadi
batal.
“Sis, mana
calon bokin loe?” Bisma yang datang
dengan istri dan dua putrinya yang lucu-lucu akhirnya menagih janji Siska untuk
mengenalkan sang pangerannya.
“Heeh, mana
nih? Jangan sampai nanti digebet sama si
Nana,” Roy bersuara.
“Dudul!”
aku melempar serbet.
“Tuh, dia
baru datang.” Siska menunjuk satu sosok yang datang di ujung pintu. Aku
berusaha mengenal sosok yang dimaksud Siska. Dua orang cowok datang bersisian,
masing-masing berkacamata hitam. Yang satu berkaos biru dongker dengan rambut
kelimis. Satunya lagi berambut agak gondrong dengan kaos putih bertuliskan Harley Davidson. Aku mengerjapkan mata.
Ada hawa panas seperti menusuk bola mataku.
Leo. Betapa
sempitnya dunia. Dua sosok itu berjalan ke arah meja kami. Aku mendesah, mencoba menyembunyikan rasa
cemburu. Siska tidak boleh tahu.
“Na, gue ke
barista dulu, ya. Pesanan minum kita kok belum datang aja.” Siska menepuk
bahuku.
Aku
mengangguk. Baru dua langkah Siska menuju barista, tubuhnya memutar lagi,
berbisik sesuatu di telingaku. Mestinya bisikan itu kutanggapi dengan santai,
kalau saja yang muncul di ujung sana bukan Leo.
“Calon gue
bawa temen yang masih single, lho. Nanti gue kenalin, ya? Abis gue merit,
tinggal loe aja yang jomblo.”
Aku
mengangguk, tersenyum masam. Gimana nanti saja deh. Segampang itu main jodohin
orang. Ortuku saja ga ribet . Aku berusaha bersikap santai. Siapa itu yang
datang bersama Leo? Bukan tipeku sama sekali.Aku sibuk dengan pikiranku
sendiri.
Leo nyengir
saat berkenalan denganku. “Dunia emang sempit, ya, Na,” Cowok yang datang
bersama Leo itu ternyata namanya Fredi.
Aku mengangguk,
menyuapkan sisa-sisa nasi yang membuat perutku tiba-tiba terasa penuh. Begah.
Rasanya ingin cepat pulang saja. Siska masih lama sepertinya. Aku pamit sebentar, menjeda waktu buka
bersama untuk bergantian salat maghrib.
Selesai
salat, aku berpapasan dengan Leo yang ternyata selasai salat juga. Dari sini
terlihat meja kami masih heboh dengan celotehan.
“Selamat, ya, Yo,” lirihku pelan. “Kamu kok ga
bilang-bilang kamu mau nikah sama Siska, teman SMA-ku?” Aku berbasa-basi.
Leo
nyengir, cengiran yang biasanya membuatku tertawa. Sore itu cengiran jailnya
membuatku ingin menangis.
“Jealous
nih, yeee”
Tuh, kan?
Masih saja jail saat sebentar lagi melepas status lajangnya.
“Lho, aku
kasih selamat, kok, dibilang jealous?”
aku membela diri.
“Na, Siapa
yang bilang aku mau merit sama Siska?”
Aku mengangkat
alisku tinggi-tinggi, enggak ngerti. Lelucon apa lagi?
“Yang mau
nikah sama Siska itu Fredi, saudara sepupuku. Bukan aku,” jelasnya. Aku menelan
ludah, otakku masih loading mencoba mencerna
kegagalan faham.
“Lagian tadi pas Siska datang lagi kamu udah
keburu kabur ke musala. Makanya neng,
jangan suka cepat mengambil kesimpulan.”
“Tapi kamu
sendiri bilang kamu mau nikah abis lebaran ini, kan?”
“Emang
iya.”
“Kalau bukan
sama Siska, sama siapa dong?” berondongku penasaran. Pelupuk mataku masih
hangat. Kali ini aku tertangkap basah tidak bisa menyembunyikan perasaanku.
Tissue, mana tissue?
“Kamu.”
Glek.
“Kamu kan
pernah bilang, kalau merit ga mau pake lama, ga mau pake pacaran. Abis lebaran
nanti aku mau melamar kamu.”
Aku geer,
senang bercampur malu.
“Memendam tanya segera terucap…
Belahan jiwa apa kabarmu….
Kan kujemput dikau sang Puteri
Pada saatnya nanti….”
Aku meninju
bahunya. Belahan jiwaku memang dia, Leo.
PS: Cuma cerpen, lho.Kalau ada yang nama dan alur yang mirip-miripya cuma kebetulan *kok kayak sinetron FTV, sih?*
0 Comments
Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.