Thursday 12 September 2013

Resensi Buku : Sekotak Cinta Untuk Sakina

Judul Buku : Sekotak Cinta Untuk Sakina
Penulis        : Irma Irawati
Penerbit       : Qibla - Buana Ilmu Populer
Cetakan       : I/2013
Tebal           : 126 halaman
ISBN 10      : 602-249-318-8
ISBN 13      : 978-602-249-318-1



Apa yang terlintas dalam benak kita mendengar kata 'pesantren'?
Bagi sebagian banyak orang pesantren identik dengan tempat buangan, santri yang kumuh, dekil dan sederet negatif lainnya.

Betulkah?
Ehm, waktu SMP-SMA dulu, hampir setiap libur sekolah, orang tua saya selalu mewajibkan untuk 'nyantri' kilat. Awalnya, saya sempat bete juga. Apaan sih? Orang pengen asyik-asyik liburan, ini malah disurun ikutan mesantren. Ga asyik! Itu yang saya pikirkan. Well, itu awalnya, satu-dua hari setelah adaptasi perlahan saya mulai enjoy dengan atmosfirnya, mengikuti semua jadwal yang meski padat tapi sayang dilewatkan, seperti cross country, jalan ke kebun bunga, camping sampai jurit malam! Saya mulai enjoy dengan teman-teman baru dan merasa kehilangan setelah -tanpa terasa- waktunya mesantren usai.

Itu juga yang dirasakan oleh Sakina, gadis cilik murid kelas 3 SD ketika uminya memutuskan untuk menitipkan Sakina di sebuah pesantren yang dikelola oleh Umi Haya, yang juga teman lama uminya saat mondok dulu. Khawatir Sakina tidak bisa mengikuti materi pelajaran sekolah karena ayahnya yang kerap ditugaskan berpindah-pindah kota sebenarnya membuat uminya Sakina juga berat melepaskan Sakina. Demi pendidikan yang lebih baik, Sakina memaksakan diri untuk menerima keputusan itu, dengan harapan cukup satu semester saja, tidak perlu berlama-lama tinggal di pondok Pesantren putri Halimah Sa'diyah.

Sakina mulai membuat ulah dengan melanggar peraturan pesantren dan membanding-bandingkannya dengan sekolahnya yang dulu. Hingga suatu ketika, saat Sakina dan Vinka - teman sekamar Sakina - sama-sama menjalani hukuman, keduanya bertengkar hebat. Vinka yang saat itu dihukum karena makan sambil berdiri tidak terima Sakina menjelek-jelekkan pondok pesantren.

Saat 'diem-dieman' itulah, Sakina justru mulai menemukan 'asyiknya' mondok. Lewat sahabat-sahabat lainnya yang memberikan perhatian pada Sakina, kelembutan Umi Haya seperti layaknya seorang ibu kandung, kokok si Blorok ayam kesayangannya hingga cita-cita setekad baja yang dimiliki seorang murid kelas satu bernama Lana.

Nah, kebandelan apa yang dilakukan oleh Sakina,  bagaimana serunya hari-hari Sakina dan apa yang dimilliki seorang Lana hingga membuat Sakina terenyuh? Apa isi kotak yang dihadiahkan teman-teman Sakina di hari ultahnya? Akankah Sakina bertahan di pondok setelah Sakina akhirnya mendapatkan keluarga barunya?

Penulis menuturkan kisah Sakina selama di pondok ini dengan karakter natural khas anak-anak. Ketika seorang anak menunjukkan protesnya terhadap keputusan orang tua, bagaimana sebenarnya hati seorang ibu juga merasakan kesedihan saat harus melepaskan putri tersayangnya disampaikan dengan penuturannya yang ringan, mengalir dan  tentu saja mudah dicerna untuk segmen pembacanya. Dengan cover yang catchy serta pilihan font yang sedang, pembaca anak-anak tidak akan merasa 'njelimet' membacanya. Sayangnya kita tidak menemukan ilustrasi lain di dalam buku yanng mungkin bisa membuat anak-anak lebih tertarik lagi.

Lewat buku ini, penulis mengajak anak-anak untuk mengenal dunia pondok pesantren tidaklah sesuram dan 'garing' seperti yang dibayangkan. Ada banyak ibrah yang bisa dipetik pembaca anak-anak setelah membaca buku ini. Bukan sekedar patuh pada orang tua, atau membina hubungan yang baik dengan sesama teman atau mengajarkan kemandirian. Ada cita-cita luhur yang akan menjadi kebanggaan dan kebahagiaan orang tua saat anaknya mencintai dan menghapal Al Quran dan berbua mahkota bertabur cahaya saat hari akhhir nanti.

Saya tersenyum satire, malu sebenarnya dengan tokoh anak-anak dalam novel ini, bahkan dalam kehidupan nyata, ketika seorang bocah sudah mempunyai banyak hafalan Quran dengan tajdwid dan makhraj yang baik dan benar. Duh, saya sendiri harus bersusah payah menghafal juz 30. Satu surat hafal, beralih ke surat lain, surat yang sudah saya hafal malah jadi samar-samar. Hehehe.. Saya teringat lagi sebuah acara  yang digelar di sebuah stasiun TV saat Ramadhan kemarin yang menampilka bocah-bocah cilik yang mempunyai hafalan Quran yang luar biasa.

Ketika saat seorang anak dalam masa keemasannya, ia akan begitu mudah menyerap, menangkap dan menghafal informasi yang diterimanya. Sayang sekali kalau dibiarkan berlalu dan tidak mengisinya dengan hafalan Quran. Saya yang sudah usia kepala 3 mungkin tidak akan semudah mereka untuk menghafal, tapi tidak boleh menyerah. Bukankah Allah menghargai usaha hamba-Nya terlepas dari bagaimana hasilnya, kan?




Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.