Wednesday 22 May 2013

CCTV, 'Sekarang" dan "Sepanjang Masa"

 
  CCTV, tentu saja kita semua sudah familiar dengan benda satu ini, paling gampang bisa kita temui di atm atau bank. Nah, tempat kerja saya yang baru sekarang, ternyata memasang CCTV.
    Selain faktor keamanan, kinerja karyawan di perusahaan tentu jadi salah satu alasan kenapa alat ini dipasang.Mulai dari front office, sudut ruang accounting, PPIC sampai gudang tidak lepas dari alat pemantau satu ini. Efek positifnya, karyawan di perusahaan terpacu untuk serius bekerja, berusaha menahan kantuk, ngobrol ngalor ngidul ga penting, jalan-jalan kurang kerjaan sampai aneka remeh temeh yang mengganggu kinerja. 
    Ups,  saya jadi harus lebih selektif menjawab BBM, SMS, telepon dan tentu saja jejaring sosial yang terbenam dalam fitur telepon genggam saja. Nah, cara yang efektif juga buat saya buat ngerem 'distract'  media sosial yang *ngaku aja dehhh* menyita waktu produktif kita. 
    Nah, dengan adanya CCTV itu, otomatis membuat alarm saya harus stand by. Saya harus cepat tidur biar besoknya ga ngantuk di kantor, fokus dengan kerjaan dan mengabaikan satu-dua aneka pikiran yang mengusik dan tentu saja sebaiknya menyimpan saja telepon genggam saya di dalam tas. Mungkin, cuma panggilan dari rumah atau ortu yang saya setting dengan ringtone tersendiri, antisipasi kalau-kalau ada hal yang sifatnya urgent.
    Itu CCTV yang ada di kantor, ya? Lalu, bagaimana dengan CCTV yang melekat sepanjang masa usia kita? Sejak kita lahir, sampai menutup mata (kok, jadi inget lagunya Acha Septriansyah, sih, ya?) terus aktif memancarkan sinyal sampai ke arasy-Nya? Tidak satu kejadian pun yang luput dari pantauannya. Bahkan, setiap lubang pori-pori kulit kita juga akan bersuara, menjadi saksi ahli dalam persidangan nanti.
    Saya jadi merenung. Sementara ini, masih banyaakkkkk sekali dosa yang masih saya perbuat, sadar atau tidak. Saya malu buat merinci apa saja dosa-dosa saya itu. dari A-Z, yang ingat atau tidak. Kalau saja, CCTV di kantor membuat saya siaga 1, kenapa dengan CCTV dari Allah saya cuek bebek mengacuhkan, ya? Hiiiy,... padahal panasya api neraka nanti saja ga kebayang. Kena cipratan minyak panas saja, masih menjerit. Kena terik matahari tengah hari saja masih mengeluh. Tertusuk duri, teriris pisau tidak sengaja saja kadang membuat mata ini berderai menahan pedih. Duh, gusti..... saya ga bisa membayangkan kengerian hari itu, nanti. 
    Saya jadi teringat sebuah artikel yang menceritakan pengalaman Chrisye semalam menjelang rekaman lagunya Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Pantas saja, Almarhum tidak bisa memejamkan matanya, meresapi lirik demi lirik lagu itu.


    
Share:

Saturday 18 May 2013

Enam Tahun

    Sabtu lalu, seminggu sudah saya meninggalkan sekolah tempat terakhir saya bekerja.Seminggu juga saya menjalani hari-hari baru, dengan pekerjaan baru, rutinitas baru dan tentu saja, teman-teman baru. Meski, sebenarnya saya sudah pernah mengecap atmosfir suasana perusahaan sebelumnya. Akhir April lalu, saya mendapat panggilan wawancara di sebuah perusahaan Tekstil. Alhamdulilllah, saya diterima bekerja. Artinya, saya harus meninggal sekolah tempat saya bekerja. Setelah kurang lebih lima hari saya memberi training singkat sekaligus serah terima pekerjaan dengan pengganti saya, akhirnya sampai juga waktunya saya buat berpamitan. Hal yang saya sendiri bingung bagaimana untuk melaluinya.
gambar ngambil dari sini

    Siang itu, tengah hari, sekitr waktu Dzuhur beberapa guru masih bertahan di sekolah menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa guru sebelumnya sudah pulang lebih awal karena memang biasanya akhir pekan jadi waktu khusus buat anak-anak mengisi dengan pramuka. Apalagi, ada beberapa guru yang harus menjalani ujian akhir semester program S-1nya. Kalau beberapa hari sebelumnya saya masih bisa tersenyum menanggapi sms seorang teman yang merasa kehilangan saya setelah saya pindah kerja nanti, tidak dengan hari itu.

    Awalnya, semua berjalan lancar ketika saya pamitan, termasuk dengan sahabat saya itu. Tidak ada peluk-pelukan pake acara nangis-nangisan. Biasa saja. Enggak ada bedanya dengan pamitan hari-hari biasanya ketika saya atau yang lainnya pulang lebih awal. Nah, siang itu saya mencari guru kelas, berpamitan setelah sejak bulan Januari - rutinitas semester genap - kami lebih intens bekerja sama menyiapkan segala keperluan ujian kelas 6 sejak pendataan, latihan ujian sampai UN kemarin.

    Saya mengetuk pintu kelas, Bu Anna, salah satu dari 4 guru kelas 6 di sekolah saya menyambut saya. Pendek saja, saya menyampaikan maksud saya.

    "Bu, saya duluan, ya. Pamit, sekalian terakhir saya di sini."

    Saya pikir, waktu itu semuanya bakal berjalan mulus. Saya yang terlanjur dicap Miss Flat, dingin, cuek dan kaku oleh teman saya ternyata gagal mengeraskan hati. Cuma satu sentuhan lembut saja, sudah cukup membuat saya meleleh. Bu Anna tersenyum, memeluk saya, lalu berkata pelan. "Neng, meni waas ih,... (Neng, ibu ga bisa bilang apa-apa lagi)."

    Sungguh, saya seperti es krim yang meleleh, tersengat di siang bolong. Duh, kok jadi sedih gini, sih? Reflek, saya mengusah sudut mata saya, dari balik kaca mata. "Ah, ibu. Udah ah... saya, jadi pengen nangis, nih" saya berkata sambil tertahan, masih dalam pelukan Bu Anna.

    "Semoga sukses, ya Neng. Ibu doain yang terbaik." Sederhana saja, kata-kata yang biasa buat kita sampaikan, dan biasa kita dengar, ya?  Bahkan, saat saya mengetik cerita ini, tiba-tiba saja mata saya terasa hangat lagi.

    Enam tahun, bukan terbilang lama tapi juga tidak sebentar. Ibaratnya, saya seperti anak kelas enam yang mau lulus sekolah. Bedanya, kalau anak-anak kelas enam masih harus menunggu pengumuman kelulusan, saya sudah lebih duluan keluar.

    Seperti yang dibilang Slank, "Terlalu Manis Untuk Dilupakan". Rasanya baru saja kemarin saya bekerja, baru saja kemarin saya bercanda dengan teman-teman saya di sekolah, sepertinya baru kemarin berkutat dengan dateline pekerjaan yang membuat kami harus lembur berhari-hari di sekolah atau begadang sekian malam melanjutkan pekerjaan yang setumpuk.

    Sekarang, semuanya sudah berlalu, ada di belakang saya. Tapi The Beatles juga bilang, Life Goes On. Saya sudah menentukan pilihan, mencari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih buat semuanya. Dan, Cranberries pun bakal setuju, enam tahun yang sudah berlalu will Linger to then.

Share:

Friday 10 May 2013

Resensi Buku : Sewindu - Cinta Itu Tentang Waktu


Judul                      : Sewindu, Cinta Itu Tentang Waktu
Penulis                   : Tasaro GK
Halaman                : 382 + x 
Penerbit                 : Metagraf – Tiga Serangkai,  Cetakan I – Solo 2013
ISBN                      : 978-602-9212-78-5
Harga                    : Rp. 82.000,




Akhir bulan lalu saya dicolek seorang teman di jejaring sosial twitter, ada lomba resensi buku terbaru Tasaro yang digelar penerbit Tiga Serangkai. Sebenernya nih, jujur aja saya sudah rindu berat pengen mengkhatamakan seri ke-3 trilogi Muhammad, Para Pengeja Hujan. Rupanya, saya harus lebih bersabar menanti kehadiran buku ketiga itu.  Baiklah, untuk mengobati kerinduan, saya segera meluncur ke toko buku untuk memburu novel Tasaro yang sebagian bukunya menghiasi jajaran buku di rak lemari saya.

Sedikit intermezzo, saya termasuk pembaca yang telat mengenal tulisan-tulisan Tasaro. Saya baru ‘ngeh’ keberadaan Tasaro di awal tahun 2011 saat berbagai blog dan akun di facebook riuh membahas Muhammad Penggenggam Hujan. Beruntung, selang berapa waktu kemudian saya berkesempatan bertemu langsung Tasaro dalam diskusi 3 bukunya di Pameran buku Bandung dalam 3 waktu berbeda. Nah, pengalaman konyol yang enggak bisa saya lupakan saat menghadiri diskusi buku Nibiru dan Ksatria Atlantis. Saat itu moderator diskusi yang juga tim dari Tiga Serangkai yang datang bersama Tasaro menggelar kuis. Saya yang masih ‘lupa-lupa inget’ nama asli Tasaro mengacungkan tangan dan sukses menjawab pertanyaan moderator dengan sedikit ngaco. Waktu itu Saya cuma inget nama depan Tasaro, dan akronim GK. Jadi, waktu itu saya bilang kalo saya Cuma inget Taufik apa gitu, GKnya ya Gunung Kidul, kampung halamannya Tasaro. Sambil ngasal sedikit maksa, saya bilang kalo Ro untuk suku ketiga nama depan Tasaro itu, kalau enggak salah Rohman, gitu, ya?

Bwhahahahaha.... saya masih ingat reaksi moderator saat itu. “Kok jadi kayak ayat-ayat cinta, ya?” candanya. Aiiih, malu deh saya.  Tapi untunglah, waktu itu moderatornya berbaik hati, hadiah buat saya enggak diurungkan. Satu kaos hitam dengan desain Nibiru berhasil saya bawa pulang dan tentunya buku Nibiru milik saya  juga dibubuhi tandatangannya Tasaro. Sejak itu, saya jatuh cinta dengan ramuan kata Tasaro yang sederhana, kadang meliuk, menukik dan ‘nendang’.

Nah, sedikit berbeda dengan buku Tasaro lainnya Muhammad yang beraroma faksi, atau Kinanti tokoh  fiksi, atau petualangan  fiksi fantasi Daca Suli dalam Nibiru, buku teranyar Tasaro ini bertutur perjalanan hidupnya. Sewindu :  Cinta itu Tentang Waktu bertutur perjalanan kisah Tasaro bersama Istrinya mengarungi bahtera rumah tangga. Eh, Autobiografi? Mungkin terlalu singkat untuk menekuri kisah seorang pesohor dalam rentang waktu 8 tahun, ya? Jujur saja, awal pembuka kisah, ada sedikit kebosanan yang menyergap saya. Di mana gregetnya, ya? Perlahan, saya terus membaca cerita Tasaro saat awal-awal tinggal bersama dengan Alit Tuti atau ‘Eneng’ – panggilan Tasaro untuk istrinya. Diksi khas Tasaro yang sederhana tapi sarat makna itu akhirnya berhasil meyakinkan saya, Sewindu-nya Tasaro itu bukan sekedar sharing kisah seorang penulis semata.

Bagian kedua dari buku ini, mulai menggairahkan buat saya. Dengan alur maju mundur dari setiap potongan episodenya, Tasaro bercerita pergulatan Tasaro untuk memperbaiki diri, bermetamorfosa berusaha  menjadi seorang muslim yang lebih baik. Tanpa sungkan-sungkan, Tasaro bertutur usahanya untuk menaklukan lidahnya membaca setiap huruf demi huruf Al Quran yang terasa mbulet, kerap tertukar. Dalam waktu bersamaan kehilangan dua orang yang dicintai (Ummi dan Mih), hingga akhirnya kehadiran buah hati yang meramaikan suasana rumah. Nah, di sinilah, Tasaro mulai membuat dua sudut mata saya mulai basah, menganak sungai. Setelah harus mengalami dua kali keguguran, ‘Neng’ yang kemudian disapa dengan ‘Nda’ akhirnya mengandung putra pertama meski harus menjalani proses operasi Cesar yang bisa membuat wanita manapun meringis ngilu mendengarnya. Tidak mudah mengatasi trauma sakit itu, apalagi sebelumnya Nda juga harus sempat melalui operasi kuret dua kali sebelumnya.

Saat kelahiran putri keduanya, Tasaro memposting tulisannya di akun FB, lebih dari cukup untuk membuat pembacanya meleleh.
Di mana lagi aku temui perempuan semacammu?
Tilawahmu tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar padaku.
Tapi, dimanakah lagi perempuan seikhlasmu?
Wajahmu tak cantik melulu, makananmu pun tidak lezat selalu.
Tapi, katakan kepadaku,  di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu?
...............
(Persembahan buat setiap perempuan, dan ibu yang hatinya semembentang samudra)

O, ya, dua nama dari putra-putri Tasaro, Senandika Himada dan Pairidaeza Pawestri, diambil dari bahasa Persia, mengingatkan saya pada sosok heroik, Atusa  dan Baginda Rasulullah SAW dalam dua logi novel Muhammad. Sepertinya Persia yang eksotik punya tempat yang istimewa buat Tasaro. Seperti yang kita tahu, Himada adalah sebutan lain untuk Muhammad dalam bahasa Persia. Sedangkan Pairidaeza adalah akar dari kata Paradise dan Firdaus yang bermakna surga.

Lembaran berikutnya, Tasaro berbagi masa lalunya yang perih dan tidak seindah anak-anak yang tumbuh dari keluarga yang  tidak lengkap. Tumbuh bersama Ibunda, sosok guru tiga jaman yang gigih menghidupi anak-anaknya, kecintaannya pada buku sudah tersemai sejak di bangku SD. Nah, kabar bagusnya buat saya dan teman-teman lainnya yang merasa  payah dalam soal eksak, Tasaro pun mengalami hal yang sama  (hiyaaa, giliran beginian kok malah girang, ya? hehehe). Mengambil pendidikan jurnalistik setara diploma, perlahan Tasaro menemukan ‘chemistry’ hidupnya yang menghantarkannya pada kelihai-annya mengolah kata, meramu makna dalam setiap bukunya yang kita baca. Mungkin nih ya, kita tidak akan pernah menikmati kisah manusia akhir jaman yang begitu menginspirasi, Muhammad saw atau fantasi yang sangat meng-Indonesia, Nibiru dan luar biasanya Kinanti kalau saja Tasaro memilih jalan lain.

Masa lalu Tasaro yang tidak lurus-lurus saja, seperti halnya gambaran lelaki shalih lainnya seolah mengingatkan kita. Setiap manusia, selama nafas masih terhembus, selama itu juga dia masih punya kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Filosofi ini juga yang kemudian mencairkan kebekuan hubungan antara Tasaro dengan sang Ayahandanya setelah sekian tahun terpisah.

Errrr, dengan banderol Rp. 82.000, sekilas buku ini terkesan mahal, ya? Eh, tapi dengan cover dan lay outnya yang berwarna, harganya sepadan lho dengan yang kita dapatkan. Nah, penasaran, bagaimana sih heroiknya Ummi? Sosok guru tiga jaman, seorang ibu yang luar biasa yang begitu menginspirasi lembaran perjalanan hidup Tasaro? Seistimewa apa sih Nda di mata Tasaro sampai catatannya di Facebook mengundang banyak komentar?  Apa sih, arti dari Senandika dan Pawestri, ya?

 Lalu, seperti apa sahabat-sahabat Tasaro yang berragam latar belakang meluruskan pandangan kalau kesalehan seseorang tidak melulu dari sisi rutinitas ritual to? Bagaimana Mimpi-mimpi Tasaro untuk membentuk wisata buku di tempat tinggalnya,  juga perdamaiannya dengan masa lalu bersama sang Ayah?  Silahkan temukan kisahnya dalam buku ini. Jangan lupakan juga, ciri khas Tasaro dalam meracik setiap pilihan katanya yang sarat makna. Seperti satu quote dari Tasaro sangat mengena, membuat saya merenung arti kebesaran hati, Memaafkan bukan hanya berarti tak mendendam, namun juga menyemai bibit cinta pada sisa-sisa ladang yang dulu porak poranda.
    
Share: