“Rasanya
aku lagi jenuh, mbak,” Amel, yang kubikelnya bersebelahan denganku berbisik
pelan. Aku mendongakkan kepala, mengajaknya mendekat agar suaranya tidak
mengganggu teman-teman yang lain.
“Kopi?”
Aku mengacungkan kemasan kopi favorit Amel, vanilla
late.
Amel
mengangguk. Kebetulan, Ujang, office boy kantor kami sedang lewat. Aku
mengangsurkan dua sachet kopi yang
dibilang sebagai kopi banci oleh Dion, staf marketing kami yang paling
flamboyan. Ah, biarlah, lagi pula apa enaknya sih menyesap kopi pahit?
sumber gambar dari sini |
“Kamu masih punya jatah cuti, kan, Mel?”
aku menutup window taskbar. Laporan
akhir bulanku sudah selesai, beberapa pekerjaan lain belum bisa aku garap
karena harus menunggu Tia dan Sisi menutup laporan mereka
“Masih mba, 5 hari malah, maunya aku
habisin semua. Ini kan udah Desember,” Amel tertawa hambar.
“Yang ada Pak Heri bisa misuh-misuh sama
kamu, Mel,” ujarku sambil menyodorkan kopi yang baru saja dibuatkan Ujang.
Office boy yang satu ini memang cekatan.
“Nah, itu dia, mbak. Boro-boro ngabisin
jatah cuti, absen sehari aja pertanyaannya udah kayak penyidik yang
interogasiin penjahat.”
Aku nyaris tersedak. Makanya, salah satu
cara kami menyiasati jatah biar tidak hangus adalah dengan main nodong.
Maksudnya, bolos dan baru laporan pas masuknya. Konsekeunsinya, jatah
cuti kami bakal dipotong. Kalau belum habis, gaji bulanan aman sentosa dari
ancaman guntingan kepala cabang yang memang workaholic ini.
“Kalau gitu, kamu kabur aja seperti
biasa,” usulku.
Amel menaikan alisnya. “Ga bisa mbak, tau
sendiri, sibuk gini Ci Maya bisa manyun. Heran, kenapa sih harus minggu
depan dateng ke Bandung?”
“Yee, kan dia mau liburan akhir tahun di
Singapura, non.”
“Tapi kan itu udah acara rutin dia mbak?
Dua bulan sekali pasti dia bawain oleh-oleh dari Singapur, meskipun cuma
coklat mungil.”
Aku dan Amel tertawa barengan. Oleh-oleh
dari Ci Maya sering diolok-olok anak-anak di sini meskipun akhirnya mereka
terima juga.
“By
the way, apa yang bikin kamu jenuh?” Aku menyesap vanilla late yang masih mengepul. Sedap nian.
Amel bangkit sebentar, sekadar memastikan
kalau pak Heri masih betah di ruangannya. Sebenarnya sih, beliau tidak pernah
protes kalau salah satu dari kami barang sebentar singgah di kubikel
teman lainnya, cuma kalau menurutnya sudah melebihi toleransi, tegurannya bikin
panas kuping.
“Sudah beberapa hari ini aku tinggal di
rumah mama...” Amel menggantungkan kalimatnya.
“Kamu lagi marahan sama Feri?” aku
menyebut nama suaminya. Amel dan Feri memang tidak satu kantor tapi kantor kami
sama-sama menyewa ruangan gedung yang sama. Kantornya Feri menempati lantai 2
sementara kami ada di lantai 4. Pantas saja beberapa hari belakangan ini bukan
hanya muka Amel yang terlihat kusut tapi juga absennya yang selalu mepet jam
7.59. Sedikit lagi, bukan cuma kena potongan gaji tapi juga harus mengisi form
berita acara kesiangan. Aturan yang sedikit ribet memang.
“Tapi tiap hari kan tetep aja ami ketemu
di sini,” sambung Amel. “Ga enak mbak.”
Aku masih setia menyimak, membiarkan Amel
mengalirkan ceritanya, sambil mengira-ngira apa alasan mereka terlibat perang
dingin seperti ini. Jangan-jangan rumah mereka yang masih sepi dari suara anak
kecil? Mereka sudah menikah 5 tahun yang lalu tapi belum juga menunjukkan
tanda-tanda kalau Amel sedang hamil.
“Aku cape bolak balik ke dokter,”
Amel seperti membaca apa yang sedang aku pikirkan.
“Mel, sebenarnya kalian sama-sama
merindu. Kalian merindukan kehadiran anak-anak yang sudah lama kalian nantikan.
Tapi mungkin tuhan punya rencana indah buat kamu,” aku membuka suara
sambil berpikir memilah kalimat yang tidak melukai perasaannya.
“Ada yang dikarunia anak tapi mereka juga
diuji dengan anak-anaknya yang bermasalah. Ya sakitlah, perlu perhatian ekstra
atau...”
“Iya sih mbak.”
“Kalau niat kalian menikah buat nerusin
keturunan, apa bedanya kamu sama si Memey kucing kesayangku itu? Dia bisa
beranak banyak, dalam setahun. Iya sih, siapa yang enggak mau punya anak? Tapi
ada enggak ada keturunan, ga mesti jadi alasan buat kalian saling menjauh. Itu
mah udah wewenang Tuhan kapan kalian mau dikasih.”
“Sebenarnya yang rewel itu Mamanya Feri,
komentarnya yang bikin aku males. Mbak kan tahu sendiri, mamanya itu rewel sama
bibit bebet dan apalah itu. Pernah Feri ngajak aku buat mancing dengan
mengaadopsi anak.”
“Nah kenapa enggak coba yang itu saja?
Siapa tahu habis itu kamu beneran hamil.”
Amel mengangkat bahu, pintu ruangan Pak
Heri terbuka, artinya kami harus buru-buru menyudahi obrolan kalau tidak mau
ditatapi dengan lirikan keponya.
“Mbak punya stok pembalut? Aku dapet nih,
belum sempat keluar,” kali ini wajah oriental Sisi muncul di atas sekat
kubikelku.
Aku menggeleng. “Udah habis, Si. Kamu
punya Mel?”
Amel mengangguk. Gegas dia membalikkan
badan, tanpa menyadari sikutnya menyenggol kalender mejaku.
Aku meraih kalender meja dan menyimpannya
kembali. Mataku tertuju pada bulatan hijau tanggal 20. Aku punya
kebiasaan menandai siklus bulananku yang kebetulan berdekatan dengan Amel. Eh,
siklus?
Aku memekik pelan.“Mel!” Kali ini gantian
aku yang menghampiri Amel.
“Ada apa mbak?”
" Ini kan udah tanggal dua,
perasaan kamu enggak mens bareng aku, kan? Jangan-jangan...”
Amel masih tergugu. Kedua telapak
tangannya menutup mulutya. Ada binar riang di matanya. Kesibukan stok opname
bikin Aku enggak ngeh dengan yang satu ini. Lagian kok bisa-bisanya Amel lupa
sama siklusnya sendiri, ya?
“Istirahat nanti, antar aku ke apotik,
ya, mbak?”
***
Usai istirahat, tanpa sengaja telingaku
mendengar Amel bersenandung riang. “Sore nanti, aku balik sama Feri, mbak,”
ujarnya sumringah.
Ah Amel, rencana Tuhan
memang selalu indah, kan? Sepertinya Bulan Depan Amel bakal memamerkan
foto-foto liburannya bareng Feri dengan pose paling narsis.
Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba Give Away Cinta Tanpa Hiatus
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Giveaway Cinta Tanpa Hiatus
ReplyDeleteSalam hangat dari Surabaya
iya pak dhe :D
Deleteooh ini cerpen ya? kirain kisah beneran
ReplyDeleteBukan, ini kisah fiksi hehe
DeleteSemoga skses GA-nya. Salam hangat dari Negeri Ratu Balqis :)
ReplyDeleteThanks, eh serius dari negerinya ratu Balqis? :)
DeletePertama kali baca cerpennya Teh Efi. Bagus Teh :)
ReplyDeleteMasa sih Vi? *blushing*
DeleteDedeknya cepet keluar, ya, biar rumah Bunda Amel jadi ramai :D
ReplyDeleteSukses GA-nya, mbak.
Salam hangat dari Surabaya :)
aamiin, nanti saya bilangin sama Amel hehe. salam juga, mba.
DeleteRencana Tuhan memang tak ada yang tahu, cerpen yang mengandung petuah bagus mbak
ReplyDeleteSukses untuk GA nya ya mbak
Salam
Bener mbak, eh tersanjung juga nih saya :)
Delete