Playing God, Ketika Dokter Seolah Menjadi Tuhan

Waktu saya masih SD sampai SMA dulu, ada beberapa serial yang tayang di tv dengan latar belakang tokoh utamanya bergelut di dunia kedokteran. Kalau yang umurnya ga jauh-jauh dari saya sih mestinya tahu serial Dr Quinn The Medicine Woman, Dr Sartika yang dibintangi Dewi Yull dan E.R atau Emergency Room yang tayang sekitar awal tahun 1997an. Dulu, profesi seorang dokter segitu dipujanya dan pasien-pasien biasanya fanatik, ga mau pindah ke lain dokter kalau sudah merasa cocok. Rasanya, belum pernah deh, dengar ribut-ribut malpraktik yang digugat keluarga pasien terhadap dokter seperti sekarang ini.

Padahal dokter juga manusia. Tugas dokter sejatinya seperti yang tercantum dalam Konsili Kodekteran Indonesia adalah membantu memberikan pengobatan secara maksimal untuk pasien, bukan menyembuhkan.  Dan sepertinya dokter ini adalah profesi yang paling banyak aturannya.

Playing God, Ketika Dokter Seolah Menjadi TuhanSetelah saya membaca buku Playing God yang ditulis oleh Rully Roesli, - cucu dari Marah Roesli, penulis Siti Nurbaya - yang juga kakak kandung dari almarhum Harry Roesli, sedikitnya wawasan saya soal lika-liku dunia seorang dokter jadi bertambah. Mau tau? Yuk, saya share, ya.

Judul Buku : Playing God
Penulis : Rully Roesli
Penerbit : Qanita, 2012
Tebal : 197 Halaman
ISBN : 978-602-9225-31-0

Saya sempat tergelitik penasaran ketika beberapa waktu lalu para dokter ramai-ramai demo setelah kasus seorang dokter, dr. Ayu yang dikhawatirkan akan dikriminalkan setelah pengaduan keluarga pasien yang tidak dapat diselamatkan. Satu tahun sebelum kasus itu mencuat, sebenarnya buku ini sudah saya punya, tapi terselip bersama buku-buku lain yang belum saya baca. Sayang sekali, andai saja sudah saya baca saat itu, mungkin saya ga bakalan terlalu bingung menyikapi berita yang beberapa hari jadi headline dimana-mana termasuk status FB teman-teman.

Yang menarik dari buku ini tentu saja judulnya. Playing God. Berperan seolah-olah menjadi Tuhan. Penjelasan sederhanannya adalah bertindak  seolah mempunyai wewenang untuk menentukan kehidupan seseorang/orang lain.

Buku ini dibagi dalam 5 sub bab yang masing-masing bab membahas secara tematik pengalaman yang dialami penulis. 
Bab 1 dengan tema Menentukan Nasib Orang Lain,  bercerita tentang pergumulan batin saat para dokter di tempat penulis bertugas, Rumah Sakit Khusus Ginjal (RSKG) R.A Habibie Bandung . Saat itu, pada tahun 1998 pemerintah belum mengeluarkan program semacam Jamkesmas dan sejenisnya. Krisis moneter yang dahsyat saat itu membuat biaya cuci darah melonjak lebih dari 10 kali lipat.

Jika sebelumnya hanya diperlukan Rp125.000, maka setelah krisis moneter, diperlukan biaya sebesar Rp. 1,5 juta untuk sekali cuci darah. Meskipun ada sistem subsidi silang untuk membantu pasien yang tidak mampu, waiting list yang begitu panjangnya memaksa para dokter dan pihak lain yang terlibat sampai bagian keuangan dan yayasan harus bermusyawarah untuk menentukan pasien mana yang berhak mendapat bantuan.

Dengan dukungan data dan latar belakang pasien seperti usia, status ekonomi, keperluan obat diajukan dalam forum untuk memutuskan siapa saja yang berhak mendapatkan bantuan. tentu saja, ada pihak yang harus dikorbankan, dan pilihan dilematis yang harus segera diputuskan. Kegamangan dokter yang kerap tidak kita sadari sebelumnya.  

Saya baru ngeh kalau pada tahun 2004 (entah dengan sekarang) biaya kesehatan yang dianggarkan oleh pemerintah kita masih kalah dari Vietnam dan Kamboja. Sedikit lebih baik dari Afghanistan dan tentu saja jauh dari anggaran yang dimiliki negara-negara di Eropa. Belum lagi tidak semua asuransi ternyata mau menanggung pos semisal bedah jantung, cuci darah atau pengobatan kanker yang jelas-jelas perlu biaya tidak sedikit.

Pada Bab 2, dengan tema Menghakimi Diri Sendiri, penulis bercerita seputar suasana emosi para pasien yang harapan hidupnya tipis. Dengan vonis harapan hidup yang tipis, justru tidak sedikit mendorong pasien menjadi putus asa dan memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Seperti data statistik tahun 2009, dari 29 kasus bunuh diri di Bali, 25 diantaranya dipicu karena sakit menahun.

Selain memaparkan contoh beberapa kasus pasien yang putus asa, dr Rully juga menceritakan kisah sejati seorang pasien yang bisa bertahan hidup setelah divonis harus menjalani cuci darah sejak tahun 1994. Sanggup bertahan sampai tahun 2004 dan meraih gelar sarjana (saat kesaksian ditulis) jadi salah satu contoh kalau pasien yang divonis harus menjalani cuci darah masih punya harapan hidup yang panjang. 

Bab 3, dengan tema Tuhan Bertindak dengan cara yang misterius  menceritakan beberapa contoh intervensi yang secara sengaja dan tidak  agar pasien yang ditangani masih bisa bertahan hidup. Ada  cerita mengharukan pasangan pengantin dari Belanda yang mengurungkan rencana honeymoonnya dengan memberikan uang sejumlah 2.000 gulden untuk membantu pengobatan seorang pasien yang kemudian bertahan hidup dan menikah dengan seorang pembaca berita di TVRI.

Di bab ini juga dibahas penelitian terapi yang diberikan kepada pasien yang dibagi dalam dua kelompok dimana salah satu kelompok mendapatkan terapi spiritual berupa pemberian doa untuk meningkatkan harapan sembuh yang lebih baik. 

Pembahasan mulai dari Bab 3 ini terasa lebih menarik. Mungkin pengaruh dari sang kakek, Marah Roesli, dokter yang juga penulis membuat saya bisa mencerna uraian yang dipaparkan. Kosa kata dunia kedokteran saya bertambah melalui ilustrasi cerita. Misalnya, saya baru tahu tentang kreatinin sebagai pengukur kondisi ginjal seseorang.  Kadar kreatinin ginjal seseorang dikatakan normal biala ada di kisaran angka 0,7-1,2 mg/dl. Jadi bila kadarnya meningkat maka ada sesuatu dengan fungsi ginjalnya. Nyaris saja ditemukan satu obat untuk menurunkan kadar kreatinin oleh seorang dosen, sayangnya formula itu keburu menjadi misteri bersamaan dengan meninggalnya sang dosen.

Dua bab terakhir mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat lagi dunia kedokteran dan menyiapkan diri menghadapi situasi yang tidak diharapkan. Mengenal Sosok Seorang Dokter pada bab ke-4 dan Saat Menghadapi Akhir Kehidupan Kita. 

Pada bab ke-4 dibahas tentang pengaruh sugesti dan hubungannya dengan kesehatan pasien termasuk hal-hal klenik yang terkait sejak jaman dulu sampai sekarang. Di sini juga dibahas POS (Prosedur Operasional Standar) yang dijalankan dokter ketika menangani pasien.  Tambahan kamus kedokteran saya bertambah lagi. Misalnya istilah psiko-neuro-endokrino imunologi sebagai tindakan sugesti/hipnotis terhadap kondisi fisik  agar tingkat imunitas bertambah dan penyakit benar-benar jadi sembuh. Ada juga Resusitasi Jantung Pulmonal (RJP) sebagai tindakan untuk mengaktifkan kembali detak jantung atau nafas pasien berhenti. Saya juga baru ngeh, kalau tehnik cuci darah atau hemodialisa ada beberapa cara sampai yang terbaru yanng disebut SLED (sustained low efficincy dialysis).

Yang paling menarik, di sini juga dibahas UU Nomor 29 tahun 2004 yang mengatur hak dan kewajiban pasien dan dokter.  Berbeda dengan jasa pelayanan lainnya, dokter berhak untuk mendapat bayaran terlepas dari apakah si pasien sembuh atau tidak. Entah di mana ya titik ketidak sinkronan, sehingga sekarang ini banyak tuntutan dengan tuduhan malpraktik. Salah satu logika yang menarik soal POS adalah ada ilustrasi ketika terjadi sesuatu di RS yang membuat dokter dan pasien harus menyelamatka diri. Siapa yang harus menyelematkan diri lebih dulu? Dokter! Alasannya adalah bagaimana nyawa pasien akan bisa diselamatkan bila dokternya tidak ada? 

Pada bab terakhir, Penulis menceritakan saat-saat terakhir Harry Roesli sebelum meninggal. Ada keharuan yang menyeruak karena bersama kedua kakaknya yang juga sama-sama dokter, penulis tidak bisa menyelamatkan nyawa Harry Roesli, seorang musisi mbeling yang punya relasi banyak dari berbagai kalangan. Mulai dari pengamen jalanan sampai akademisi dan politisi. Tahukah anda berapa tekanan darah almarhum saat masuk ruangan UGD? 60/0! Beliau juga menolak untuk menggunakan kursi roda dan memillih berjalan kaki seperti orang sehat. Dalam rentang waktu 25 menit, beliau harus segera dipindahkan ke Jakarta dengan helikopter karena alat yang diperlukan belum ada saat itu. Selama diperjalanan, Harry Roesly masih bisa bercanda dan menutup usianya dengan tenang sementara kedua kakaknya berusaha keras menahan kesedihan. Dokter juga manusia, ya.

Selain beragam kisah sejati yang diungkap, Rully Roesli mengaitkan bahasannya dengan ayat-ayat quran dan kisah-kisah yang terjadi dalam Al Quran dan di jaman rasulullah saw membuat buku ini bukan hanya saja kaya dengan sentuhan ilmiah tapi juga religius.

Satu lagi pesan moral yang bisa kita petik dari buku ini adalah hebatnya peran seorang Ibu dalam menanamkan kepercayaan diri dan semangat kepada anaknya. Berkat ibunya, dr Eddhyana Roesli, yang  berprofesi menjadi dokter selama 50 tahun, sejak  tahun 1941, Rully Roesli berhasil menapaki karirnya sebagai dokter spesialis ditengah keterbatasan fisiknya yang mengalami penyakit polio yang menderanya sejak usia 5 tahun. Pada masanya ini, sang ibunda adalah dokter yang sangat terkenal dan tidak menarik tarif yang memberatkan. Tidak heran kalau akhirnya dalam sehari pasiennya bisa  mencapai ratusan orang. Prinsipnya soal hubungan dokter dan pasien yang harus melibatkan tuhan dilukiskan dalam motonya seperti di bawah ini.

Playing God, Ketika Dokter Seolah Menjadi Tuhan


4 Comments

  1. Wahhh, aku masih suka percaya banget sama apa kata dokter. Moga nggak tergolong syirik terselubung yah T___T

    ReplyDelete
  2. Hehehe enggak lah mak. Selama kita kasih informasi yang bener sama dokter, pasti dokter kasih solusi terbaik. Yang gak boleh itu menganggap dokter sebagai pemberi kesembuhan. Mereka cuma cuma jalannya aja.

    ReplyDelete
  3. oh ternyata, keren....
    dari pembahasan bukunya sepertinya jadi pingin baca
    biar tau perjalanan seorang dokter menjalani profesinya

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.