Monday 24 September 2012

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Judul              : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis            : Tere Liye
Penerbit          : Gramedia
Halaman         : 264 halaman
ISBN               : 978-979-22-5780-9 
Ukuran           : 13,5 x 20cm


Pernah memendam perasaan dengan seseorang yang dekat dan kerap bertemu anda? Apa yang akan anda lakukan jika anda mengalaminya? Menunjukan perasaan itu dengan resiko bertepuk sebelah tangan atau malah dia yang kita sukai juga punya perasaan yang sama?

Cinta itu datang tiba-tiba. Itulah yang dirasakan Tania. Danar hadir bagai malaikat dalam kehidupan Tania. Danar sang pemuda berhati lembut dan berwajah simpatik itu datang  merubah kehidupan Tania dan adiknya Dede dalam sebuah pertemuan yang tak disengaja dalam bis kota - tempat di mana Tania dan Dede mengamen.
Sejak itulah Danar hadir dalam kehidupan Tania. Bagai malaikat, Danarlah yang mengangkat Tania dan Dede pada kehidupan yang lebih baik, bahkan hingga Tania meraih bea siswa di Singapura. Saat Tania merayakan ulang tahun, Danar menghadiahinya sebuah kalung liontin, sebuah hadiah yang membuat Tania ke ge-eran.

Riak-riak cemburu mulai mengusik perasaan Tania saat Danar memperkenalkannya dengan Ratna, kekasih Danar. Tania merasa  “bersaing” dengan Ratna untuk mendapatkan Danar. Anne, sahabat Tania mengajak Tania untuk berfikir logis dan menyadari perbedaan usia yang jauh untuk menerima kehadiran Ratna dalam kehidupan Danar. Sementara Dede malah terlihat acuh tak acuh dengan situasi yang dialami oleh Tania.

Setelah bertahun-tahun “mogok” pulang, Tania akhirnya mau kembali ke Depok, kota kelahirannya. Mencoba menguatkan hati untuk lebih bersahabat dengan Ratna. Namun Tania malah menemukan kenyataan yang mengagetkannya. Kenyataan apakah itu? Apa yang membuat Tania membenci kehadiran Ratna? Mengapa Dede, sang adik terkesan acuh dengan kegamangan yang dirasakan Tania/? Apakah Danar mempunyai perasaan yang sama dengan Tania? Jawabanya bisa anda temukan dalam buku ini.



Seperti biasa, novel Tere Liye selalu sarat dengan haru biru yang menyentuh. Novel ini dikemas dengan alur mundur dengan sudut pandang aku,- di mana Tania berperan sebagai tokoh  utama.. Diksi  khas Tere Liye membuat kita sebagai pembaca turut larut dalam cerita dan tentu saja ending yang sulit ditebak.
Jika kisah-kisah Tere Liye sebelumnya lebih banyak menguras air mata pembaca, tidak demikian halnya dengan buku ini. Bagi saya, sikap misterius Danar  dan masa bodoh yang ditunjukkan oleh Dede lebih membuat saya gemas ketimbang menangis sedih.

Tentu saja dengan sudut pandang aku - jalan cerita akan mengalir dari versi Tania, bagaimana sikap Danar yang tercermin berasal dari penilaian Tania. Mungkin jika sudut pandang dituturkan  dengan sudut pandang orang ketiga, gambaran karakter Danar akan kita dapatkan lebih banyak.

Buku ini seperti juga buku Tere Liye lainnya, selalu  memuat pesan tersirat bagi pembaca, bagaimana berdamai dengan hidup, keyakinan tinggi akan indahnya masa depan dan hati seteguh karang. Seperti yang dikatakan Danar saat menguatkan hati Tania dan Dede. “Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Dia membiarkan  dirinya jatuh begitu saja . Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.”
Share:

Friday 21 September 2012

Seperti Abah


*Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam lomba Flash Fiction di FB, saya repost lagi di sini ya :)* 

“Eh San, kalo Budi poligami gimana?”  tanya Lia tiba-tiba.
“Langkahi dulu mayatku!”  tukas Susan sambil menyuapkan es campurnya.  Wina yang sibuk membaca koran sore mengangkat mukanya .

“Kalau aku,” timpal Wina sambil mencomot gorengan di depannya. “Aku yang bakal langkahin mayat perempuan yang mau jadi istri keduanya Bagus.”

“Gila, sadis bener sih Win?” Tanya Susan.

“Ya iya lah. Kalau langkahi mayatku, aku mati eh mereka merit dong?” Wina segera menutup wajahnya dengan koran sorenya itu, jadi tameng dari serangan pop corn. Asri termenung mendengar kicauan gokil teman-temannya. Tentu saja mereka tidak akan sesadis itu. Dua minggu lalu Arif mengajaknya berkomitmen. Jujur, Asri tidak mengkhawatirkan tampang Arif yang biasa saja. Dibanding suami-suami temannya yang sedang bercanda ini, Arif kalah gantengnya. Tapi dengan sikap Arif yang simpatik, pintar  dan ringan tangan, siapa sih yang gak kan dibuat ngelepek?


Share:

Wednesday 19 September 2012

The Brain Charger : Misteri Dibalik Pembunuhan Orang-orang Pintar


Judul             
:
The Brain Charger
Penulis           
:
Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
Penerbit         
:
Salsabila, 2012
Halaman        
:
298 Halaman
ISBN              
:
9786029854398
Ukuran          
:
  14.5 x 21.5 cm


Apa yang terlintas di benak kita saat mendengar atau membaca berita kasus pembunuhan dengan mutilasi? Motif balas dendamkah? Apakah pembunuhnya mengidap kelainan jiwa?
Aroma misteri dapat kita rasakan dari sampul novel The Brain Charger buah karya Muhammd Pizaro Novel Tauhidi ini. Korban pertama adalah Intan Keumala Dewi,mahasiswa beprestasi jurusan Psikologi Universitas Islam Bangsa (UIB) ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan. Tangan, kaki dan beberapa bagian tubuhnya menghilang. Kepalanya yang terpisah dicukur botak oleh si pelaku. Belum selesai polisi menelusuri motif pembunuhan sadis ini, warga kampus digegerkan kembali dengan penemuan mayat Ghefira, mahasiswi jurusn Fakultas Sains dan Teknologi yang juga berprestasi. Sama dengan kasus sebelumnya, kondisi Ghefira ditemukan dalam kondisi mengenaskan,kaki kiri, tumit dan beberapa jari Gherfira juga menghilang.

Rizki, seorang mahasiswa semester VII Fakultas Dakwah UIB tertantang untuk menelusuri latar misteri dibalik pembunuhan ini. Selain menguak kasus pembunuhan berantai, ia juga tertantang untuk membuktikan ledekan Annisatu Lexa Meteorika  (Anna)seorang mahasiswi berprestasisemester VII, yang juga menjadi asisten dosen Psikologi di Fakultas Dakwah.
Anna, sangat terobsesi dengan ilmu pengetahuan terutama sains dan psikologi. Demi kecintaannya itu ia menyewa ruangan khusus untuk menyimpan ribuan koleksi buku-bukunya.  
Dalam kuliahnya, Anna kerap menantang Rizki dan kawan-kawannya untuk membutikan keberadaaan Tuhan. “Keberadaan sains adalah pasti,karena ilmu nyata.Sedangkan kebenaran Tuhan masih diperdebatkan.Karena Tuhan tidak nyata,” ucap Anna.
Ditengah-tengah pergulatan Rizki dan kawan-kawannya menjawab tantangan Anna, ia dititipi Arisiska (Upik) yang akan melanjutkan kuliah di UIB.Arisiska adik dari Herman,teman sebangkunya saat SMP. Meski kehadiran Arisiska menambah tanggung jawab Rizki untuk menjaga keselamatannya, Rizki sangat terbantu dengan analisa cerdas dari Arisiska untuk menguak tabir pembunuhan berantai ini.
Pizaro, penulis novel ini tidak melulu mengajak kita berkutat dengan teka-teki misteri pembunuhan sadis ini. . Dengan tema utama psikologi, alur cerita diracik dengan bumbu simbologi dan mistisme. 
Penulis juga mengurai teori-teori piskologi yang disusung oleh Sigmund Freud dan Fredrich Nietzsche dalam beberapa diskusi antara Anna dengan mahasiswa dalam kuliahnya, dengan lugas dan mengalir. Beberapa kelainan jiwa juga dibahas dalam buku ini dengan contoh yang mudah dimengerti pembaca.
Apakah yang menjadi motif pembunuhan sadis ini? Lalu apa hubungan simbol kuno yang ditemukan dalam salah satu tubuh korban? Akankah Rizki dan Upik berhasil menguak tabir misteri ini? Sanggupkah Rizki mencegah jatuhnya korban berikutnya? Siapakah Rosa gadis berkerudung dengan ekspresi datar yang dikenal Upik? Bisakah Rizki menjawab tantangan Anna untuk menbuktikan keberadaan Tuhan sekaligus menyadarkan Anna?
Latar belakang penulis sebagai redaktur Eramuslim membuat novel ini sarat dengan nuansa religi yang apik. Hal ini bisa kita lihat dalam dialog Rizki dengan teman-temannya dalam Forum Sains Islam. Rizki juga begitu gigih untuk menghidupkan kembali peradaban Islam yang dimulai dari kampusnya.
Sayangnya novel ini terasa kurang mencekam jika melihat tebalnya yang hanya 298 halaman saja. Dengan jumlah halaman yang lebih banyak,konflik yang tercipta dalam novel akan terasa lebih tajam dan menarik.
 Di sisi lain penulis berhasil menyampaikan kritikannya yang tajam terhadap kondisi pergeseran idealisme sekuler yang menjangkit banyak kampus-kampus terutama kampus Islam
Dialog antara Rizki dan Upik, panggilan Arisiska tentang simbol-simbol kuno mengingatkan kita dengan Dan Brown yang melejit lewat novel dan film Davinci Code. Menarik sekali, Sudamanda salah satu permainan rakyat yang sudah berumur ratusan tahun ternyata sarat dengan pesan mistis kuno. Bahkan beberapa pusaka budaya  kuno tanah air juga terungkap keberadaannya yang sudah tidak ada lagi di tanah air.
Bagi anda yang menyukai novel berlatar misteri, psikologi atau bahkan keduanya novel ini layak untuk memenuhi koleksi bacaan anda.


























Share:

Tuesday 4 September 2012

Surat Kecil Untuk Tuhan

Judul              :  Surat Kecil Untuk Tuhan
Penulis            : Agnes Davonar
Penerbit          : Inandra Publisher 2011
Halaman         : 228 Halaman + X
ISBN               :  978-979-18346-3-6
Ukuran           :  13 x 19 cm 



Apa yang terbayang di kepala kita jika orang yang kita sayangi atau malah kita sendiri divonis usia kita tinggal menghitung hari?
Sedih,marah, atau frustasi? Apakah kita kan terus menghitung detik yang tersisa sambil terus merajut masa depan?Ataukah hanya diam pasrah menanti sang malaikat maut datang menghampiri?

Kisah sejati Keke, panggilan dari Gita Sesa Wanda Cantika,   berhasil menginspirasi banyak orang. Kisahnya yang ditulis oleh blogger muda Agnes  Danovar dicetak hingga menembus angka 30.000 lembar eksemplar dan dicetak ulang belasan kali.

Meski ia harus terpisah dari ibunya yang sudah bercerai, Kehidupan Keke bersama ayah dan kedua kakaknya Chika dan Kiki berjalan sempurna, selalu bahagia, nyaris tanpa cela. Hingga suatu ketika, saat  Keke bermain voli bersama teman-temannya,ia merasa pusing dan mengalami mimisan.

Kondisi fisik Keke yang tidak menunjukkan pe
rbaikan, hingga membuat ayahnya membawa Keke berobat ke dokter. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukkan kanker jaringan lunak (Rabdomiosarkoma) bersarang di wajah Keke - yang menyebabkan wajahnya mengalami pembengkakan sebesar bola tenis.

Joddy, ayah Keke tidak tega membayangkan Keke harus menjalani operasi untuk mengangkat benjolan itu. Ia berusaha keras mencari alternatif lain selain operari. Keke dan ayahnya menjajal pengobatan  tradisional ke berbagai kota.

Sebuah infromasi berharga didapatkan Pak Joddy hingga membawa keduanya bertemu dengan Profesor Mukhlis. Keajaiban mulai muncul dan menerbitkan harapan kesembuhan. Keberhasilan Keke melawan penyakit kankernya itu, mengundang decak kagum dunia medis, hingga kasusnya diangkat dalam berbagai seminar nasional dan internasional.

Tak dinyana, kanker yang dikira sudah sembuh itu kembali muncul dan menyerang lebih ganas dari sebelumnya. Keajaiban yang semula diharapkan terjadi tak kunjung tiba. Sadar usianya tidak akan lama lagi, Keke bertekad untuk meninggalkan kenangan terindah untuk orang-orang yang dicintainya.

Selain mengangkat perjuangan Keke melawan penyakitnya, Agnes dan Davonar juga menceritakan kisah persahabatan Keke dengan teman-temannya, rivalitas gank teman sekelas yang berujung islah diantara kubunya Keke dan Angel, dan tentu saja kekasihnya Andi yang setia menanti kesembuhan Keke.

Agnes Davonar berhasil membuat pembaca buku ini mengharu biru, membaca kisah Keke yang dikemas dengan gaya diary ala anak SMP. Dialog yang tercipta antara Keke dan sahabat dan keluarganya pun khas ala ABG. Meski tidak ditulis dengan ejaan yang alay, ada beberapa penulisan yang terasa menganggu. Misalnya saja penulisan udah ditulis dengan uda. Tentu saja bukan homograf dengan panggilan abang  saudra tua dari Minang ya. Di bagian lain,  ada juga penulisan istilah bioksi yang merujuk pada proses pengangkatan contoh jaringan kanker di wajah Keke. Saya mencoba googling untuk mecari tahu pengertian tersebut dan tidak menemukan kecuali biopsi. Dalam beberapa bagian, penulisan partikel "Nya" yang merujuk sebagai kata ganti ketiga untuk Tuhan juga ditulis "nya", bukan "Nya".

Entah bagaimana dengan edisi perdana  buku ini. Embel-embel karikatur dari produk sponsor film dengan judul yang sama terasa menganggu sekali. Well, mungkin sponsor tidak mau rugi ya kalau tidak disediakan space khusus di buku ini.

Terlepas dari beberapa kekurangan buku ini,kisah sejati Keke melawan kankery ang dideritanya patut diacungi jempol.Seperti yang ditulis dalam buku ini, Pesan moral dari buku adalah untuk tidak menilai sesuatu dari tampilan luarnya saja.

“Di mata Tuhan, manusia cantik dari dalam hatinya, bukan dari rupanya. Kecantikan itu tidak abadi, pada akhirnya kita tidak akan meninggalkan apapun ketika kita menghadap-Nya.
Share: