Saturday 22 December 2012

Like a Dessert Miss the Rain

Aku kembali.
Setelah belasan tahun meninggalkan rumah ini. Tunggu sebentar. Aku tidak meninggalkan rumah ini, tapi meninggalkan kota ini.
Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Kecuali satu, pohon yang aku tanam dulu di halaman rumah ini sudah meranggas dimakan kemarau. Ibuku bilang, sudah tiga tahun berlalu langit di sini malu-malu menumpahkan rinainya, rinai yang biasa kita rayakan acapkali kita pulang sekolah.

Hujan, itu kan yang selalu engkau sambut dengan lengkung sumringah di sudut bibirmu itu? Tak peduli seberapa suntuknya hari itu berlalu, kekesalanmu pada guru Fisika nan killer itu seakan luluh, hanyut bersama buliran hujan.

Aku menatap pohon itu. Masih ingatkah kamu?



Waktu itu, tepat di hari ulang tahunku aku hanya terdiam di satu sudut kelas. Sementara teman-teman kita riuh memamerkan tugas pelajaran Biologi membuat cangkokan, aku hanya bisa diam memandang iri. Tugasku gagal.
Mengumpulkan tugas Biologi dalam sehari? Bagaimana caranya memaksa akar-akar itu tumbuh dalam semalam dibalik gumpalan tanah yang kuikat di dahan pohon itu? Aku hanya bisa menangis, pasrah dengan nilai 0 yang akan ku terima untuk tugas itu.

Lalu.....
Esok pagi, sebelum berangkat sekolah tiba-tiba saja kamu sudah muncul di halaman rumahku. Aku menyeret langkai gontai, menyambutmu lalu berjalan beriringan.
“Aku punya hadiah ulang tahun buatmu,” katamu waktu itu./
Aku menoleh dengan senyum dipaksakan, hambar.
“Hadiah apa?” tanyaku malas. Aku mereka-reka bagaimana mimik muka Bu Sulis, guru Biologi kita waktu itu yang tidak kenal kompromi.
Aku baru menyadari sejak bertemu pagi itu, kedua tanganmu itu kamu sembunyikan dibalik punggungmu.
“Coba tebak!”
“Boneka?” tanyaku asal.
“Kamu bukan anak TK lagi kan? Kecuali kamu bersedia mengurangi usiamu sepuluh tahun lagi lebih muda,” santai sekali kamu mengayun langkah. Aku berusaha mempercepat langkah kakiku kalau tidak mau tertahan di pintu gerbang. Tidak masuk pertama sama saja dengan menghadirkan bencana lebih awal.
“Cepatlah, jam pertama hari ini ulangan bahasa Inggris,” aku menarik lenganmu, menyeret langkahmu agar lebih cepat....
“Hati-hati!” pekikmu, tiba-tiba saja bungkusan hitam di tangan kirimu nyaris terjatuh.
Ada lembaran hijau sebesar telapak bayi menyembul dibalim plastik itu.
“Apa itu?”
“Ini tugas Biologimu,” kamu tersenyum sambil menyorongkan bungkusan hitam itu.

Aku bengong. Bagaimana mungkin?
Kamu cuma tersenyum, “anggap saja ini keajaiban kecil,” katamu. “Nah, tersenyumlah.” Bel masuk berbunyi tepat saat kita sampai di sekolah.


***
Lima belas tahun berlalu, sama dengan usia pohon itu. Aku menanam hasil cangkokan itu di halaman sekolah setelah hari itu. Tahukah kamu? Saat meninggalkan kota ini, saat aku harus melanjutkan mimpiku di tempat yang berbeda aku menitipkan pohon itu pada ibuku. Hadiah kecil itu sungguh berasrti bagiku, meski mungkin kamu menganggapnya biasa saja, hanya sebuah pertolongan kecil dari seorang sahabat. Pohon itu tumbuh subur, berbuah ranum dan selalu ku nikmati saat aku pulang kembali ke kota ini.

Hingga kemudian, kamu sempurna menghilang dari kehidupanku. Tidak ada jejak yang tertinggal kecuali nisan yang membisu. Sejak saat itu, bukan saja aku yang kehilanganmu, tapi juga pohon itu, perlahan helai demi helainya luruh, jatuh ke bumi seakan kehilangan dirimu. Sama seperti diriku yang merindukanmu, merindukan bulir-bulir bening yang kerap kita rayakan sepulang sekolah. Aku merindukanmu seperti gurun yang merindukan hujan.

Foto diambil dari FP Vivera Siregar
Share:

3 comments:

  1. Cerita ini... indah banget. siram lagi pohonnya, biar subur dan yang ngasih kadonya disiram kesejukan :)

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.