Namanya juga tinggal di komplek Perumahan, obrolan tetangga di halaman rumah tanpa sengaja bisa terdengar sampai ke rumah kita. Mulai dari pamitan atau sapaan tamu, anaknya tetangga yang rewel dan manja sampai obrolan ketika memesan bakso. Kayak siang ini ketika tetangga di depan rumah lagi ramai dengan cucunya yang sedang kumpul, saya dibikin tersenyum mendengarnya.
Nenek : Neng, kamu kamu dicolok apa dikuah?
Maksudnya jelas baksonya yang dicolok, bukan cucunya itu. Tapi kalau lagi iseng, obrolan kayak gini bisa mempunyai makna yang bersayap.
Misalnya saja ketika teman saya asik menikmati makan lalu menawari saya : Bakso, Fi?
Saya menggeleng lalu dengan cuek menjawab, "bukan bakso. Saya mah orang."
Atau ketika saya nanya teman yang sedang makan, "makan sama apa?"
"Ayam."
Dengan iseng saya tanya lagi, " Ga dipatuk tuh sama ayam?"
Sukses bikin sebagian dari teman-teman yang pernah saya jaili jadi manyun atau mencari waktu yang tepat untuk melakukan revans, alias 'balas dendam', just in case saya juga salah ngomong. Daaan ada yang berhasil membalasnya hahaha... senjata makan tuan ini. But anyway itu adalah sebagian contoh jayusnya urang Sunda kalau bercanda :D Garing, gak?
Ngomongin soal makanan, kalau lagi musim hujan begini paling enak makan yang hangat-hangat, ya. Bakso sih, menurut saya cocok di segala suaasana. ga hujan ga panas selalu saja ada yang membeli. Makanan sejuta umat dan paling praktis buat menuntaskan rasa lapar. Dari yang murah sampai yang mahal. Dari gerobak yang lewat komplek sampai kafe-kafe dengan menu dan nama yang unik dan sajian yang kreatif.
Meski berkali-kali sering terdengar isu bakso yang dicampur boraks lah, daging celeng atau tikus, lah tetep deh menu sejuta umat ini tidak pernah kehilangan penggemarnya. Malah ada lho, yang setiap hari harus makan bakso, enggak boleh enggak. Kalau saya sih ga sampai tiap hari. Kalau malas masak dan Smaug kecil di dalam perut saya sudah semakin meronta meminta jatah, biasanya bakso jadi pilihan saya. As ussual, pesanan ala-ala saya adalah bakso bening tanpa vetsin dan pedas. Iya, sih bisa jadi kuahnya sudah pakai penyedap. Setidaknya saya sudah berusaha mengurangi konsumsi makanan yang banyak mengandung penyedap.
Dan kalau bicara soal penyedap makanan, memang susah ya cari makanan yang aman dan bebas dari penyedap makanan. Duh, Indonesia banget. Sementara di luar negeri sana, setahu saya yang tingkat kepedulian makanan sehatnya yang tinggi, rasa makanan di sana cenderung hambar.
Pernah tuh, saya makan di sebuah resto di Bandung dan ngobrol sama PRnya. Eh ya ampun, girangnya saya setelah tau mereka tidak menggunakan bahan penyedap dalam makanannya. Meski memang rasanya agak plain tapi rasa asli daribahan masakannya malah jadi dapat.
Kalau makan di luar memang susah cari makanan yang bebas vetsin atau MSG, untuk masakan di rumah saya sudah bisa lho move on dari makanan yang bebas penyedap. Selain rempah-rempah standar semacam bawang merah, bawang putih, jinten, ketumbar, lada dan kemiri, saya hanya akan menambahkan garam dan gula putih untuk memperkuat rasa. Kalau dulu saya lebih suka memilih bumbu instan untuk sayur semacam sayur asem, sayur lodeh atau soto, sekarang saya rela deh ngulek bumbu dasar biar rasanya tetap alami dan.... tentu saja bebas penyedap. kalau malas menghancurkan bumbu dengan cobekan, ya sudah saya pilih pake blender hahaha...
Emang sih, ya rasanya bumbu masakan kalau dihaluskan pake cobek batu itu rasanya lebih najong alias nendang, daripada dihancurkan dengan blender. Cuma kadang kalau enggak karena pegel, saya suka ga nahan dengan uraian air mata pas membuat bumbu dasar dengan bawang merah. Cabe? Ga bikin saya sampai nangis segitu juga, cuma kalau lupa mencuci tangan setelah mengupas atau mengiris, terus ga sengaja tangan saya ngucek mata hadoooh tetap saja perih, jenderal!
Dulu jamannya Adam Smith sempat nge-hive dengan revolusi industri. Masih ingat pelajaran ekonomi ini? Sekarang mungkin cocoknya disebut dengan revolusi instan, termasuk soal bumbu semacam lada, rosemary atau kayu manis yang sudah dikemas dalam bentuk serbuk sampai bawang goreng dalam kemasan praktis. Lebih enak gini, ga pake acara nangis-nangisan segala. Air matanya disimpan untuk keperluan lain, misalnya farewel party atau nonton film drama, gitu (saran yang absurd! :D).
Awalnya sih, rasanya memang aneh makan dengan masakan tanpa penyedap itu, termasuk tanpa cabe. Dulu malah ada yang aneh kalau ga nemu makanan pedas. Sekarang lidah saya lebih sensitif dan tau makanan ini terlalu banyak pake penyedap atau aman dari penyedap. Soal pedas? Saya berusaha menghindarinya meski kadang dalam waktu tertentu saya masih bisa mentolerir kalau cuma sedikit, itu pun secukupnya saja kalau tidak mau jerawat lalu mejeng di wajah saya. Bikin malu aja :D