Friday 13 December 2013

With or Without You

Tadinya cerita super pendek ini mau saya sertakan dalam sebuah lomba nulis, tapi setelah saya pertimbangkan, ga jadi deh ikutan lombanya. Tapi sayang juga sudah cape-cape mikir, kalau cuma ngendap di folder pribadi. Ya sudah, saya share aja di sini ya. :)

“Suer Ci, belum pernah ada yang bikin gloomy di hari ulang tahun gue,” Bintang terisak menumpahkan kesedihan di bahu sahabatnya.

“Tang, lihat gue.” Cici menegakkan bahu Bintang, mencengkramnya kuat.

“Lu mestinya bersyukur dia meninggalkan lu sekarang, bukan nanti saat kalian sudah terikat, saat kalian sudah bersumpah atas nama tuhan, atas nama Allah.”
“Tapi Ci...”
“Ssstttt....., lu denger gue Tang!”  Cici menyimpan telunjuk di depan bibir Bintang.
“Dia ga pantes dapetin lu, Tang.”
Bahu Bintang masih turun naik. Sedu sedannya terdengar  pelan.
“Tang, sumpah lu jelek banget kalau lagi nangis. Ayo dong, it’s  not Bintang I used to know.  Lu jadiin dia bensin yang memantik mimpi lu.”
Bintang masih terdiam.
“Cuma karena ga jadi merit sama dia, lu ga usah pusing ngurusin remeh temehnya dia. Lu punya banyak waktu buat lu sendiri.  Rugi habisin air mata nangisin dia.  Inget proyek lu,  Gue pengin lu buktiin sama dia kalau dia salah nyampakin, lu.”
“Ci,...” Bintang tersenyum hambar.
“Nama gue Bintang, bukan Lulu.”
Cici tertawa, menoyor bahu Bintang. “Nah, gitu dong, berjanjilah sama hati lu, bukan gue. Janji lu bisa bangkit. Gue pengen kilat mata lu terus bersinar, sama seperti nama lu.”
Bintang mengangguk. “Thank’s Ci.”

Dua tahun kemudian....
 
Andre tercekat, sore itu niatnya untuk segera meninggalkan arena bursa buku yang digelar di pelataran parkir sebuah toko buku terhenti. Hujan sudah lama berhenti.  Bocah-bocah pengojek payung mulai membubarkan diri, seperti kerumunan  laron yang menjauh dari lampu yang  meredup.
Sosok itu.
Satu sosok yang pernah ada dalam hidupnya.
Bintang.  Wanita dengan tatapan yang masih sama itu  tengah duduk di kursi merah, di sebuah panggung yang digelar. Senyum yang sama, senyum  terakhir sebelum ia membuatnya  menangis, memudarkan pendar indah matanya. Gemintang yang membuat wajahnya selalu terlihat indah.

Bintang  bercerita dengan renyah proses novelnya dibuat sampai  launching hari ini. Andre terpancing untuk memaku diri bersama kerumuman pengunjung. Satu kalimat terakhir yang diucapkan Bintang seperti menohoknya.
Thank’s for heartache,” lirihnya.
Heartache?” Andre membatin.
Andre sempat mengintip buku yang dipajang di sekitar arena. Novel itu. Apakah isinya tentang jalinan mimpi-mimpi masa lalu yang terurai, tercerabut karena keangkuhan hatinya,  keegoan seorang Andre?
“Selamat, ya, Bintang,” Andre mengulurkan tangan saat bedah buku itu usai,
Bintang yang baru selesai melayani pengunjung untuk meminta tanda tangan dan berfoto bersama terkesiap.“Andre?  Sudah lama?” Bintang kikuk menyadari kehadiran Andre yang tiba-tiba muncul.
“Jadi semua itu, tentang kita? ” Andre menyodorkan satu novel yang sudah dibayarnya di kasir sesaat sebelum diskusi sore itu bubar.
Bintang membubuhkan tanda tangan di halaman muka novel perdananya. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan Andre. Seorang pengunjung , sepantaran mahasiswa  menghampiri Bintang, memintanya berfoto  bersama.
“Maafkan saya... Maafkan saya sudah membuatmu...”
“Ndre, masa lalu itu memang menginspirasi saya, menginspirasi saya untuk bertahan. Tentang kita? Ah, kamu geer, saya ga menjadikan kamu penjahat kok, di novel itu,” Bintang menarik satu kursi yang kosong, mengajak Andre duduk berhadapan.
“Judul yang bombastis, ya?” Bintang tertawa kecil.
Hening.
Dua tahun berlalu, Bintang tetap cantik, lebih cantik dari dulu malah.
“Mana istrimu?” Bintang membuyarkan lamunan Andre.
“Aku sudah bercerai.  Setahun lalu.”
“Oh,...” mulut Bintang membulat.
“Bahkan sebelum kami merayakan ulang tahun pernikahan pertama, “ Andre menyambung ceritanya yang lebih mirip curhat.
Bintang mengibaskan tangan. Meminta Andre untuk menyudahi ceritanya.
“Apa itu karma, Bin?”

“Karma?” Bintang menaikan alisnya.
“Karma karena saya sudah menyakitimu.”
“Ndre,...” Bintang menarik nafasnya. “Saya ga punya hak untuk menghakimimu atas semuanya. Apa terjadi dengan kita dulu itu, hanya....”
“Ya?”
“Hanya masa lalu,” lirih Bintang sambil melirik jam tangannya. “Sudah hampir malam, saya harus segera pergi.”
Andre mengangguk. Kali ini Bintang pergi meninggalkannya yang terpaku.
Karma? Andre mengulang kata-katanya sendiri.  Kalimat terakhir dari Bintang juga jadi jawaban baginya. Hanya masa lalu.  Tidak mungkin lagi memutar waktu, melanjutkan lembaran mimpi-mimpinya yang sudah dicabutnya sendiri. Entah siapa yang menunggu Bintang di depan sana. Sosok tegap berkacamata itu menyambut Bintang, menyampirkan jaket ke bahunya.

Samar-samar terdengar suara Bono U2 yang diputar, menemani langkah Andre menuju area parkir.

And you give yourself away
and you give yourself away
and you give
and you give....
With our without you.....

Kali ini Andre yang menangis dalam hati."Without me, she can live," bisiknya dalam hati.
Share:

4 comments:

  1. minimal di hari yang spesial kita berkumpul dengan keluarga tercinta.

    ReplyDelete
  2. Aku rasa tokoh bintang memiliki pribadi seorang juara. Dia bisa "menikmati" kesakitannya menjadi sesuatu yang menguatkannya. Dan kisah spt Bintang bisa saja terjadi pada siapa saja. Belajar dari Bintang; apapun yg terjadi, maju terus, selama terus melangkah, pasti akan menemukan jalan...cerpen yg okesipp...

    ReplyDelete
  3. @AntonBetul Anton, happy ending tidk selalu harus seperti tipikal drama queen. Ada setiap hikmah dari perasaan kecewa atau sakit hati.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.