“Ah sialan lu, Fi,” Nola teman saya asal
Riau ngomel-ngomel waktu tau jadi korban candaan saya. Ekspresi wajahnya yang polos berubah jadi
kesal ketika tahu maksud dari Abdi goreng itu bukan saya cantik, tapi saya
jelek. Sementara teman saya yang lainnya ada yang terkekeh atau mengulum
senyum melihatnya. Ah, Nola apa kabarmu sekarang? Kangeeen…
Saya mengenal Nola cuma setahun saja.
Teman satu jurusan waktu kuliah di jurusan IESP (sekarang ilmu ekonomi) di Unisba.
Entah kesepakatan dari mana dan sejak kapan, selalu saja kalau ada teman yang
berasal dari daerah yang berbeda bahasa,
menyodorkan kosa kata baru yang bernada ‘jail’ jadi seperti hal yang
tidak bisa dilewatkan. Eh ini dulu, lho. Dan jangan dicontoh, ya.
sumber foto: klikkabar.com |
Setelah libur lebaran, sebelum memasuki
semester dua, Nola tiba-tiba meminta saya menemani mengurus administrasi pindah
kuliah. Saat itu perkuliahan masih libur namun untuk urusan administrasi di
fakultas masih tetap berjalan.
“Lho Nol, kok pindah?”
“Iya, emak gue nyuruh balik ke Riau,”
Nola pun menceritakan alasannya kenapa pindah.
Selesai mengurus administrai Nola mengajak saya makan siang dengan dua
saudara sepupunya dari Riau. Karena
tidak mengerti bahasa yang digunakan Nola dan saudaranya itu ketika ngobrol, saya diam saja.
“Lu ga ngerti kan, Fi? Rasain pembalasan
gue!” cetus Nola sebelum melanjutkan obrolan siang itu dengan bahasa persatuan,
bahasa Indonesia hahaha…
Ternyata Nola masih ingat janjinya tempo
hari. Ampun Nol.
Sebenarnya bukan hanya Nola teman saya
yang berasal dari luar Jawa Barat.
Teman-teman saya yang satu jurusan atau lintas fakultas banyak yang
berasal dari luar daerah juga. Dari ujung barat sampai ujung timur. Adri, salah
satu teman saya asal Makasar, malah punya kecerdasan linguistik yang
mengagumkan.
Dalam waktu singkat, kemampuannya
berbahasa Sunda nyaris tidak ada bedanya dengan
orang Bandung atau Jawa Barat. Walau strata bahasa Sundanya termasuk bahasa loma (bahasa sunda sehari-hari yang
tidak pas digunakan kalau ngobrol dengan orang tua atau yang kita hormati).
Saya
sempat terkikik mendengar ceritanya. Satu hari, audiens yang menunggu kehadiran
Band Potret (itu lho, bandnya Melly Goeslaw dan Anto Hoed) terkecoh mengira dirinya Melly.
"Urang disangka artis euy (saya dikira artis, lho). Ngan ngarambek pas nyaho lain Melly nu asli (tapi pada kesal pas tau bukan Melly yang asli)." Mungkin merasa rugi menghabiskan beberapa film untuk memotret. Akhir tahun 90an teknologi ponsel belum canggih dengan fitur kameranya. Jadi sebisa mungkin pengambilan foto dengan kamera memang efektif.
Wajah dan posturnya memang mirip hanya saja Adri ini lebih kecil. Sama seperti Nola, saya juga kangen sama Adri yang juga memutuskan pindah kuliah di kampus lain
"Urang disangka artis euy (saya dikira artis, lho). Ngan ngarambek pas nyaho lain Melly nu asli (tapi pada kesal pas tau bukan Melly yang asli)." Mungkin merasa rugi menghabiskan beberapa film untuk memotret. Akhir tahun 90an teknologi ponsel belum canggih dengan fitur kameranya. Jadi sebisa mungkin pengambilan foto dengan kamera memang efektif.
Wajah dan posturnya memang mirip hanya saja Adri ini lebih kecil. Sama seperti Nola, saya juga kangen sama Adri yang juga memutuskan pindah kuliah di kampus lain
Bukan Nola saja yang dibuat ‘roaming’
itu tadi. Kadang beberapa kali saya juga tidak mengerti ketika menyimak obrolan orang lain dengan
bahasa ibu yang berbeda. Misalnya ketika main ke Jogja dan bertemu dengan
teman-teman dari daerah Jawa dan sekitarnya. Hanya beberapa patah kata yang saya
tangkap. Sisanya? Blas! Daripada pusing dengan kamus yang harus dicari, saya
punya jurus ampuh untuk mengatasi. Tolong pakai bahasa persatuan. Hahaha…
lagi-lagi saya ingat omelannya Nola tempo hari itu. Duh, sebegitu kuatnya “semacam
kutukan” itu?
Beberapa waktu yang lalu, sekitar
pertengahan Mei 2017 ini MPR menggelar acara Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan
untuk teman-teman Blogger di Bandung. Jauh hari sebelum itu, sekitar 2 tahun yang
lalu di Solo ketika menghadiri acara Gathering Netizen MPR, saya sempat mengerutkan
kening. 4 Pilar MPR? Apaan sih? Jujur saja saya masih bingung. Walau dari SD
sampai kuliah semester awal mendapat pelajaran Pancasila, selama ini di kepala
saya tidak lebih dari sekadar teks, teori saja.
Barulah kemudian saya memahami kalau
aplikasi dari 4 Pilar Kebangsaan (Pancasila,UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan
NKRI) tidak ribet. Sangat dekat dengan keseharian kita.
Sebuah penelitan menemukan hasil kalau
Indonesia memiliki 741 bahasa, menduduki
peringkat kedua di dunia setelah Filipina. Uniknya, memilih bahasa Melayu yang
jadi bahasa nasional berasal dari populasi etnis minoritas jika dibandingkan
dengan etnis lainnya, bahasa Jawa yang lebih banyak penuturnya. Pemilihan
bahasa nasional tanpa konflik ini juga sudah disepakati jauh hari sebelum
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Masih ingat bunyi Sumpah Pemuda, kan?
sumber foto: http://www.damniloveindonesia.com |
Di sisi lain saya senang sekali ketika
film Shy-Shy Cat yang mengangkat kearifan lokal urang Sunda dalam balutan
komedi yang ringan, segar namun sarat
dengan pesan yang tidak menggurui. Kalau semakin banyak kearifan lokal yang diangkat menjadi cerita film (masih ada Salawaku atau Fabulous Udin yang bercerita latar belakang kebudayaan lokal) bukan tidak mungkin industri film nasional Indonesia jadi geraka budaya seperti film atau Drama Korea yang banyak penggemarnya di luar negeri. Kenap tidak? Ya, kan?
Jika diperhatikan, lingkaran pertemanan
yang kita miliki baik dalam keseharian atau media sosial (facebook, twitter,
instagram) saya yakin banget tidak ada
yang hanya terbatas dalam satu latar belakang suku saja. Bukan masalah juga, karena ada bahasa Indonesia
yang menyatukan semuanya dalam status atau komentar. Kalaupun ada bahasa daerah
yang terselip, malah bisa jadi salah satu cara
sederhana mengayakan perbendaharaan kata yang dimiliki.
Ini baru satu contoh saja dalam keberagaman yang ada di Indonesia. Kalau kekayaan bahasa tidak menjadi konflik,
saya berharap perbedaan lainnya tidak membuat Indonesia terkotak-kotak. Saya yakin
para founder father dan pejuang kemerdekaan dulu tidak rela melihat negeri ini jadi ribut
melulu. Ayolah, bersatu untuk Indonesia.
iya mbak, anugerah banget kita punya bahasa Indonesia. Tapi, masih tetep punya bahasa Ibu.
ReplyDeletewhat wonderful life 😍
Itulah hebatnya Indonesia.. makanya kita harus selalu jaga persatuan ini.. jangan sampai rusak!
ReplyDeleteBahasa Ibu itu kadang bikin brasa saudara apalagi kalau yg ngerantau, pengikatnya bahasa Indonesia karena kalau ngga ngerti2 banget bahasa ibunya bisa dicampur bahasa Indonesia :D
ReplyDelete