“Zorg, dat als ik
terug kom hier een stad is gebouwd (coba usahakan bila aku datang kembali,di tempat ini
telah dibangun sebuah kota).” Ucapan Daendels yang populer dan sering saya dengar setiap mendengar
Radio beberapa hari terakhir ini. Yup,
25 September 2014 adalah hari ulang tahun Bandung. 204 tahun yang lalu, Gubenur
Jendral Herman Willems Daendels mengeluarkan
surat keputusan memerintahkan pindahnya
ibukota Krapyak ke pinggiran sungai Cikapundung.
Lewat
googling ke beberapa situs dan blog, saya baru ngeh (duh kamana wae neng), selain dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung, Bandung juga
dijadikan sebagai ibu kota Karesiden Priangan yang direalisasikan
pada tahun 1864. Bandung terus berkembang menjadi kotapraja (Gemeente) pada tanggal 1 April 1906
dan meningkat lagi jadi Stadsgemeente
aias Pemerintahan yang otonom pada tahun 1926.
![]() |
credit: pub.mahawarman.net |
Bandung
yang dulunya cuma hutan dan masih
berlumpur, belum banyak penduduknya termasuk di kawasan Braga (dulu jalan Braga disebut Pedati weg karena memang masih sepi
dan sering dilalui angkutan pedati lewat), lalu dandan cantik dan jadi kota yang berkembang menjadi kota yang dipenuhi dengan
bangunan-bangunannya yang apik, khas Belanda bergaya Art Deco. Seperti yang bisa dijumpai di sepanjang jalan Braga atau
seputaran Cikapundung – Asia Afrika. atau seprti gedung Nedhandel NV ini, yang sekarang jadi kantor sebuah Bank.
Hanya
beberapa hari sebelum Belanda menyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942, Gubernur Jendral
Belanda memindahkan kantornya ke Bandung
(sebenarnya sudah dipersiapkan jauh hari saat Daendels yang menjabat sebagai
Gubernur Jendral dan membangun Jalan Raya Pos yang memakan korban pribumi termasuk
pejabat dengan ancamannya yang mengerikan
itu).
Kenapa
Bandung diusulkan sebagai ibukota pemerintahan Hindia? Simpel saja, selain jaraknya dekat dengan Batavia, Topografi Bandung yang
dikelilingi gunung-gunung, bukit dan lembah yang dalam jadi tempat persembunyian yang tepat untuk
menghindari serangan musuh. Selain itu, udara Bandung yang lebih sejuk dari
Batavia membuat para bule londo ini lebih betah dan nyaman tinggal di Bandung.
Iya,
itu dulu, ya. Sampai awal-awal atau pertengahan tahun 90an, pagi-pagi sambil berangkat
menuju sekolah saya sering ber-hah-hah ria (halah) maksudnya menghembuskan hawa
dari mulut. Ada bulatan asap yang keluar
dari mulut saya. Dulu Bandung masih sejuk, masih adem bahkan sampai SMP kelas 3
atau SMA kelas 1 (lupa), saya masih
berani bermain sepeda sampai ke jembatan tol
yang ada di kawasan Caringin. Atau di lain waktu berani ngambil ke tengah dan
seenaknya menikung ke pertigaan, sampe
diklaksonin sama pengemudi motor dibelakang.
Panik, dan terjatuh. Kapok? Enggak, bangun lagi dan melanjutkan bersepeda ria. Saya juga dulu
cuek mengayuh sepeda dan bersisian
dengan angkot.
Pernah menabrak batu besar di pinggir jalan, yang ini lukanya cukup hebat, paha saya lecet, memar-memar dan nyerinya ampun-ampunan, bikin saya harus puasa dulu maen sepeda. Kalau ga salah cuma libur 1-2 minggu, lalu merajuk minta sepedanya dibenerin. Iya, soalnya benturan yang keras sama batu itu, bikin besi bagian depan sepeda saya jadi patah, sementara posisi jatuh saya terperosok ke parit. Halah, ternyata waktu kecil dulu saya ini badung, ya hehehe.
Pernah menabrak batu besar di pinggir jalan, yang ini lukanya cukup hebat, paha saya lecet, memar-memar dan nyerinya ampun-ampunan, bikin saya harus puasa dulu maen sepeda. Kalau ga salah cuma libur 1-2 minggu, lalu merajuk minta sepedanya dibenerin. Iya, soalnya benturan yang keras sama batu itu, bikin besi bagian depan sepeda saya jadi patah, sementara posisi jatuh saya terperosok ke parit. Halah, ternyata waktu kecil dulu saya ini badung, ya hehehe.
Sekarang?
Enggak berani bawa sepeda, ngeri sama kumbang
bermesin (motor maksudnya) yang
berseliweran di jalan. Bahkan untuk nyebrang aja pernah nunggu sampai 5 menit saking crowdednya.
Makanya, dikipasin temen buat beli motor
biar bisa leluasa jalan, saya keukeuh peuteukeuh enggak mau. Masih keder. Seiring bertambahnya umur,
ternyata nyali saya mulai menyusut,
hikssss....
Kalau
dulu jaman SMA sampai kuliah saya harus lari-lari
rebutan angkot, bahkan harus ke luar
rumah sebelum jam 6. Di atas jam itu, saya harus main sikut-sikutan (termasuk
sama om-om dan tante-tante pekerja
kantoran yang usianya sebayaan ortu) kalau ga mau kesiangan. FYI, waktu kuliah
dulu, jam kuliah paling pagi adalah jam 6.30. Dengan jarak tempuh kurang lebih setengah jam dari rumah ke
kampus, belum intermezzo nunggu kereta yang lewat di pintu kereta Andir. Makanya saya
harus cepet-cepet pergi. Risikonya, kalau kalah sprint sama dosen tertentu,
door closed, ga boleh masuk. Absen ga dianggap dan ga dapet refund uang kuliah (hahaha itungan
banget, biarin).
Dulu rela berlari-lari pagi dari depan kampus menuju ruang kuliah di lantai 4. Padahal waktu kuliah, saya ndut dan
susah kurusnya (sampe ada temen yang bilang saya kayak Ninja Hatori, weeh mentang-mentang suka pake ransel gitu?), saya masih bisa
menikmati Bandung yang sejuk. Masih asik buat kruntelan pagi-pagi di kamar kalau ga ada kuliah. Sekarang,
Bandung jadi panas (atau anget?), lama pula nunggu mamang angkot buat jalan
karena harus menuhin muatan, demi sebuah ambisi, “Kejar Setoran”.
Pergantian
walikota baru yang sekarang dipimpin sama Kang Emil memang sudah banyak menunjukkan perubahan, Iya,
ada sih kebijakannya dalam beberapa hal tetap saja ada yang ga setuju. Soal
kebijakan pendaftaran sekolah yang
sempet bikin heboh itu (selalu ada adaptasi buat hal baru, kan?), atau kebijakan soal lain seperti rencana larangan plat B
maen ke Bandung pas weekend (baru rencana,
kan?) jadi topik debat yang lumayan
seru. Nobody
perfect. Saya dukung pogram Kang
Emil menata Bandung jadi lebih sejuk dan
adem seperti dulu.
Saya kangen Bandung yang dulu, Bandung yang sejuk. Bandung yang bersih, Bandung yang kalau hujan ga pake banjir, Bandung yang enggak macet dan ini...... Saya kangen melihat bulatan kabut yang terhembus dari mulut saya setiap pagi. Kesampean ga, ya?
Anyway, Happy Birthday Bandung,
Wilujeng Milang Kala nu ka 204. Love You Full!
Iya Bandung dulu dingin, skrng panas. Bandung dulu ga semacet sekarang. Tapi Bandung sekarang, makan bisa dimana2 dan enak semua. Aduh,kalo saya memang ga jauh2 urusan makan dh ya.hihi. ud lama ga ke sana,pengen lihat taman2 barunya euy
ReplyDeleteHahaha iya, Bandung Surga Kuliner. Eh tapi aku sendiri belum menjajal semua kuliner Bandung juga sih. Saking bejibunnya.
DeleteSelamat ulang tahun Bandung, saya kangeeen main ke kota kembang hihihi
ReplyDeleteHayu Mak, main sini, mumpung belum dilarang bawa mobil Letter B :D
DeleteApalagi pas weekend ya teh...orang jakarte tumplek blek di bandung...sunpek..macet...n ga bisa kmn2 :(
ReplyDeleteAku lebih suka diem di rumah kalau lagilong weekend. Males banget sama panas n macetnya :)
DeleteNggak Bandung, nggak Jogja, saya kira semua kota memiliki permasalahan yang sama. Jumlah penduduk Indonesia di masa penjajahan berkisar antara 60-70 juta jiwa. Tahun 2014 ini jumlahnya melampaui 200 juta jiwa. Sebagian besar penduduk terkonsentrasi di pulau Jawa.
ReplyDeleteLonjakan penduduk yang besar juga mempengaruhi daya dukung suatu kota. Semakin banyak penduduk akan menimbulkan beban yang berat bagi wilayah yang dihuninya. Salah satu contohnya seperti yang Anda kemukakan ini.
Salah satu cara mengurangi beban adalah pembatasan, sebab tidak mungkin lagi memperbesar wilayah hunian. Tapi toh pembatasan ini tidak serta-merta bisa berjalan mulus. Karena orang kita lumayan sungkan dengan hal-hal yang dibatasi.
Menurut saya solusi yang mujarab adalah pembatasan. Semoga kita ke depan sudi menerimanya untuk bisa mengurangi beban kota tercinta.
Saya penah baca literatur, Bandung emang direncanakan untuk dihuni penduduk sekian ratusribu orang saja (kalau ga salah). ga sampai beberapa juta seperti sekarang (Seingat saya waktu saya SMA Kota Cimahi baru dapat status kota, dulunya statusnya kota admnistratif) bukan sebagai kota Industri dan banyak mallnya. Kota-kota di Jawa memang harusnya buat lahan pertanian, ya, buka pusat pertumbuhan Industri. itu yang bikin Jawa jadi sesak. Trims buat brainstormingnya.
DeleteWalaupun saya cuma warga Bandung Coret, Kota Bandung tetap seperti rumah bagi saya. Love Bandung....
ReplyDeleteTossss teh Asri, saya juga Bandungnya Bandung coret, mepet ke Cimahi hihi.
Deleteaku juga sring gerah karena kepanasan di bandung. Padahal katanya bandung dataran tinggi nan sejuk. Tapi tetep we gerah. huhu
ReplyDeleteDataran Tingginya udah peang, Rizka. maksudnya udah ga banyak pohon lagi, hehehe. kalau dapet suhu Bandung yang dingin itu serasa Deja Vu, meski cuma bentar.
DeleteAnak mBadung tinggal di mBandung. :)
ReplyDeleteKalau kangen sepedaan lagi, volek Bang Aswi saja, Mba. Hihihi
Itu dia idah, liat jalanan bikin keder. Banyak yang sableng bawa motor atau mobil. Ngeri ah :D *kalah sama anak kecil*
DeleteWaktu SMA, selalu pake jaket kalo masuk pagi karena sering masi berkabut. Pulangnya, pake jaket juga nggak bikin sesak napas kepanasan. Sekarang...ngeliat orang pake jaket siang2 aja kok aku sesak napas ya. *tolong jangan tanya saya SMA tahun berapa :p *
ReplyDeleteTapi, I love Bandung. Kalo bukan kita yang peduli sama Bandung, siapa lagi? ;)
Aku juga ngalamin itu teh, hihihi *umpetin KTP*
DeleteSeneng jadi urang Bandung dan pengen tinggal di Bandung terus. Ke kota lain mah cukup jalan-jalan aja.