Mas VS Aa. Ini bukan soal kontes lintas suku atau Kompetisi tinju atau ajang sejenis lainnya. Setidaknya kejadian dua kali dengan rentang waktu yang lumayan agak jauh. Enggak ada pemenangnya juga kok hehehe....
Biasanya saya suka menyapa seorang laki-laki yang enggak begitu kenal dengan panggilan mas. Entah itu di toko, tempat makan, atau tempat-tempat umum lainnya. Sangat jarang saya menyapa dengan sebutan aa, padahal darah sunda mengalir dengan derasnya dalam nadi saya. Lain cerita kalau orang yang saya itu terlihat sudah senior sekali atau dalam situasi formal, baru deh saya panggil Bapak.
gambar nyalin dari rizalyan.com |
Nah, beberapa waktu lalu, saya mengunjungi pameran buku yang digelar di Land Mark Braga, kira-kira sudah dua tahun yang lalu lah. Ada satu stand yang rutin saya sambangi, dan hampir selalu ada satu-dua buku dari sana yang saya pilih untuk dibawa pulang. Pastinya, dibayar dulu dong hehehe. Nah, ceritanya waktu itu saya mau nanya-nanya sama penjaga stand di sana. Kebetulan, yang posisinya enggak jauh dari saya seorang sales promotion boy, jadilah dengan reflek saya manggil mas.
"Mas, kalau buku ini berapa, ya?"
Eh, bukannya jawab pertanyaan saya, dia malah duluan protes.
"Duh, jangan panggil saya Mas, dong. saya kan masih muda, Aa aja deh," protesnya.
Glek! Saya tersenyum geli.
Aa? Saya perhatikan dari penampilannya, ya memang sih, masih muda. Belum sampai usia 25an, sekitar usia anak kuliahan lah. Saya nyengir aja denger dia ngmong gitu. Memang sejak kapan ada Mas-mas jadi kakaknya Aa-aa? Coba deh udek-udek di kamus KBBI kayaknya ga bakal nemu, sama halnya dengan kita manggil seseorang Bli, Uda, Abang, Encang atau apalah yang sejenisnya. Lagian masih mending kan, saya enggak manggil emang? Hehehe
Nah, lanjut, ternyata Mas VS Aa ini kejadian lagi waktu saya reunian bareng teman-teman SMP. Setelah selesai makan dan beremeh-temeh alias bernostalgia, kami bersiap-siap untuk pulang. Makanan sudah licin tandas di meja, tinggal bayar tagihan. Menjelang petang, suasana Rumah Makan Sunda yang jadi ajang reunian sudah agak sepi. Para pelayan yang tadinya ramai lalu lalang melayani pembeli mulai surut, entah sibuk berkutat di dapur atau istirahat.
Akhirnya, dari pojok belakang tempat kami ngumpul terlihat seorang pelayan lewat. "Mas, mas, sini dong! Billingnya," seru seorang teman saya.
Entah enggak kedengeran atau dia bermaksud melayani pengunjung lainnya, dia cuek saja jalan terus. Kedua kalinya, pelayan lain tetep acuh.
Insting saya mulai jalan. "Ini rumah makan sunda, kan?" pikir saya. Refleklah saya memanggil pelayan tadi dengan panggilan Aa. "A, sini, Minta billingnya."
Bingo! Dia melirik dan berjalan menghampiri meja kami,
Teman saya yang lain kontan protes, "Ih Efi, kok manggilnya Aa, sih? Kesannya kayak manggil suami gitu!"
Saya nyengir. "Ini kan restoran sunda, ga ada kamus jawa di sini. Liat deh menu sama deskripsinya nya juga ditulis pake bahasa sunda, nah terjemahannya aja pake bahasa Inggris. Bukan bahasa Indonesia,"
Ups, ga bermaksud SARA ya.But anyway, itu yang terjadi. Setelah itu, pelayan tadi datang menghampiri kami dan menyodorkan tagihan.
Nah, sekali lagi. Ternyata panggilan Mas atau Aa itu masih punya efek tersendiri, ya?