Tuesday 28 February 2012

Rp. 1000, Bis Ekonomi dan Tombo Ati

Kalo kamu tinggal di Bandung pasti pernah naik bis DAMRI. Ah bukan Bandung saja, di kota lain pasti ada, dan Jakarta dengan puluhan atau ratusan kopajanya, pasti lebih banyak lagi ya. Baiklah, kita ngomongin yang di Bandunng saja ya.

Bis ekonomi yang tarifnya cuma Rp.2000 dengan karakter khasnya, belum beranngkat kalo belum penuh, atau memang kita harus ikhas membayar tarif yang sama padahal dapet kelas 'festival'. Bandingkan dengnan Bis patas yang tarifnya Rp. 3.000, bedanya cuma seribu perak saja. Tapi dapet tempat duduk yang nyaman, ac yang adem dan kadang-kadang dapet previlage hiburan musik. Kalau beruntung, bisa dapetin supir yang muterin lagunya enak didenger. Udah gitu bis PATAS yang satu ini biasanya ga pake lama kalau berangkat, daan......... setiap berhenti ga ada pedagang yang masuk nawarin jualan atau pengamen yang entah suaranya merdu, pas-pasan sampe falsnya minta ampun menggelar konser mininya dalam lorong bis yang miri gang senggol. Paling banter pedagang yang berani masuk ke bis ekonomi ini pas di shetler pertama sebelum berangkat. Selain itu ga ada yang berani numpang jualan termasuk jualan suara.



Nah, bandingkan dengan bis ekonomi tadi, nyaris setiap shelter yang kita lalui selalu saja ada yang 'mampir'. Mulai dari jualan permen, plester, koran, kacang-kacangan, yang ngamen sampe kelompok pengamen jualan yang menggalang dana untuk rumah yatim piatu.


Sepintas rasanya kita lebih memilih membayar Rp. 3.000 buat mendapatkan fasilitas nyaman bis Patas ya tanpa merasa terganggu dengan intermezzo. Tapi, coba pikirin dan coba sekali-kali sedikit 'ngirit' membayar bis ekonomi Rp. 2.000 perak dengan segala keriuhannya itu.
Selisih  Rp. 1.000 ternyata bisa bisa jadi vitamin hati lho.  Dengan selisih Rp. 1.000 itu bisa kita sisihkan buat sepasang penngamen tuna netra yang tidak merasa sungkan menyanyi. Dengan Rp. 1.000 kita bisa dapet resep baru dari penjual tabloid edisi minggu kemarin yang sudah digunting halaman depannya. Dengan Rp.1.000 kita bisa melukis senyum penjual amplop yang entah siapa membutuhkannya dalam frekuensi yang sering. Dengan seribu pula kita bisa membeli jarum pentul yang sering hilang ga jelas. Sering kan mengalami persediaan jarum pentul yang entah kenapa sudah kita usahakan seapik mungkin menyimpan tetap saja berkurang dan perlahan menguap entah kemana. Ya ga setajam dan sebagus jarum pentul yang bisa kita dapatkan di toko dengan harga lebih mahal dan kualitas lebih bagus pastinya.

Ah niatkan saja buat sedekah meski kita ga butuh.


Penjual koran, kacang goreng, plester, permen, pengamen, penjual amplop, sampai penjual minuman kemasan... buat mereka selembar seribu yang kita sodorkan akan terasa  begitu berarti. Cobalah sekali-kali rela berdesak-desakan dalam kelas festival angkutan masal. Selain mengurangi kepadatan lalu lintas, naik bis kota seperti ini mestinya membuat kita bersyukur. Betapa banyaknya mereka yang rela menantang maut dengan meloncat dari satu bis ke bis lain, berpeluh keringat, basah disiram hhujan atau disengat panas matahari demi mengumpulkan lembaran-lembaran rupiah. Dan.......... jauh di satu sudut kota atau maah di luar kota satu-dua orang anak merajuk mengiba pada ibunya, berucap lirih, "Bu.... lapar!


Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.