Siang tadi aku, mama, kakak dan adik (wah udah kaya kijang aja nih) membenahi rumah. Mulai dari kamar Ayah -menyusun kembali buku-buku di lemari setelah ada sedikit perubahan posisi - debu-debu yang lumayan banyak membuat aku bersin melulu sejak siang tadi.
Paru-parunya ga bagus, komentar Mama dan Dian.
Ya, polusi kota, jarang olahraga, minum air yang kurang plus 'terpaksa' terpapar asap rokok yang ga aku harapkan.
Aku teringat kejadian beberapa hari lalu ketika dalam perjalanan bis menjumpai seorang 'penceramah'. Beda dengan mereka yang menjajakan koran, alat tulis, makanan dan para pengamen yang mencoba mengais rejekinya, dia menyapa penumpang bis kota dengan ceramah sederhananya yang mengena.
Ditengah lamunanku, aku mencoba mengikuti uraiannya. Syukurilah nikmat yang kita dapat katanya. Karena masih banyak orang yang ga seberuntung kita. Kita masih bisa berbicara atau asyik hanyut dalam lamunan dengan nikmat ketika tubuh kita sehat. Lain ceritanya ketika sakit gigi menyerang, melamun saja rasanya tidak nyaman.
Coba lah lihat ke bawah, di pinggiran jalan, masih banyak yang harus berjuang menjalani hidup. Bayangkan ketika kita asyik terlelap tidur, ada banyak orang yang harus cukup tidur beralaskan koran, beratap langit,berselimut debu. Lihat lah ke bawah, masih banyak nikmat yang kita dapat tapi tidak didapat orang lain ujarnya.
Ah, ceramah yang sederhana tapi membuat aku jadi merenung. Sering sekali aku sibuk mikirin keinginan-keinginan yang belum kesampaian tapi malah melupakan nikmatNya. Termasuk nikmatnya sehat. Aku cuek aja ketika merasakan
tidak ada masalah dengan hidung. Bersin-bersin hari ini yang cukup menyiksa membuat aku sadar betapa berharganya nikmat sehat yang Allah berikan. Itu baru hidung, lalu bagaimana dengan nikmatnya mata,alis,hidung,lidah,detak jantung 24 jam,telinga,paru-paru,pencernaan,tangan,kaki,Orang tua yang menyayangi, ilmu/pengetahuan yang aku dapat, akses informasi yang mudah,penghasilan yang aku rasa masih saja kurang sementara orang lain masih banyak yang tidak seberuntung aku.
Ya, soal nikmat kita mestinya melihat ke bawah, membuat kita bersyukur pada Allah pelindung kita terbaik, bukannya mengeluh meratapi hal yang tidak/belum kita dapatkan. NikmatMU manakah yang aku dustakan?
Ampuni aku ya Allah. Hasbunallah wani'man wakiil ni'man maula wani'man nasyir.
Paru-parunya ga bagus, komentar Mama dan Dian.
Ya, polusi kota, jarang olahraga, minum air yang kurang plus 'terpaksa' terpapar asap rokok yang ga aku harapkan.
Aku teringat kejadian beberapa hari lalu ketika dalam perjalanan bis menjumpai seorang 'penceramah'. Beda dengan mereka yang menjajakan koran, alat tulis, makanan dan para pengamen yang mencoba mengais rejekinya, dia menyapa penumpang bis kota dengan ceramah sederhananya yang mengena.
Ditengah lamunanku, aku mencoba mengikuti uraiannya. Syukurilah nikmat yang kita dapat katanya. Karena masih banyak orang yang ga seberuntung kita. Kita masih bisa berbicara atau asyik hanyut dalam lamunan dengan nikmat ketika tubuh kita sehat. Lain ceritanya ketika sakit gigi menyerang, melamun saja rasanya tidak nyaman.
Coba lah lihat ke bawah, di pinggiran jalan, masih banyak yang harus berjuang menjalani hidup. Bayangkan ketika kita asyik terlelap tidur, ada banyak orang yang harus cukup tidur beralaskan koran, beratap langit,berselimut debu. Lihat lah ke bawah, masih banyak nikmat yang kita dapat tapi tidak didapat orang lain ujarnya.
Ah, ceramah yang sederhana tapi membuat aku jadi merenung. Sering sekali aku sibuk mikirin keinginan-keinginan yang belum kesampaian tapi malah melupakan nikmatNya. Termasuk nikmatnya sehat. Aku cuek aja ketika merasakan
tidak ada masalah dengan hidung. Bersin-bersin hari ini yang cukup menyiksa membuat aku sadar betapa berharganya nikmat sehat yang Allah berikan. Itu baru hidung, lalu bagaimana dengan nikmatnya mata,alis,hidung,lidah,detak jantung 24 jam,telinga,paru-paru,pencernaan,tangan,kaki,Orang tua yang menyayangi, ilmu/pengetahuan yang aku dapat, akses informasi yang mudah,penghasilan yang aku rasa masih saja kurang sementara orang lain masih banyak yang tidak seberuntung aku.
Ya, soal nikmat kita mestinya melihat ke bawah, membuat kita bersyukur pada Allah pelindung kita terbaik, bukannya mengeluh meratapi hal yang tidak/belum kita dapatkan. NikmatMU manakah yang aku dustakan?
Ampuni aku ya Allah. Hasbunallah wani'man wakiil ni'man maula wani'man nasyir.