Monday 19 May 2014

Prompt #50: Mereka Saling Berteriak


Aku bersama Nadia. Sementara ayah dan ibu berada tak jauh dari kami. Tetapi kami tak melihat keduanya. Kami hanya mendengar suara-suara mereka saling berteriak. Lalu suara itu menghilang. Tak terdengar lagi.
 
credit
Hanya suara jangkrik yang hadir, meningkahi senyapnya malam. Aku berjingkat, mendekati pintu dan membukanya perlahan. Penasaran ingin tahu apa yang membuat ayah dan ibu berhenti bertengkar. Beberapa saat sebelum  suara mereka menghilang, aku mendengar suara benda kaca yang pecah.  Mungkin gelas, mungkin piring, ah entahlah. Biasanya esok pagi, lengkingan suara ayah akan memanggilku untuk menyapu serpihan beling yang terserak.
Aku menoleh ke belakang. Nadia masih terlihat ketakutan seraya memeluk kedua lututnya. Matanya terlihat berkaca-kaca.  Gegas aku menghampirinya. Aku  mengajaknya mendekat, lalu memeluknya, dengan tangisan yang  tertahan.
“Kakak janji akan menjagamu, Nad,” lirihku.
Aku merasakan guncangan halus di bahunya, “Nadia takut.”
“Sepertinya mereka sudah cape bertengkar,” aku membelai rambutnya. Sesaat kemudian Nadia melepaskan pelukannya, menatapku lekat.
“Kak, kita minggat saja.”
Minggat? Aku mencelos. Ke mana kami akan minggat? Aku masih dibayangi kengerian berita di tv tentang anak-anak yang dipaksa ngamen atau mengemis di perempatan.  Aku tidak mau merusak masa depanku,  juga Nadia. Meski bertahan di rumah ini tidak membuat kami merasa aman dan nyaman.
   Menginap di rumah eyang untuk sementara waktu adalah pilihan yang lebih baik. Entah dari mana kami bisa mendapatkan ongkosnya. Bagaimana kalau ayah menjemput paksa kami? Aku berusaha menepis berbagai kemungkinan yang mengerikan itu. 
Lamat-lamat terdengar suara langkah kaki mendekati pintu kamar.  Biasanya selesai bertengkar hebat ayah akan pergi keluar dan kembali dalam mabuk.  Kadang rasa gemasnya yang tersisa dilampiaskannya dengan menampar kami sampai bosan. Itu pasti ibu, bisikku dalam hati.
“Ras, buka pintunya,” panggil ibu. 
Nadia menatapku dengan pandangan kosong. Menjadi bulan-bulanan kemarahan ayah tidak membuat Nadia bersimpati pada ibu. Selalu saja kata-kata yang terdengar setiap mereka bertengkar tidak pernah meluputkan uang dan uang.
“Ras, buka pintunya.” Suara ibu terdengar parau.
Nadia menghampiriku, bersembunyi dibalik pintu. Aku menatap  sekadar meyakinkannya kalau kegerian malam ini setidaknya akan terjeda. Ya, setidaknya.
“Ras, tolong ibu.”
Rambutnya terlihat kusut masai, wajahnya tampak lebam dan bercak darah terlihat di lengannya. Satu sisi lengan ibu lainnya menggenggam leher botol. Botol itu pecah di ujung lainnya.
Aku terhenyak, berusaha memahami apa yang sudah terjadi.
“Tolong ibu menyingkirkan tubuh ayah kalian,” ujarnya datar.
Aku tidak tahu harus menolong atau lari.
Share:

26 comments:

  1. Replies
    1. twist ending yang kepikiran seperti ini,mak. Eh tapi ga mewakili karakter asliku, kok ^_^. Cuma flashfiction aja.

      Delete
  2. wah ada pembunuhan :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akhirnya sang ibu melawan, terpaksa membunuh untuk membela diri.

      Delete
  3. Replies
    1. Lewat belakang rumah dan ngeles dikit sama ibu, ya :)

      Delete
  4. wah,,,entar bisa dibuat sequelnya nih...dan jadi buku...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, iya. Baru kepikiran, nih. Dibuat teen novel aja gitu, ya? :)

      Delete
  5. baguus mbaak :D

    ReplyDelete
  6. Replies
    1. DIlematis. Antara takut tapi juga kasihan dan entah perasaan apa lagi.

      Delete
  7. Niceeeee :D
    Hanya typo typo dikit. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah iya, baru nyadar. Malu, nih. *melirik semut merah*

      Delete
  8. kirain ibunya lebam itu jadi korban kdrt. eh iya sih gitu kan. korban kdrt tp balik melawan. keren!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya melawan, dan sekalinya melawan langsung mengirim suaminya ke akhirat.

      Delete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.