Friday, 24 September 2021

Tentang Kebhinekaan, Berbeda Tapi Saling Sayang


Kalau suka lagu-lagunya Dewa atau Ari Lasso mesti familiar sama lirik lagu yang ini. Yakiiin saya, ga mungkin ga mudeng.

"Segala perbedaan itu, membuatmu jauh dariku...."

Merasa related?

Pada kenyataannya, berbeda ga harus selalu menjauh. Berbeda malah bisa membuat kita bisa bersatu, kolaborasi. Buat saya yang menyukai sepakbola, liga-liga atau ajang pertandingan internasional adalah contohnya.

Saat menyanyikan lagu kebangsaan di Piala Eropa, Piala Dunia, Piala Asia atau kompetisi angtara negara akan selalu dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing. Kamera pun akan menyorot satu persatu wajah pemain yang akan berlaga. Inggris dan Perancis adalah contoh yang kentara di mana raut muka dan warna kulit tampak berbeda. Ga selalu mukanya British banget atau Perancis banget. Ada pemain berdarah campuran atau memperoelh naturalisasi. Diversifikasi di sana adalah hal yang lumrah.

Di kompetisi lokal sendiri semisal di EPL (English Premier League)  selain mengusung tagline  "no room for racism", ada satu prosesi yang dilakukan oleh para pemain bola di liga Inggris sebelum memulai pertandingan dengan berlutut.

Buat apa?

Tentu saja bukan buat pemanasan. Ini adalah simbol perlawanan sama yang namanya sikap dan tindakan rasialis. Industri sepakbola di kampung halamannya The Beatles membuat liga sepakbola di sini jadi bisnis yang menggiurkan. Jadi magnet bagi para pesepakbola dari berbagai negara untuk berkiprah, unjuk gigi dan tidak bisa dipungkiri jadi lahan mencari mata pencaharian. 

Lumayan banget lho pundi-pundi penghasilan mereka di sini. Auto tajir, jadi kaya raya. Dengan catatan berprestasi, ya. Kalau enggak, ya kesalip. Ga dapat panggung, ga dapat cuan alias uang.

Balik sama  keberagaman  tadi, di Premier League (nama liganya di sini), ada banyak pemain dari benua Afrika juga Asia yang merumput. Perbedaan latar belakang dan ras inilah yang menjadi konsen pengelola liga-liga dunia buat bilang tidak sama tindakan diskriminasi hanya karena perbedaan kulit, ras atau agama.

Itu di luar negeri.

Di Indonesia gimana?


Waktu SMP saya punya teman dari Ende, Nusa Tenggara Timur. Namannya Hellen, cantik dan manis.  Lepas SMP kami berpisah dan hilang kontak. Media sosial kemudian mempertemukan kami. Yang jauh jadi dekat. 

Sampai sekarang masih berteman. Ya, di sosmed alias IG saja. Jarang bertukar sapa karena algoritma IG yang membuat saya harus berusaha cari sendiri updatenya dengan ngetik namanya di kolom pencarian hihihi. Hai Hellen! Apa kabarnya? :)

Lalu waktu SMA saya juga saya punya teman yang bukan sundanese, dari Aceh dan Pare-pare. Kemudian, lebih banyak ragam suku dan ras  yang jadi latar teman-teman waktu saya kuliah di Unisba dulu.

Rasanya sudah seperti lagu, dari Sabang sampai Merauke. Komplit. Plus dengan keberadaan himpunan mahasiswa yang berasal dari kampung halaman yang sama. Waktu musim mudik, ada perhimpunan mahasiswa dari Minang yang mengoordinasi kepulangan bersama dengan mencarter bus.  Di situ saya meronta, sirik ga bisa mudik ke mana-mana :) Seneng deh lihat kekompakan yang mudik bareng itu. 

Ngomongin perbedaan kalau soal warna kulit, bahasa dan latar belakang sudah kita kenal lama. Jauh hari sejak SD dulu. Toleransi, tenggang rasa, tepo seliro dan istilah lainnya rasanya sudah ngelotok di kepala.  

Sadar ga sih, kalau keseharian kita dalam pergaulan juga lekat dengan perbedaan dalam urusan selera dan minat?

Dari bangun tidur sampai tarik selimut malah.  Misalnya ini:

Sarapan pagi: Makan nasi goreng vs bubur ayam - gorengan - roti & susu - makan buah saja.

Style Pakaian: Cuek - elegan - kalem - modis - sederhana - penuh warna

Musik:  pop - dangdut - rok - barat - klasik - modern

Contoh-contoh yang saya bilang tadi kalau dibreakdown bisa beragam lagi. Terus berantem? Enggak, dong.



Bukan menyalahkan, tapi lirik lagu yang saya kutip tadi ga bisa plek ketiplek berlaku dalam segala situasi.

Keseharian saya yang ga bisa jauh-jauh dengan dunia digital juga mempertemukan saya dengan teman-teman yang punya 'genre' yang sama padahal ga saling kenal di dunia nyata.



Tadi saya bilang kesulitan buat tau update di sosmed temen-temen lama saya. Bukan karena saya males ga mau cari tau atau ga mau interaksi.  Tapi lingkaran pertemanan dan algoritma sosial media seperti instagram menyodorkan update terbaru yang sesuai minat saya yang menyukai kucing, sepakbola, film, bisnis  dan niche berbau  optimasi sosial media.  

Update adik dan teman dekat saya pun ga muncul seliweran di timeline. Baru ngeh kalau ditag atau dimention. Nah, lho :D 

Diem  ga selalu ga  peduli. Kadang saya suka stalking, pengen tau kabar temen yang updatenya ga disodorin oleh algoritma IG. Baik-baik saja, kah? Situasi pandemi kemarin membuat kita saling berharap kabar baik yang didapat. 

Di lain waktu ketika teman-teman blogger pada bahas soal drakor di sosmed, saya cuma hah hoh aja. Ga ngerti. Siapa sih? Apaan?

Tapi di lain waktu terutama malam minggu saya anteng heboh bahas bola. Entah di status atau cuitan twitter. Malah yang satu ini ketemuan sama yang ga temenan atau ga kenal. 

But it's ok. Seru malah.

Berteman dekat bukan berarti segalanya harus sama dan berbeda bukan berarti unfriend atau auto putus pertemanan.

Perbedaan di antara kami itu pun kembali luluh ketika acara Gathering MPR bersama Netizen Bandung diselenggarakan sabtu lalu. Tepatnya tanggal 18 September 2021.

Bertempat di Hotel Crowne Plaza Jalan Lembong, acara yang diselenggarakan di ruang Aquamarine lantai 3 ini membahas topik tentang The Power of Bhineka Tunggal Ika: Bijak Bermedia Sosial Dalam Mewujudkan Karakter Bangsa.

Tahun sebelumnya saya bareng temen-temen blogger dan netizen Bandung juga ngumpul dengan MPR. Ceritanya bisa baca di sini


Pertemuan kali topik bahasan lebih mengerucut pada pilar ke-4 dari 4 pilar MPR yaitu mengenai Bhineka Tunggal Ika.



Pada hari itu hadir perwakilan dari MPR yaitu Ibu Siti Fauziah (Kabiro Hubungan Masyarakat dan Sistem Informasi Sekjen MPR RI) dan Budi Muliawan (Kabag Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga) yang didampingi oleh Nurliya Apriyana, dosen Vokasi UI yang juga pegiat literasi media sosial yang bertindak sebagai moderator pada acara hari itu.

Imej MPR yang formal seolah the untouchable sebagai lembaga pemerintahan hari itu terasa mencair. Ternyata begini rasanya kami dari berbagai latar belakang bisa memberi masukan dan masukan untuk kemajuan MPR terutama interaksinya dengan netizen di media sosial.  


Menarikanya latar belakang yang berbeda  itu memperkaya input yang kami berikan untuk kemajuan MPR. See? Siapa bilang beda itu masalah? Beda itu adalah sebuah keniscayaan. 

Selain ngobrol dan berdiskusi dengan tim MPR kami juga bisa melepas kangen dan bisa ngonten bareng. 

Niche boleh beda, tapi kami tetap saling sayang. 


Share:

2 comments:

  1. Betul bingit, berbeda ga harus selalu menjauh. Berbeda justru bisa membuat kita bisa bersatu

    ReplyDelete
  2. Merasakan banget bagaimana media sosial bisa menyatukan orang-orang yang satu 'genre'. Meski secara personal tidak terlalu dekat, tapi karena punya kesamaan kegemaran, diskusi menjadi menarik.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.