Friday, 11 January 2013

Habibie Ainun the Movie

Habibie Ainun? Siapa yang tidak terbius dengan film ini? Pertama kali lihat baliho film ini di awal Desember di halaman SMA 2 Bandung, jalan Cihampelas.

Dalam hati, aku langsung niat buat nonton film ini. Begitu film ini rilis di akhir Desember, peminatnya luar biasa, antriannya mengular. Bayangkan, buat nonton film yang tayang jam 15 saja harus rela mengantri sejak jam 12. Saya putuskan menunda sampai antriannya sedikit mereda, dan baru hari ini kesampaian. Antriannya sudah lumayan ga seheboh hari-hari sebelumnya  hehehe.

Nah, Film ini dimulai ketika seorang guru yang kesal karena tidak ada yang bisa menjawab dengan benar hingga akhirnya beliau mencari Ainun. Ainun yang cantik dan cerdas lalu menjawab pertanyaan guru, mengapa langit berwarna biru? Dengan cerdas, Ainun lalu menjawab seperti ini :

"Cahaya dan warna adalah gelombang. Masing-masing warna menyerap dan memantulkan panjang gelombang tertentu. Ada yang gelombang panjang dan ada yang gelombang pendek. Atmosfer langit bumi menghamburkan panjang gelombang pendek. Warna biru adalah gelombang pendek dalam spektrum cahaya. Oleh karena itu, langit akan tampak berwarna biru"
Share:

Wednesday, 9 January 2013

Seribu Langkah

Bukan mau sok-sok an sih. Pagi ini "terpaksa" aku jalan kaki, setengah perjalan ke sekolah. Nanggung banget kan? Bukan dalam rangka "ngirit" hehehe.... (asli keterlaluan kalo ngirit seribu perak mah) atau dalam rangka latihan casting iklan susu yang dibintangi Indy Barens.





Gara-garanya sih lupa ga bawa dompet. Pagi tadi dengan santainya melenggang pergi ke sekolah, lupa ga nge-cek bawaan. Malah yang dicek itu HP. Aman. Maka segeralah melesat menuju sekolah. Nah, begitu sampai di jalan Bojong, mulai ga enak feeling. Kayaknya ada yang kelupaan deh. Saat itu juga aku langsung buka tas, ngudek-ngudek isinya.

Glek! Aku langsung nelan ludah, bener aja, dompet ga ada di tas. Coba rogoh saku baju, cuma ada 500 perak aja. Mana bisa bayar angkot yang udah jalan jalan 5 menit itu? Maka dengan menegarkan hati berbalut muka innocent, di tikungan dekat bimbel GO aku segera berteriak "kiri, pak!"

Bismillah.
Begitu turun, langsung minta maaf sama sopir angkot, "Duh pak, maaf dompetnya ketinggalan,..."
Hening satu detik, dua detik.
Raut sopir angkot mulai mendung, bete. Mungkin dalam hatinya dongkol pengen ngomel, "kalau ga punya duit jangan naik angkot dong!"
Akhirnya angkot yang baru aku tumpangi itu berlalu. Duh.... maaf, ga sengaja. 

Aku segera nyebrang, sambil menatap ke depan. Lumayan, 1 km kurang lebih jarak ke rumah. Sementara jam sudah menunjukan jam 08.30an. Dengan langkah ngagidig alias cepat-cepat aku meneruskan langkah 'mundur' (maksudnya balik ke rumah).  Baru 5 menit berjalan, sebuah motor menepi. Entah tukang ojeg yang lagi cari penumpang atau yang sok akrab, pegemudinya yang ternyata laki-laki itu (emang ada tukang ojeg perempuan?) menyapa....

"Mau ke cijerah ya?"

Eh, sotoy ya? Sekilas saya perhatiin. Tukang ojeg? Ga ada atribut yang khas biasanya dipake tukang ojeg. Kenal? enggak juga? Ganteng? enggak juga (hussss ah :D) Aku menggeleng. Beberapa menit lagi juga sampai, lagian kalau ga kepaksa saya ogah dibonceng laki-laki, apalagi enggak kenal-kenal amat (sampai sekarang kayaknya enggak punay teman yang namanya Amat).

Syukurlah pengemudi tadi ga keukeuh maksa (yeeeh siapa situ ya?). Aku melanjutkan langkah dan akhirnya sampai juga di rumah. Bener aja, dompet saya masih nongkrong dengan manisnya di lemari menunggu pemiliknya menjemput.

Fiuuh... aku segera mengambil dan kembali menuju sekolah. 
Begini deh kalau ga disiapkan dari awal, jadi harus berolahraga pagi-pagi. Hehehehe... jarang-jarang ya? Kalau dihitung-hitung ada deh kayaknya seribu langkah. Mengulang lagi besok lusa? Ah, sepertinya enggak mau deh.


Share:

Tuesday, 8 January 2013

Dear Frankie - Kerinduan pada Ayah

Beberapa waktu lalu aku dikasih pinjem film Dear Frankie (asli lho, bukan bajakan. emang kebo? hus ah :D)
Nah, pas liburan kemarin baru sempat liat film ini. Well, film drama yang menyentuh.Sudah lama dibuat, sekitar tahun 2005an lah. Nah, aku ceritakan di sini ya. Mudah-mudahan bakal diputar di salah satu stasiun tv (eh sudah pernah belum ya? :)


Film ini mengambil latar di Inggris, menceritakan seorang anak berusia 9 tahun bernama Frankie Morisson (Jack McElhone). Frankie yang mempunyai kelainan tunarungu tinggal bersama ibunya, Lizzie (Emily Mortimer) - seorang single mother yang selalu menghindari Davey mantan suaminya yang temperamen - dan neneknya, Nell. 

Lizzie selalu berpindah-pindah dari satu ke tempat lain demi menyembunyikan keberadaan putranya, Frankie dari Davey. Lizzie juga menggunting wajah Davey dari foto pernikahannya. 
Hingga satu waktu, Lizzie bertemu dengan Marie (Sharon Small). Marie bukan saja memberi Lizzie pekerjaan di cafe miliknya, tapi juga jadi sahabat dekat Lizzie dan Nell. 

Sementara itu, meski menyembunyikan jati diri ayahnya, Lizzie dengan caranya sendiri membuka korespondensi dengan Frankie dengan berpura-pura menjadi ayahnya. Dalam suratnya, Lizzie yang menyamar sebagai Davey mengaku bekerja di kapal ACCRA, menceritakan perjalanan kapal itu dalam setiap pelabuhannya. Selama masa itu Frankie yang tumbuh menjadi anak cerdas dan percaya diri itu sangat terpesona dengan kisah-kisah perjalan Davey.
 Di sekolahnya, Frankie kerap mendapat olok-olok dari teman sebangkunya, Ricky Monroe (Sean Brown). Alih-alih memusingkan ulah temannya itu, Frankie menikmati persahabatannya dengan seorang gadis cantik Catriona (Jayd Johnson).
Share:

Friday, 4 January 2013

Surat Cinta untuk (calon) suami


Hujan deras diluar sana. Dari laptop yang sedang kutatap sekarang mengalun It Might be You-nya Steven B Shop. Ah, ya tiba-tiba saja aku teringat kamu.

Seperti slide film, potongan kenangan saat awal kita bertemu kembali membenak di kepalaku. Apakah kamu masih ingat? Susah payah aku memalingkan wajah, menenangkan hati yang bergemuruh. Aku  malu, rikuh, berbaur senang. Tiba-tiba saja jingle iklan lawas sebuah varian es krim berdengung di benakku. Something telling me it might be you... All of my love...

Eh tapi kamu jangan geer ya! Aku tidak membayangkan kita sedang berdansa seperti yang dilakukan bintang iklan es krim yang meminjam lagu ini jadi tagline-nya. Enggak boleh, bukan muhrimnya, belum saatnya.
Kamu menghitung tidak, berapa lama lagi waktu tersisa yang kita punya? Kurang dari sebulan ya? Cepat sekali waktu berlari, menyeret langkah kita. Tiba-tiba saja dua puluh empat jam sehari terasa kurang. Kurang sekali untuk menyiapkan remeh temeh untuk episode baru dalam kehidupan kita. Entah, seperti apa ya?
Share:

Saturday, 22 December 2012

Kinanthi - Terlahir Kembali

Judul : Kinanthi - Terlahir Kembali
Penulis : Tasaro GK
Halaman : 44 halaman
Penerbit : Bentang
Cetakan : November – 2012
ISBN :978-602-8811-90-3
Harga : Rp. 64.000,00

Bebicara tentang TKW yang membenak di kepala kita adalah kebanyakan wanita muda yang bekerja sebagai (maaf) pembantu di negeri arab sana, dengan bekal skill pas-pasan, mendapat manjikan yang bengis dan nyaris terbunuh atau berakhir dengan hukuman mati lalu kembali ke tanah air tinggal nama, atau paling tidak membawa “oleh-oleh” luka dan lebam di sana-sini.

Pernah terbayang, bagaimana satu-dua dari mereka bisa lolos dari 'neraka' negeri gurun itu dan menemukan kehidupan yang lebih baik, lalu berubah menjadi seseorang yang jauh berbeda? Lebih baik dalam ekonomi, tentu saja. Dalam kisah nyata, rasanya mustahil, ya? Tapi setidaknya kita akan menemukan kisah itu dalam novel Kinanthi : Terlahir Kembali yang ditulis oleh Tasaro GK.
Novel Kinanthi : Terlahir Kembali ini bukan merupakan lanjutan dari novel Galaksi Kinanthi yang ditulis oleh penulis yang sama. Meski demikian, Novel Kinanthi ini adalah penyempurnaan dari buku sebelumnya dengan penambahan di beberapa bagian, tanpa merubah inti cerita.

Dalam novel ini dikisahkan Kinanthi yang kelahirannya seolah tidak diharapkan. Perlakuan ibu kandung yang dingin ditambah status sosial ayah kandungnya yang dicap buruk, membuat Kinanthi seorang gadis desa dikucilkan oleh masyarakat di dusun tempatnya tinggal, kecuali Ajuj yang berbaik hati mau bersahabat dengannya. Bukan cuma bersahabat, Ajuj juga yang selalu menolong Kinanthi dari perlakuan warga dusun yang tidak mengenakan, bahkan Ajuj pula yang menangis saat harus berpisah dengan Kinanthi demi lima puluh kilogram beras sebagai penukar yang diterima oleh ayah Kinanthi.


Kehidupan Kinanthi di tempat tinggalnya yang baru ternyata tidak lebih baik. Ia mendapati sahabatnya meninggal ditambah kematian kakak kelasnya membuat Kinanthi semakin tertutup. Kinanthi juga harus tabah menerima kenyataan ketika usianya dimanipulasi agar bisa dikirim sebagai TKW ke arab. Tiba di Arab, lagi-lagi Kinanthi mendapat kenyataan hidup yang tidak bersahabat. Berganti-ganti Kinanthi mendapat perlakuan majikan yang kejam dan melecehkannya, akhirnya Kinanthi berhasil mendapat pertolongan dari Miranda, seorang warga negara Indonesia yang bekerja sebagai penerjemah di sebuah pengadilan di Amerika Serikat.

Perlahan, Kinanthi mulai mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kinanthi diadopsi oleh Asma, seorang warga keturunan India. Bersama Asma, Kinanthi mendapat kehidupan yang lebih baik, pendidikan yang menjanjikan masa depan yang sempat terendap. Kinanthi berhasil mendapat pendidikan yang tinggi hingga S-3, mengantarkannya pada puncak karir yang cemerlang, menjadi pembicara di berbagai seminar, buku-buku kedokteran yang ditulisnya bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia dan tentu saja materi yang berlimpah.

Meski hampir semua sudah direngkuhnya, Kinanthi tetap merasakan kekosongan. Bayangan Ajuj, sahabat masa kecilnya tidak mudah dilupakan begitu saja. Lebih dari seratus surat yang ditulis Kinanthi untuk Ajuj sejak ia tinggal di Bandung tidak pernah mendapatkan satupun balasan. Kinanthi hanya bisa menatap galaksi cinta, gugusan gelap dibawah rasi Gubuk Penceng atau rasi Crux yang selalu diceritakan Ajuj, menjadi penawar rindunya. Kinanthi selalu mengingat ucapan Ajuj, “Nanti, kalau kita tidak bersama lagi, terus kamu mau cari aku, kamu lihat aja ke langit sana Thi, cari Gubuk Penceng. Dibawahnya ada galaksi yang tidak terlihat. Namanya galaksi cinta. Aku ada disitu.”

Membaca novel Kinanthi ini, rasanya seperti membaca novel terjemahan. Novel yang kaya dengan berbagai disiplin ilmu. Tasaro dengan lincah mengajak kita berkelana, mulai dari menyusuri dusun di kaki Gunung Kidul yang terbelakang dengan kultur masyarakatnya yang kental dengan ritual kejawen, lalu bergeser ke Bandung yang sejuk, lalu melompat ke panasnya udara yang membekap jazirah arab hingga terdampar ke Amerika yang masyarakatnya yang multi etnis dan modern.

Dengan judul setiap babnya yang mengadopsi nama rasi bintang, novel Kinanthi bukan cuma bertutur tentang hak wanita di Indonesia dan berbagai negara lainnya. Prosedur hukum yang berbeda antara Arab dan Amerika, perbedaan ber-aqidah dalam menjalankan kehidupan beragama di kalangan masyarakat jawa yang masih lugu, pandangan beragama yang sekuler , hingga kenekatan Asma mengimami shalat di gereja dengan imam wanita mengingatkan kita pada sosok Aminah Wadud yang kontroversial dengan ulahnya itu.

Kinanthi juga mengajak kita mengelilingi beberapa sudut kota di AS, menjelejahi Great Plains yang membentang dari Missisipi hingga Rocky Mountain. Seperti dalam novel Tasaro lainnya, Muhammad 2 : Para Pengeja Hujan, eksotisme Tibet kembali diangkat oleh Tasaro dalam novel ini. Ini bisa kita simak dalam diskusi hangat antara Kinanthi dengan Zaxhi, seorang editor yang juga sahabatnya, tentang poliandri. Pendeknya, novel ini bukan melulu berbicara tentang romantisme kerinduan dua sahabat yang terpisah hampir dua puluh tahun. Latar Belakang Penulis yang pernah berkecimpung dalam dunia penerbitan membuat kita sebagai pembaca juga sedikitnya mengetahui bagaimana proses sebuah buku layak untuk diterbitkan.

Bagaimana pergulatan Kinanthi mendamaikan hatinya yang didera perasaan nelangsanya? Karena suatu saat, mencintai adalah memutar hati tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus terus dijalani.
Nah, apakah Kinanthi berhasil menemukan kembali Ajuj? Mengapa tidak satupun surat-surat Kinanthi tidak dibalas oleh Ajuj, dan bagaimana perasaan Ajuj sesungguhnya setelah berpisah dengan Kinanthi? Baca saja novel yang kaya gizi ini.Saya jamin. :)
Share:

Like a Dessert Miss the Rain

Aku kembali.
Setelah belasan tahun meninggalkan rumah ini. Tunggu sebentar. Aku tidak meninggalkan rumah ini, tapi meninggalkan kota ini.
Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Kecuali satu, pohon yang aku tanam dulu di halaman rumah ini sudah meranggas dimakan kemarau. Ibuku bilang, sudah tiga tahun berlalu langit di sini malu-malu menumpahkan rinainya, rinai yang biasa kita rayakan acapkali kita pulang sekolah.

Hujan, itu kan yang selalu engkau sambut dengan lengkung sumringah di sudut bibirmu itu? Tak peduli seberapa suntuknya hari itu berlalu, kekesalanmu pada guru Fisika nan killer itu seakan luluh, hanyut bersama buliran hujan.

Aku menatap pohon itu. Masih ingatkah kamu?

Share:

Monday, 17 December 2012

Judul                :  La Taias for Akhwat :  Muslimat, Tersenyumlah!
Penulis             :  Honey Miftahuljannah
Dimensi              :  13,5 x 20 cm
 Tebal                :  192 halaman
ISBN                :  978-979-22-8967-1
Penerbit            :  Penerbit Kalil (Imprint PT. Gramedia Pustaka Utama), Jakarta
Cetakan            :  I, Jakarta 2012
Harga               :  Rp. 45.000,00


Fhay menatap nanar sosok yang berlalu. Sosok yang membuat suasana hatinya tidak karuan selama megikuti ‘pesantren cinta’. Getar-getar cinta, kekalutan dan ketakutan berbaur dalam ruang hatinya. Fhay tidak pernah  meminta rasa cinta itu hadir, hingga reaksi sinis dari sekelilingnya membuat Fhay semakin galau.
Fhay beruntung mempunyai sahabat-sahabat yang saling menguatkan dan seorang kakak mentor yang membantu menenangkan kekalutannya hingga Fhay rela melepas rasa cinta yang belum saatnya hadir itu.

Itu adalah sepenggal dari sekian kisah yang diangkat dalam buku La Taias For Akhwat : Muslimat,Tersenyumlah yang ditulis oleh Honey Miftahuljannah.

Dengan cover pink yang  eye catching,  buku ini mengulas kumpulan kisah para akhwat yang berbagi sisi lain kisah hidupnya. Buku ini dibagi dalam enam bab :  Ya, Kamu Spesial, Ketika Aku Berjilbab, Sampaikanlah Walupun Satu Ayat dan Cinta , bertasbihlah, Girls, Please Dont Cry, serta The Inspiring Woman.
 Kisah cinta yang menggores hati, pergulatan seorang wanita yang berusah menepis rasa yang tidak semestinya, pertolongan Allah yang datang dalam waktu yang tepat,  beberapa kisah lainnya dari para shahabiyah dan  kisah-kisah lainnya  yang menjadi titik balik para akhwat menemukan hidayah-Nya dikemas dengan apik dan renyah.

Meski buku ini merupakan buku solo perdana, dunia penulisan bukan merupakan hal yang baru bagi Honey Miftahuljannah. Bersama para penulis lainnya, Honey juga menjadi kontributor  beberapa buku antologi seperti  Ngaji Yuk,  Baby Traveller, Amazing Moms, For The Love of Mom.

Lewat buku ini,penulis mengajak pembaca untuk mentafakuri setiap episode perjalanan hidup. Setiap kesedihan yang tertorehkan,ada janji indah yang sudah Allah siapkan jika kita sabar menjalaninya. Hikmah indah yang kita petik dari setiap kisah  didalamnya menyadarkan kita bahwa kita tidak sendirian menghadapi ujian-Nya, setiap cobaan yang diberikan Allah tidak melebihi ambang batas  kemampuan bahu seseorang memikulnya.

Secara pribadi,keasyikan saya untuk membaca buku ini agak terganggu dengan lay out bukunya. Jika buku ini cetak ulang (insya Allah), ada baiknya kalau dicetak dengan lay out rata kiri kanan yang seimbang.

Muslimat,Tersenyumlah adalah buku perdana dari rangkaian seri La Taias yang terbit di penghujung tahun 2012 ini. Jika anda penggemar kisah-kisah inspiratif penguat hati seperti buku-bukunya Asma Nadia,buku ini sangat saya rekomendasikan untuk menjadi salah satu penghuni deretan koleksi buku anda.

Seperti yang dikatakan penulis : Muslimat, Tersenyumlah! Karen tidak ada cobaan yang tidak bisa kita taklukan.Juga karena dunia  jadi lebih indah saat kita tersenyum, sedahsyat apapun gelombang menerjang.
Share:

Friday, 14 December 2012

Janur Kuning



(Awal Oktober 2011 kemarin aku mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan IIDN Bandung. Semua peserta wajib membawa naskah cerpennya buat dikoreksi narsum (Teh Triani Retno a.k.a Teh Eno dan Suyatno Pamungkas). Ternyata oh ternyata banyak sekali yang dikoreksinya. Cerpen ini sudah aku perbaiki dari naskah sebelumnya, mulai dari ejaan, tanda baca sampai konfliknya. Mudah-mudahan ke depannya bisa nulis cerpen yang lebih baik lagi). 

“Ayolah Cit, temeni aku yaa? Please…” bujuk Mira setengah memelas. “Kamu tahu kan, kalo seorang perempuan dan seorang laki-laki berduaan yang ketiganya itu,…”

“Setan!” potong Citra. “Nah, itulah Mir. Kalo aku ikut, aku jadi setannya dong?ogah ah. Emang enak jadi kambing conge?”

“Ih Cit, yang bilang kamu setan atau kambing itu siapa?” Mira tertawa geli. “Sebentar aja. Bapak sama ibu kan lagi pergi. Kalau mereka udah dateng, kamu boleh pulang kok.”

Citra melongok ke jendela, sebentar lagi hujan turun, tidak ada salahnya menemani Mira sahabatnya ini. Lagi pula Citra penasaran dengan sosok Agas, calon dokter yang bakal datang  berkunjung sore itu. “Baiklah, tapi nanti traktir aku ya.!”

 “Anything,” Mira memeluk Citra senang sambil menjawil pipi  Citra yang tembam  mirip bakpau.

Citra meringis, “Mir, kira-kira dong.  pipiku ini ga diasuransiin. Kalo melorot gimana?”
Assalamualaikum!  bel di depan pintu berbunyi.

“Nah, itu dia,” Mira terlonjak dari kursi. “Kamu bukain dulu pintu ya, aku ganti baju sama pake berego dulu.
“Waalaikumsalam,” Citra membukakan pintu. Sesosok tubuh menjulang berdiri di hadapannya, tersenyum kikuk sambil membetulkan kaca-matanya.  “Silahkan masuk, aku panggil Mira dulu, ya.” 

 Tidak sampai lima menit, mereka bertiga larut dalam obrolan. Agas ternyata enak diajak ngobrol, berbeda 180 derajat dengan penampilannya yang cuek plus kacamata tebalnya itu yang justru membuatnya terlihat cool. Mira mengenal Agas lewat Yudi teman kuliahnya dulu. Agas yang sedang menjalani co-ass di sebuah rumah sakit swasta itu juga ternyata penggemar berat bola, sama maniaknya dengan Mira dan Citra. Maka semakin mengalirlah obrolan sore itu.

“Kalo aku sakit, ga usah cari dokter lain ya Mir. Berobat aja sama Agas, gratis kan?” canda Citra.“Boleh, tapi kamu kudu jadi upik abu dulu.”      

Share: