Saturday 10 September 2011

Bila Semua Wanita Cantik

Alkisah, ada anak super-gendut yang selalu diganggu teman-temannya. Setiap hari diteriaki, “Gendut! Gendut! Badak! Badak!” Anak itu menangis. Tersedu. Berlari menjauh dengan gelambir lemak di perut. Mengadu. Ibu-nya bilang tentang, “Jangan marah. Jangan diambil hati. Mereka hanya bergurau. Besok juga berhenti!” Tetapi esok-lusa kelakuan teman-temannya tak pernah kunjung reda. Berbilang hari malah menjadi-jadi. Cubit sana. Cubit sini. Maka semakin sering bersedihlah anak itu.



Hingga suatu malam, di tengah senyapnya gelap, sang anak mengangkat kedua tangannya, tengadah ke langit buram, “Ya Tuhan, kurus-kan-lah aku. Aku mohon….” Anak itu menangis tersedu, bersimpuh penuh harap, “Atau kalau Kau tidak berkenan membuatku kurus, maka buatlah gendut seluruh teman-temanku…. Aku mohon! Biar kami sama…. Biar kami sama….”

Maka malam itu, sempurna sudah langit terbolak-balik. Do’a itu bagai melempar sebutir dadu dengan seluruh enam sisinya sempurna bertuliskan kata: Amin!


Vin tertawa lebar, bahkan sebelum Josephine sempat menyelesaikan ceritanya. Hampir tersedak oleh makanan, buru-buru meraih gelas orange-juice, minuman favoritnya.

“Nah, lu bisa bayangin kan kalau semua teman-temannya gendut! Mana asyik lagi coba hari-hari mereka. Tidak ada saling olok satu sama lain. Tidak ada saling ejek. Hambar, persis seperti steak ini!” Jo nyengir, ikut menahan tawa sambil malas mengiris-iris daging sapi di hadapannya.

“Tapi itu tetap tidak menjelaskan masalahnya….” Vin meletakkan gelas, lantas memperbaiki anak rambut yang mengenai ujung-ujung mata. “Analogi yang buruk! Buruk banget malah!”

“Lah, come-on! Bukankah itu menjelaskan semuanya. Lu pikir semua orang di dunia ini akan cantik? Akan seksi? Nggak, kan? Pasti ada yang tidak cantik, kurang seksi—”

“Ya seperti kita-kita ini.“ Vin memotong pelan.

“Lu selalu berpikiran negatif. Selalu pesimis. Lagian siapa bilang lu tuh jelek?”

Vin menyeringai tanggung. Jelek? Kalau saja Jo bukan teman baiknya, cerita Jo yang nyebut-nyebut gelambir lemak di perut tadi sudah jadi alasan baik untuk menjitaknya.

“Gw nggak pesimis, Jo…. Tiga puluh tahun hidup di dunia ini…. Tiga puluh tahun menjejak semua proses kehidupan…. Meski tiga puluh tahun itu juga tak satu pun cowok melirik lu…. Tidak pernah menemukan cowok yang menganggap lu exist! Menganggap lu ada di dunia ini…. Well, jadi bagaimana mungkin gw akan pesimis, kan?” Vin tertawa kasar.

Josephine meletakkan pisau dan garpu. Putus asa. Satu, untuk bumbu daging steak yang memang hambar. Dua, untuk kalimat sinis bin sarkas dari Vin barusan. Urusan ini lama-lama sedikit menyebalkan. Ia mengenal benar tabiat Vin. Ia berteman baik dengan Vin sejak dua belas tahun silam. Dipertemukan tidak sengaja di salah-satu acara. Pesta perpisahan sekolah. Prom-night! Cepat sekali akrab.

Bagaimana tidak? Mereka berdua hanya jadi penonton di acara tersebut. Memandang sirik cewek-cewek berpakaian seksi berlalu-lalang bersama pasangan. Ratu-pesta? Tidak masuk kamus mereka, kecuali ada nominasi baru yang dibuat khusus dalam penghargaan tersebut, seperti, ‘best-badut-custome’! Jadi mereka saling menyapa kaku di pojok ruangan sepanjang sisa acara. Saling menjulurkan tangan. Berkenalan. Lantas berusaha mengisi malam dengan ngemil makanan yang berserak.

Dua belas tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari pertemanan mereka. Vin tingginya hanya bertambah dua senti, celakanya yang bertambah banyak justru volume dan lebar-nya. Tidak proporsional. Sedangkan Jo? Sama buruknya, semakin jerawatan, tubuhnya ringkih, muka tirus, rambut keriting tak-tertolong. Benar-benar dua sahabat yang menarik untuk dilihat. Tadi saja pelayan kafe tega mengabaikan, seperti tak melihat mereka duduk di situ.

Masalahnya, berbeda dengan Jo yang tumbuh lebih dewasa, mapan dengan karir, cerdas dalam pekerjaan, Vin semakin tenggelam dalam mimpi-mimpi cinderella masa kecilnya dulu. Bagi Jo, ada atau tidak ada cowok yang melirik mereka, ada atau tidak ada cowok yang jatuh hati kepada mereka, itu tidak penting. Hidup ini tetap indah meski tanpa kehidupan percintaan yang mengharu-biru. Tapi bagi Vin tidak. Ia bosan dengan kesendiriannya. Bosan dianggap tidak ada oleh cowok-cowok. Celakanya Vin justru mengidolakan cowok terkeren kota ini. Teman satu kantornya.

Maka belakangan, setiap kali mereka bertemu, semakin seringlah Vin mengeluhkan soal itu. Bertanya hal-hal prinsip seperti, “Apakah wajah itu penting saat kau jatuh cinta?” “Bukankah banyak yang bilang, karakter nomor satu, fisik nomor dua?” Bahkan kadang berteriak sebal tentang: “Omong kosong! Semua itu bohong! Siapa bilang kita selalu terlahir dengan takdir jodoh bersama kita? Itu hanya untuk membesar-besarkan hati saja!” Kemudian menutup pembicaraan dengan keluh-kesah-resah.

Seperti malam ini. Di SkyCafe! Kafe yang memiliki slogan, “Kamilah kafe tertinggi di kota ini!” Memang benar slogan tinggi itu. Kafe ini persis di atas gedung tertinggi. Tapi soal menu dan rasa makanan, Jo sejak tadi malah mendesis dalam hati, tidak akan pernah datang lagi. Dan Vin sibuk berkeluh-kesah lagi.

“Lihatlah! Cowok-cowok itu seperti laron mengelilingi gadis cantik di meja besar itu. Semua berebut seperti anak kecil yang dijanjikan permen. Menyebalkan!” Vin mengkal menunjuk kerumunan di sudut ruangan.

Jo tertawa kecil. Menatap keramaian yang membuat sirik Vin tersebut. Bahkan, hei! Erik Tarore, cowok tampan idola satu kantor Vin ikut mengerubung. Pasti itu yang membuat Vin tambah keki.

“Gw pikir hidup gw akan sepi selamanya…. Selamanya….” Vin pelan mengaduk-aduk minumannya. Nelangsa.

Jo menatap prihatin, nyengir, “Yaaa, lu kan sudah terbiasa menjomblo selama tiga-puluh tahun, jadi gw yakin lu pasti bisa terus menjomblo selama tiga puluh tahun lagi!”

Mereka berdua tertawa. Getir.

“Tapi yakinlah, Vin, tak selamanya lu pikir menjadi cantik dan seksi itu menyenangkan….” Jo menghentikan tawanya.

Vin mengangkat bahu. Tidak terlalu tertarik dengan kalimat Jo barusan. Setiap kali mereka bertemu, sebulan terakhir, Jo selalu bilang soal itu. Mencoba membesarkan hatinya. Percuma. Omong-kosong. Ia sudah tak percaya lagi.

“Cantik itu kan hanya terlihat dari luar, Vin…. Coba lu lihat kafe ini, keren banget, kan? Tapi makanannya? Masih mending warung sate di perempatan depan kantor lu! Jadi seperti lu, dari luar sih kumuh, nggak higienis, tapi dalamnya? Wuih! Legit!”

Tertawa lagi. Semakin getir.

“Atau seperti teman-teman kita yang gw ceritakan minggu lalu…. Friska bercerai dengan suaminya, Mitha ketahuan berselingkuh, Lala berapa kali coba disakiti pacarnya…. Si Uthi nyandu,” Jo menghitung jari, “Kurang apa coba mereka? Cantik! Tapi kehidupan mereka tidak menyenangkan. Mending seperti lu, kan? Sendiri tapi hepi! Jomblo tapi bahagia.”

Vin mengangkat bahu. Ia memang bahagia dengan hidupnya (sepanjang tak ada hubungannya dengan cowok). Tapi kesendirian ini menyesakkan. Vin semakin malas mendengarkan ceramah Jo. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Sesuatu….

“Lu pikir menjadi cantik itu menyenangkan, Vin? Sama sajalah! Bahkan dalam banyak kasus malah menyebalkan…. Lu mesti rajin merawat diri. Peduli benar dengan penampilan tubuh setiap inchi-nya, setiap mili-nya…. Lagi pula menurut penelitian bahaya pelecehan seksual yang mengancam wanita yang terlihat menarik lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan wanita yang terlihat biasa-biasa saja…. Bisa dimengerti sih, siapa pula yang tertarik untuk iseng ke kita-kita?” Jo tertawa, melambaikan tangan ke pelayan, meminta bon tagihan.

Vin tetap tidak terlalu memperhatikan, ia semakin sibuk dengan sesuatu yang sedang dipikirkannya.

“Mereka pasti memiliki masalah dengan kecantikannya, sama seperti kita yang memiliki masalah dengan penampilan kita…. Masalahnya kita tidak pernah dalam posisi mereka, kan? Tidak pernah dalam posisi orang-orang yang dicemburui. Percaya nggak, terkadang mending kita dalam posisi yang mencemburui dibanding sebaliknya, tapi kita tidak pernah tahu. Anyway, dengan tidak tahunya, tidak mesti kita merasa kehidupan mereka lebih oke, kan?” Jo menyerahkan kartu-kredit ke pelayan yang mendekat.

“Lagi pula ukuran cantik-jelek itu relatif, Non! Karena cowok-cowok itu bersepakat cantik dan seksi itu harus ramping, perut datar, mata hitam menggoda, rambut seperti ini, kulit harus putih, bibir mesti merah, mesti sensual, dan seterusnya maka cewek otomatis harus seperti itu untuk dibilang cantik. Coba kalau cowok-cowok bersepakat cantik itu gendut, pendek, hitam, keriting, lu kan bisa masuk kriteria cantik banget, Vin…. Ah-sudahlah, yuk!” Jo berdiri setelah menerima kembali kartu-kreditnya. Tidak tega melanjutkan gurauan. Lihatlah Vin sudah mengusap matanya. Nah-loh, daripada seperti minggu lalu Vin nangis-sedih gara-gara kalimatnya, mending buru-buru pulang.

Vin mengangguk. Berdiri lemah mengikuti Jo. Matanya kelilipan. Tidak. Tentu saja Vin tidak ingin menangis seperti minggu lalu. Selepas makan dan ngobrol bareng Jo malam ini, hatinya tidak sesedih minggu-minggu lalu. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Dan itu memberinya semangat.

***

Malam itu langit terlihat amat buram. Bintang sempurna terusir awan kelam. Rembulan sabit bersembunyi malu. Langit pekat. Angin mendadak takut bertiup. Sepi. Seluruh kehidupan seperti sedang tertidur lengang. Di lantai dua sebuah rumah, jendelanya memang sudah redup, tapi penghuninya sedang takjim menatap langit luar. Penghuninya adalah Vin.

Vin yang mengangkat kedua-belah telapak tangannya. Inilah yang dipikirkannya sepanjang sisa malam. Sesuatu itu…. Vin yang berkata lirih! Sedang khidmat berdoa.

“Ya Tuhan, buatlah aku cantik…. Aku mohon!” Vin bersimpuh penuh harap, “Atau kalau kau tidak berkenan membuatku cantik, maka buatlah seluruh wanita di dunia ini se-jelek diriku….” Satu tetes air mata Vin mengalir di pipinya yang tembam. Air-mata penuh pengharapan. Meluncur deras ke atas kasur.

Persis saat air itu menerpa seprai putih, persis saat bulir air itu meresap di lembutnya seprai, saat itu petir mendadak menyambar menggetarkan hati. Guntur menggelegar. Angin kencang membungkus langit. Langit sempurna terbolak-balik. Malam itu, doa Vin bagai melempar sebutir dadu dengan seluruh enam matanya sempurna bertuliskan kata: Amin.

***

Vin bangun pagi dengan perasaan segar!

Mandi lama-lama. Duduk di atas toilet lama-lama. Ritual paginya yang hebat. Sebenarnya hanya duduk doang. Manyun menatap pintu kamar mandi. Setengah jam kemudian mengenakan blouse kerja terbaiknya. Dulu ia berpikir, pakaian bisa membuat seseorang terlihat lebih cantik. Sayang, otak negatifnya juga sudah lama sekali membuat kesimpulan: Kalau dasarnya orang itu nggak cantik, maka mau dikasih permata lima ton tetap saja tidak akan menarik (kecuali permatanya). Iklan-iklan sabun mandi, shampoo, lotion, dan apalah itu bohong! Jelas-jelas modelnnya memang sudah cantik dari sono-nya. Dikasih baju robek seadanya juga tetap cantik. Puh!

Tapi hari ini Vin lagi hepi. Tidak peduli ketika kepalanya membenak hal buruk berkali-kali. Berangkat kerja dengan semangat. Ditegur adiknya di ruang tengah. Hei! Ada yang berubah? Matanya mendadak melihat sesuatu yang ganjil. Entahlah! Bertemu Mama di meja makan. Hei? Bukankah Mama-nya sungguh terlihat beda!

Vin malas berpikir. Menjepit tas kerjanya. Naik feeder-bus yang selalu on-time berkeliling di komplek perumahan. Hei! Hei! Mengapa semua orang terlihat sungguh berbeda sepagi ini? Lihatlah! Sopir bus (sopir pertama wanita) yang selama ini hanya menatap dingin dibalik kaca-mata hitam kebesarannya sekarang tersenyum renyah. Memamerkan gigi putih yang cemerlang. Di man-na gigi kuning berlapis kawat logam itu?

Penumpang bus? Hati Vin mendadak mencelos. Seperti sebatang besi panas dicelupkan ke dalam seember air es. Atau seperti Vin yang sedang ketangkap basah mencuri pandang Erik (dengan tatapan 100 watt penuh penghambaan itu). Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin? Hati Vin tiba-tiba menggigil. Sungguh, seluruh penumpang cewek bus terlihat begitu… begitu cantik. Can-tik? Yaps! Bukan main….

Bukankah adiknya yang tidak kalah gendut dengannya juga terlihat cantik tadi pagi? Mama-nya yang seperti paus biru terlihat laksana artis umur dua puluh tahunan? Singset? Apa yang terjadi. Mata Vin mendadak berkunang-kunang. Doa itu? Apa doa semalam itu manjur? Tapi kenapa jadi begini? Bukankah ia berdoa sebaliknya? Kenapa semua wanita pagi ini mendadak terlihat begitu cantik. Atau jangan-jangan. Ia juga berubah….

Jangan-jangan…. Vin buru-buru bangkit dari duduknya. Berlari ke depan dengan semangat. Itu sungguh akan jadi kabar yang menyenangkan…. Vin berlari ke arah cermin di atas kepala sopir bus (yang lazim dipakai untuk melihat situasi di belakang bus). Menatap wajahnya penuh antusiasme. Tapi ia terpaku. Seketika. Bagai batu pualam. Ya ampun? Ini pasti ada kesalahan. Vin gemetar memegang tiang besi.

Ini benar-benar kesalahan besar. Lihatlah sepagi ini. Di atas bus, di trotoar jalanan, di lobi gedung, di dalam lift, di layar kaca (Vin yang tidak percaya menghidupkan teve), seluruh gadis di dunia mendadak berubah cantik. Sempurna! Sempurna seperti Vin membayangkan kecantikan itu sebagaimana-mestinya. Cleaning service yang rutin pagi-pagi mengantarkan minuman untuknya, mbak-mbak yang cerewet dan jelek itu saja sekarang berubah sintal dan menggairahkan.

Ibu-ibu peminta-minta yang sering Vin temui di jembatan penyeberangan bahkan terlihat seperti model-super-hot. Vin jengah menatapnya, dengan pakaian seadanya yang robek di sana-sini, pengemis itu seperti sedang pose menggoda untuk majalah pria dewasa. Memamerkan pahanya yang putih-mulus (meski tangannya tetap terjulur sambil berkata lirih, “Recehnya, Mbak! Sudah dua hari tidak makan”). Aduh, semua ini benar-benar membingungkan….

Dan yang amat menohok bagi Vin, ketika seluruh gadis terlihat cantik pagi ini, kenapa ia seujung kuku pun tidak berubah? Vin menggigit bibir di depan komputernya. Hampir sejam berlalu Vin hanya mematung di meja kerja. Berusaha sembunyi dari kerumunan gadis-gadis yang mendadak begitu bahagia melihat wajah dan tubuh baru mereka. Ya Tuhan! Bukankah doanya semalam tidak seperti ini? Bukankah ia bilang kalau Tuhan tidak mau membuatnya cantik, maka buat jelek-lah seluruh wanita di muka bumi ini. Tapi sekarang? Semua malah terlihat cantik, kecuali dirinya….

Apakah langit kejam sekali padanya….

Vin tersungkur dengan hati pilu.

***

Seminggu berlalu. Jadwal pertemuan berikutnya dengan Jo.

Vin sepanjang minggu enggan sekali menelepon Jo. Ia malah cemas bertemu dengan Jo. Amat cemas. Bagaimana mungkin ia siap bertemu dengan Jo setelah apa yang terjadi? Bertemu dengan teman-teman sekantornya, Mama, adiknya, dan gadis mana pun Vin malu. Dulu saja Vin sudah terlihat berbeda dengan tubuh gendut dan muka lebarnya. Sekarang? Dengan seluruh kecantikan yang mendadak menjejali seluruh kota, maka tubuhnya terlihat semakin berbeda.

Ini semua benar-benar nyata. Seperti kalian yang bisa menyentuh tulisan ini. Setiap wanita terlihat begitu cantik. Bumi seperti diisi sejuta bidadari. Kalian bayangkan di pasar tradisional yang becek. Sempurna pasar itu diisi oleh ibu-ibu yang cantik sedang berbelanja. Guru-guru yang cantik di sekolah. Suster-suster yang cantik di rumah-sakit. Pengunjung yang cantik di pusat-perbelanjaan. Penumpang yang cantik di kendaraan umum. Semuanya cantik. Hanya cowok-cowok itu saja yang tidak berubah sedikit pun. Tetap seperti sebelumnya. Dan cowok-cowok itu terlihat bahagia sekali dengan seluruh kecantikan ini. Bagaimana tidak? Tiba-tiba kalian menemukan istri yang begitu manisnya saat bangun tidur? Mengusap mata, khawatir salah kamar malam ini.

Dunia benar-benar terlihat jadi lebih indah seminggu terakhir. Tapi tidak bagi Vin. Hidup semakin menyakitkan baginya. Ia bolos kerja. Buat apa? Hanya menjadi bahan tertawaan. Ditatap dengan tatapan merendahkan (bahkan dari ibu-ibu cleaning service yang dulu rajin setiap hari bertanya, “Vin sudah punya pacar belum, sih?”). Ia juga malas berkumpul dengan keluarganya? Hanya untuk menjadi bahan olok-olok mereka? Meskipun sejauh ini Mama dan adik-nya tidak pernah mengolok-olok dirinya. Vin semakin sering menangis. Ia enggan bertemu Jo! Tidak akan ada lagi Jo yang menghiburnya. Jo pasti sudah berubah begitu cantiknya.

Tapi malam ini Jo yang justru datang menemuinya. Mengetuk pintu kamar berkali-kali. Enggan dibuka.

“Vin, buka pintunya! Atau aku ledakkan!” Jo tertawa.

Vin membenamkan mukanya di sela-sela bantal.

“Vin, kalau ada orang di dunia ini yang bisa mengerti perasaanmu sekarang, maka itu adalah aku!” Jo membujuk.

Vin tidak peduli.

“Vin, aku tidak bergurau. Aku sungguh tidak tahu mengapa seminggu terakhir seluruh dunia mendadak berubah! Terus terang saja, seminggu terakhir, aku enggan sekali bertemu denganmu, karena aku khawatir kau juga mendadak berubah seperti wanita lainnya….” Suara Jo terhenti.

Vin mengangkat kepalanya. Tidak mengerti. Apa maksud kalimat Jo barusan?

“Kau tahu, Vin…. Malam ini aku sungguh memberanikan diri untuk menemui-mu. Berpikir berkali-kali…. Hingga akhirnya memutuskan datang karena aku tidak peduli meski kau berubah cantik seribu kali, kau tetap mau menganggapku sebagai sahabat, bukan?”

Vin beranjak turun dari tempat tidurnya. Senyap sejenak. Gemetar membuka pintu. Dan saat daun pintu sempurna tersibak lihatlah! Jo ternyata juga sama seperti dirinya. Tidak berubah sedikit pun. Tetap jelek jerawatan. Mereka bersitatap satu-sama lain. Membuat terhenti detak jam di dinding. Membuat sepasang cecak menatap curiga (“Ternyata masih ada ya dua cewek jelek di dunia ini?” Salah satu cicak itu berbisik jahil). Mereka berdua yang tidak mengerti decak cicak menghela nafas panjang. Kemudian berpelukan.

Vin menangis tersedu….

“Kenapa kau tidak berubah, Jo? Kenapa kau tidak cantik? Harusnya kau berubah seperti mereka….” Vin bertanya sesak.

Jo mengangkat bahu, sedikit tidak mengerti meski banyak tidak peduli, “Tidak penting kita cantik atau jelek, Vin! Sudahlah! Andaikata seluruh gadis di dunia ini terlihat cantik, dan hanya menyisakan kita sendirian yang jelek, hidup ini tetap terasa indah, bukan? Setidaknya aku masih punya kau, Vin!”

***

Sebulan berlalu. Tidak pernah Vin dan Josephine merasa sedekat ini sepanjang hidup mereka. Setiap hari bertemu. Kemana-mana selalu berdua. Kejadian ini persis seperti di pesta perpisahan itu. Bedanya dulu hanya dalam satu ruangan, sekarang mereka berdua terlihat berbeda di seluruh sudut kota.

Bahkan di seluruh dunia.

Lelah Jo membesarkan hati Vin, “Cantik itu relatif, Vin! Peduli amat dengan tatapan mata mereka….” Maka Vin seperti biasa akan mendesis lirih, penuh kesedihan, “Ya! Cantik itu relatif, tapi jelek itu absolut!” Membuat terdiam sejenak langit-langit meja-makan mereka. Menyisakan denting sendok yang terdengar sungkan dan tanggung.

Malam ini lagi-lagi mereka berkunjung ke SkyCafe. Lupakan makanan buruknya. Vin sekarang sering pergi ke sana hanya untuk menatap dari kejauhan Erik-nya tercinta yang berkunjung bersama gadis cantik itu. Dulu saja gadis itu terlihat cantik, apalagi setelah malam ganjil tersebut. Dibandingkan Vin, gadis itu malam ini cantik bangeto! Membuat Vin yang menatap sendu Erik bagai pungguk merindukan bulan (tapi sekarang bulannya bukan yang biasa yang sering kalian lihat, tapi yang di galaksi Andromeda, satu juta tahun kecepatan cahaya sana!)

“Tuhan kejam sekali….” Vin terisak menangis.

“Tidak! Kita hanya tidak tahu apa maksudnya, Vin!” Jo menggenggam jemari Vin. Berusaha mendiamkan.

Dan inilah yang sungguh tidak diketahui Vin. Sebulan terakhir, ketika seluruh gadis di dunia terlihat sama cantiknya. Perlahan-lahan ada pemahaman yang berubah. Pelan tapi pasti ada ukuran yang berubah. Hei! Cowok-cowok itu mulai bosan melihat “kecantikan” yang itu-itu saja. Bagaimana tidak? Mereka sekarang bisa melihat kecantikan itu di mana saja. Membuka pintu, langsung bertemu wanita cantik, naik angkutan umum, banyak. Di jalanan, lebih banyak lagi. Apalagi saat menyaksikan karnaval hari ibu dua hari lalu, banyaaak banget wanita cantik.

Pria di dunia sungguh mulai bingung. Kalau semua terlihat cantik, jadi di mana lagi ukuran cantik itu? Kalau semua terlihat menarik, apa lagi ukuran hakiki menarik tersebut? Bukankah mereka selama ini ingin merasakan memiliki pasangan yang terlihat lebih “oke” dibandingkan pasangan temannya. Sekarang? Aduh, sama semua. Bertemu di pesta, tidak ada lagi pembicaraan soal lebih-ini, lebih-itu dari pasangannya antar bujang-bujang metropolitan tersebut. Tidak ada lagi saling menyombongkan diri.

Casting film juga membosankan. Apa yang mesti dipilih kalau semuanya sama cantiknya? Miss Universe? Benar-benar lucu menyimak acara live tersebut seminggu lalu, bagaimana mungkin gadis penjual permen dengan pakaian lusuh dan kotor di luar gedung mewah pertunjukan tersebut sama cantiknya dengan pemenang lomba? Dan, tentu saja sama seksinya dengan ibu-ibu pengemis di jembatan penyeberangan yang berpakaian seadanya itu?

Maka malam ini, saat Vin menangis tersedu atas nasibnya, seluruh pria di kota kami juga sedang amat-bingungnya.

“Aku lebih baik mati saja….” Vin tersungkur di atas meja.

“Sudahlah, Vin!” Jo berbisik, berusaha membujuk. Membelai pelan rambut Vin yang pecah-pecah dan ber-ketombean.

“Biarkan aku sendiri….” Vin benar-benar putus-asa.
“Kau hanya menarik perhatian orang lain dengan menangis seperti ini,” Jo mencengkeram lengan Vin.

“Peduli amat? Bukankah kita sudah menarik perhatian dengan wajah dan tubuh jelek ini?” Vin mendesis seperti ular.

Jo salah-tingkah. Ya ampun, bagaimana sekarang?

Suara tangis Vin mengeras. Membuat wajah-wajah tertoleh. Jo semakin bingung hendak melakukan apa agar Vin diam.

“Maukah kau menghapus air-matamu dengan sapu-tangan ini?” Tiba-tiba terdengar suara yang begitu berwibawa dan gagah di sebelah mereka. Memotong sedu-sedan itu.

Jo menoleh. Vin mengangkat kepalanya.

Ya Amplop? Apa yang terjadi? Mata Vin mendadak berkunang-kunang. Jo menelan ludahnya. Lihatlah! Erik, pemuda keren idaman hati tengah menjulurkan sapu-tangan sutera berenda indah ke arah Vin. Tersenyum amat jantan-nya.

“Aku akan tersanjung sekali kalau kau mau memakainya untuk mengelap air-matamu!” Erik menatap Vin yang berderai dengan mata terpesona. Seperti malaikat cinta.

Vin seketika gemetar. Bagaimana mungkin? Seumur-umur hidupnya ia mendambakan Erik mendekatinya. Bahkan pernah sekali mereka bertabrakan di depan pintu lift, lantas ia dibentak-bentak Erik, “Dasar gendut! Mata di taruh di mana? Mata tuh digedein, jangan perut!” Vin merasa bahagia sekali saat itu. Sekarang? Apa yang terjadi? Apakah dunia semakin aneh? Apakah ia sekarang mendadak terlihat lebih cantik?

Tidak. Vin tetap sama jeleknya. Hanya saja karena sebulan terakhir Erik bosan dengan gadis-gadis cantik di sekitarnya. Selama sebulan bingung mencari makna baru arti kata sebuah kecantikan, malam ini saat dia tidak sengaja melirik Vin yang menangis di meja-makan seberangnya, hati Erik langsung berdenting. Duhai, gadis ini berbeda sekali. Lihatlah! Badannya yang besar, rambutnya yang berantakan? Pakaiannya yang berbeda? Apakah ini sebuah kecantikan? Entahlah! Apa ini yang disebut bidadari? Entahlah! Tapi gadis ini sungguh terlihat berbeda dengan wanita-wanita di sekitarnya.

Gadis ini sungguh terlihat menarik.

Maka Erik melangkah dengan hati kebat-kebit, persis seperti remaja tanggung yang sedang melihat gadis pujaan hati untuk pertama kalinya. Lihatlah! Ia sedang menangis, maka Erik bergetar meraih sapu-tangan, bersimpuh mengulurkan sapu-tangan itu. Membuat Vin sekarang sempurna membeku.

Erik, pemuda idaman hatinya duduk di depannya?
Waktu seolah berhenti bagi Vin malam ini.

 “KAU! Kau pria tidak tahu malu! Bagaimana mungkin kau meninggalkan aku sendirian di meja untuk mendekati gadis gendut ini? Mendekati badak yang sedang menangis?” Wanita yang bersama Erik sejak tadi di SkyCafe berteriak marah, berusaha menarik Erik.

“Tutup mulutmu!” Erik mendadak menoleh, melotot sekaligus mendesis, “Jangan bilang wanita terhormat ini badak! Jangan sekali-kali! Ia wanita yang amat menarik. Aku justru bosan melihatmu berhari-hari…. Kau sama saja dengan gadis-gadis lain. Standar banget! STANDAR!”

Vin dan Jo sempurna melongo. Mulut mereka terbuka lebar. Ya ampun? Bagaimana mungkin Erik meneriaki gadis secantik itu di hadapannya dengan sebutan: standar banget?

Malam itu kehidupan Vin sempurna berubah. Ah-ya, tidak hanya kehidupan Vin, tapi kehidupan seluruh dunia.

***

Dan inilah yang terjadi enam bulan kemudian.
Ketika cowok-cowok di kota kami kehilangan definisi kata cantik, kehadiran Vin (dan Jo) seketika melegakan. Lupakan kesapakatan selama ini soal ukuran cantik dan seksi (yang diwariskan leluhur jutaan tahun silam). Itu kekeliruan besar. Cantik itu seperti Vin dengan wajah berminyak dan pipi tembam. Seksi itu seperti Vin yang memakai celana berukuran 42. Lihatlah, muka sendu Vin begitu memesona. Begitu menarik. Membuat hati berdebar tak henti ingin melihatnya. Membuat kepala tak kuasa untuk tertoleh walau sejenak. Maka malam itu Erik merasa pemuda paling beruntung sedunia, saat Vin mau berbicara dengannya.

Perubahan pemahaman atas kata cantik itu bagai badai yang menyapu seluruh sudut dunia. Wusss! Seminggu berlalu, cantik berarti Vin. Seksi berarti Vin. Wanita-wanita yang selama ini merasa dirinya paling cantik mulai tidak pede. Bagaimana tidak? Saat di kamar tidur, suaminya mengeluh, “Yang, tubuhmu tidak se-seksi Vin! Coba deh dibikin gendut sepertinya!” Saat berduaan di taman kota, pasangan cowok mereka mendadak bagai magnet tertoleh menatap Vin dan Jo yang sedang lewat.

Ampun! Vin berubah menjadi maskot kecantikan baru! Stasiun teve berebut menjadikannya bintang. Casting film juga begitu. Ini berbeda. Artis yang benar-benar berbeda dengan gadis-gadis selama ini. Sungguh menarik! Dan enam bulan kemudian ketika ukuran baru tentang cantik itu benar-benar mengambil-alih bisnis hiburan dan industri penampilan, maka terjadilah hal yang mencengangkan tersebut.

“Shampoo 3 in 1 baru. Membuat rambut Anda pecah-pecah dan berketombe! Cobalah!” Ada Vin di situ menjadi modelnya.

“Anda ingin terlihat gendut? Datanglah di fitness-center kami! Menyediakan layanan istimewa. No exercises. No barbel. Banyak makanan penuh lemak. Dan pijat relaksasi untuk membuat lemak itu bertahan lamaa….” Di iklan itu, ada artis pendatang baru (yang berhasil sedikit menggemukkan badannya) menjadi modelnya.

“Hot-Flower! Sabun mandi yang membuat kulit Anda hitam seketika! Anda akan terlihat begitu cantik dengan kulit hitam-legam!” Lagi-lagi artis pendatang baru yang sedikit berhasil membuat hitam badannya menjadi model.

Tapi artis-artis itu jelas kalah ’seksi’ dibanding Vin. Maka Vin menikmati popularitas tak-terkatakan. Dan lebih hebat dari itu semua, pemuda idamannya, pemuda yang dipujanya sepanjang masa, Erik Tarore sekarang sempurna menjadi miliknya. Benar-benar kehidupan yang hebat. Benar-benar takdir yang menakjubkan. Hidup seolah-olah tidak akan bisa lebih baik lagi bagi Vin.

***

“Kita semakin jarang bertemu, Vin!” Jo mendesah pelan.
“Aku sibuk, Jo! Kau tahu itu, kan! Ah-ya seharusnya kau mau menjadi bintang-iklan produk kecantikan itu, Jo. Tidak ada muka yang paling berjerawat se-dunia dibanding mukamu….” Vin melambaikan tangannya, sibuk menekan tombol telepon genggam. Menyuruh Erik menjemput.

Jo menggeleng prihatin. Jo juga sama seperti Vin menjadi maskot kecantikan baru. Diburu-buru untuk menjadi model iklan. Tapi Jo yang sejak dulu amat dewasa menghadapi kehidupan (termasuk soal takdir fisiknya), menolak. Baginya hidup tetap indah meski tanpa penampilan fisik “hebat” tersebut. Dulu indah, sekarang tetap indah, tidak peduli berapa kali ukuran relatif cantik-jelek itu mengalami perubahan.

“Lihatlah, kau sekarang amat memperhatikan tubuhmu, Vin. Sibuk mengukur lingkar perut, sibuk membuat muka berminyak, kau kehilangan waktu-waktu menyenangkan seperti dulu….”

Vin tertawa, mengangkat bahu. Peduli apa dengan masa-masa lalu? Bukankah semua ini menyenangkan?

“Kapan terakhir kali kau bengong di atas dudukan toilet. Merasa senang menatap pintu kamar mandi? Atau menikmati segelas orange-juice dengan santai?”

Vin benar-benar tertawa sekarang. Jo ada-ada saja. Buat apa coba mengenang hal aneh tersebut? Memang dulu menyenangkan sih, bengong sendirian, minum sendirian, tapi lihatlah kehidupannya sekarang?

“Kau juga semakin jarang bertemu dengan keluargamu, kan? Bukankah dulu kau amat dekat dengan Mama dan adikmu? Punya keseharian keluarga yang hebat….” Jo terus mendaftar keluhan berikutnya.

“Sudahlah!” Vin melambaikan tangannya.

Erik terlihat melangkah mendekat.

Bye, Jo! Aku pulang dulu, ya!” Vin memeluk mesra Erik.

***

Masalahnya dengan standar kecantikan yang baru tersebut, gadis-gadis lain di seluruh sudut dunia dengan cepat menyesuaikan diri. Enam bulan pertama, kecantikan Vin tetap tidak terkalahkan, tetapi enam bulan berikutnya, mulai bermunculan tubuh-tubuh gendut, wajah-wajah jerawatan, rambut kusut-masai, dan seterusnya dan seterusnya. Apa yang pernah dibilang tetua bijak? Wanita selalu merasa ingin tampil cantik, apapun itu bentuk standar barunya. Maka dimulailah penyesuaian besar-besaran dalam sejarah kecantikan dunia. Mengalahkan migrasi terbesar binatang yang pernah ada dalam sejarah kehidupan saat Ice Age jutaan tahun bahuela.

Istri-istri yang dulu menangis tersedu saat suaminya sibuk membandingkan tubuhnya dengan Vin, menyeka air-matanya, dan mulai melakukan serangkaian perubahan diri. Gadis-gadis yang diabaikan pasangannya di taman kota melempar rasa iri-hati jauh-jauh, mulai beramai-ramai ikut fitness ’gaya baru’, mengonsumsi makanan berlemak, dan semangat menggunakan kosmetika yang tokcer membuat wajah berjerawat.

Setahun berlalu, Vin perlahan mulai ditinggalkan. Apa mau dikata, cowok-cowok kota kami memiliki pilihan baru sekarang. Vin tetap terlihat paling cantik sih, tapi bukankah kata Jo ukuran cantik itu relatif. Vin soal gendut sih memang paling oke, tapi soal jerawat mah jauh! Soal muka berminyak sih oke, tapi soal wajah tirus? Soal rambut bercabang dan ber-ketombean? Aduh, sekarang yang lagi trend rambut keriting hancur-hancuran, bukan seperti rambut Vin. Lagian soal pipi tembam itu sama saja dengan saat dulu pria sibuk membandingkan gadis mana yang lebih seksi, (maaf) berbuah-dada besar atau kecil. Itu semua relatif. Tergantung selera.

Maka Vin mulai bergulat mempertahankan posisinya. Tidak pernah terbayangkan, ia yang dulu berusaha mati-matian mengusir jerawat di wajah, sekarang malah sengaja semangat menumbuhkannya. Demi karir-nya sebagai bintang iklan. Sebagai selebritis. Lupakan kehidupan menyenangkan dulu. Lupakan hari-hari tanpa beban miliknya dulu. Sekarang Vin sibuk mematut sana, mematut sini. Ia benar-benar dalam posisi di cemburu-i. Sibuk mengurus hal-hal yang dulu dengan rileks ia pikir buat apa coba diurus?

Dan celakanya, saat Vin mulai merasa lelah dengan kehidupan cantik-nya, Erik yang selama ini menjadi tempatnya berkeluh-kesah mulai bertingkah. Erik mulai berani larak-lirik wanita lain. “Apa aku kurang cantik?” Vin berteriak marah saat Erik malam itu lupa menjemputnya. Untuk pertama kalinya Erik tidak merasa perlu buru-buru minta maaf. Bagaimana tidak? Persis seperti lelaki normal lainnya sebelum urusan ganjil ini terjadi, Erik toh sekarang bisa mencari alternatif gadis yang lebih oke, bukan? Lihatlah! Sudah banyak ini…. Jadi kalau Vin bilang “putus”, masih ada banyak gadis gendut lainnya.

***

Dan malam itu Vin benar-benar menangis.
Tangisan pertamanya sejak setahun terakhir.
“KAU! Bagaimana mungkin kau mengkhianatiku, Jo!” Vin tersungkur di samping ranjang.

Lelah sekali ia selama seminggu mencari tahu dengan siapa Erik berselingkuh. Ia pikir dengan gadis ‘cantik’ yang dulu sering dilihatnya di SkyCafe bersama Erik (sekarang gadis itu juga terlihat ‘sama-cantiknya’ dengan dirinya, maksudnya sudah berubah gendut). Ia pikir gadis-gadis itu. Ternyata bukan. Erik ternyata berselingkuh dengan teman terbaiknya. Jo!

“Maafkan aku, Vin…. Aku sungguh tak ingin melakukannya. Erik yang menggodaku. Bilang wajahku cantik tiada tara!” Jo menyeka wajahnya yang berjerawat. Ikut menangis tertahan.

“BOHONG! Kau lah yang menggoda Erik!” Vin mendesis, menatap dengan mata merah.
“Aku tidak melakukannya. Sungguh, Vin! Percayalah.” Jo berusaha memegang jemari Vin.
Vin mengibaskannya, “JANGAN SENTUH AKU!”
Jo tertunduk, air-matanya jatuh berderai. Ia memang tidak pernah memulainya, meskipun selama ini tanpa sepengetahuan Vin ia juga menyimpan hasrat kepada Erik. Pemuda itu juga pemuda idamannya sepanjang masa. Jadi bagaimana ia menolaknya saat Erik datang semalam (dan juga malam-malam sebulan terakhir)? Memuji rambut keriting tak-tertolongnya?

Tadi pagi Vin yang sedih mengunjungi Jo, akhirnya tidak sengaja menemukan bukti perselingkuhan itu. Jo dan Erik sedang berduaan. Lihatlah! Erik sekarang berdiri terdiam seribu bahasa di sudut. Menatap mereka bergantian. Persis seperti remaja tanggung yang tertangkap basah berselingkuh. Dan sekarang bingung menatap dua gadis cantik di hadapannya yang sebentar lagi pasti akan memberikan “soal pilihan ganda” baginya.

Tentu saja ke siapa lagi Erik akan berselingkuh? Meski begitu banyak wanita cantik hari ini, hanya Vin dan Jo yang orisinil dari sono-nya. Bukan cantik setelah melalui serangkaian terapi dan proses. Rambut keriting tak-tertolong Jo seksi benar di pandangan matanya. Apalagi muka tirus itu….

“BAIK! Sekarang biarkan Erik yang memutuskan. MEMILIHMU ATAU AKU!” Vin berteriak kalap.

Jo menggigit bibir. Hendak bilang, jangan.

Erik mengusap rambutnya. Sungguh pilihan yang sulit!  Satu punya body oke dengan gelambir lemak. Satu punya wajah menawan dengan jerawatnya.

***

Malam itu langit terlihat amat buram. Bintang sempurna terusir awan kelam. Rembulan sabit bersembunyi malu. Langit pekat. Angin mendadak takut bertiup. Sepi. Seluruh kehidupan seperti sedang tertidur lengang. Di lantai dua sebuah rumah, jendelanya memang sudah redup, tapi penghuninya sedang takjim menatap langit luar. Penghuninya adalah Vin.  Vin yang mengangkat kedua-belah telapak tangannya.

Vin yang berkata lirih….

Urusan ini sebenarnya amat sederhana. Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.

Maka Vin berdoa amat takjimnya, “Tuhan, selama ini aku keliru, sungguh keliru... semua kecantikan ini.... Malam ini demi segala janji kebaikan yang masih tersisa, ajarkan aku untuk selalu memiliki hati yang cantik, hati yang cantik... Tidak peduli meski orang-orang tidak pernah sekali pun menyadari kecantikan hati tersebut….”

Malam itu langit tidak terbolak-balik. Tetap lengang. Tanpa petir. Tanpa geledek. Enam belas dadu dilemparkan. Sayang, tidak ada yg tahu sisi mana dari dadu-dadu itu yang bertuliskan kata: Amin!

***

(reposting dari notesnya Darwis Tere Liye  )
Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.