Ngomongin sejarah Bandung tempo dulu selalu menarik perhatian saya. Waktu SMP, koran Pikiran Rakyat terbitan hari minggu itu adalah edisi yang paling saya tunggu. Ada artikel yang ditulis oleh almarhum Haryoto Kunto yang belakang saya baru tahui beliau ini adalah salah satu pakarnya sejarah Bandung.
Kesempatan itu datang lagi ketika The Lodge Foundation menyelenggarakan seminar mini tentang Sejarah Tata Kota dan Arsitektur Bandung. Seminar ini bertempat di Herbal House by The Lodge yang juga bagian dari grup perusahaan The Lodge milik Heni Smith.
Pagi itu, minggu tanggal 8 November 2020 saya memasuki gedung Herbal House by The Lodge yang arsitekturnya masih kental dengan gaya Art Deco, khas assitektur zaman Belanda.
dokumen pribadi |
Hari itu ada Ir Bernardus Djonoputro dan Pak Jefri dari IAI Chapter Jabar yang jadi narasumber seminarnya. Dengan protocol kesehatan yang diterapkan, acara ini membuat peserta asik menikmati paparan hari itu selama kurang lebih 2 jam.
Dulu saya termasuk yang berpikir gedung-gedung antik dengan arsitektur art deco itu ya peninggalan Belanda. Ada kesan muram, horor dan kepedihan yang tertinggal di sana, mengingat sejarah penjajahan Belanda selama ratusan tahun.
Cikal Bandung Tempo Dulu
Tapi ternyata arsitektur Art Deco ini mempunyai makna perjalanan peradaban modern yang dituangkan dalam bentuk visual. Para pemikir dan perancang gedung-gedung pada masa itu punya pemikiriran berbeda.
Dalam paparannya hari itu, Ir Bernardus cerita dulunya penduduk Bandung masih sedikit sekali. Saat didirikan pada tahun 1864 populasinya hanya 11.054 orang saja. Komposisi pun sangat dominan dengan penduduk lokal di mana 11.000 orang terdiri dari orang Sunda, 6 orang Belanda, 15 orang Cina dan 30 orang Arab.
Tahun 1930an jadi titik balik perjalanan arsitektur kota-kota di dunia termasuk Bandung yang pada saat itu pernah diproyeksikan jadi ibukota oleh pemerintah Belanda. Ada yang inget dengan sejarah ini? Saya ga inget, dan bersyukur diingatkan lagi karena hadir di acara ini. Atau malah mungkin saya baru tau hari itu lho.
Titik balik ini yang menarik, karena menjadikan Bandung menjadi begitu istimewa. Konsep astitektur Art Deco yang identik dengan arsitektur gaya Belanda ini ternyata cuma ada di 3 kota dunia saja lho. Selain Bandung, ada Napier di New Zealand dan Miami, Florida Amerika Serikat.
gaya art deco di Napier gaya Art Deco di Napier, New Zealand. Source https://www.smithsonianmag.com/
Bentuk Perlawanan Pada Konsep Kolonial dan Feodal
Saat Bandung dalam rencana dijadikan ibukota tidak lepas dari semangat untuk persamaan status manusia, berlawanan dalam konsep feodal di mana hubungan sesama manusia seperti raja dan rakyat. Pengaruh revolusi Perancis pada 1799 juga jadi salah satu hal yang berpengaruh.
Masih ingat kan, saat itu sistem pemerintahan di Perancis berubah dari yang menganut monarki kerajaan jadi republik?
Konsep perlawanan terhadap penindasan sesama manusia ini dibongkar yang divisualkan dalam konsep Art Deco.Salah satu pemikirnya Charles Prosper Wolff Schoemaker. Karyanya bisa kita lihat adalah Vila Isola yang terletak di kampus UPI Jalan Setiabudhi, Bandung.
Vila Isola di UPI. Source: historia.id |
Pada saat itu, gaya arsitektur kolonial identik dengan gaya segitiga pediment (beberapa peninggalan yang juga ada di Indonesia misalnya White House di Amerika atau museum Fatahillah di Jakarta atau di semarang (saya lupa apa nama gedungnya).
Museum Fatahillah - Jakarta. Sumber:nativeindonesia.com |
Konsep segitiga pediment yang mencerminkan feodalisme ini
ditolak oleh para dosen-dosen di jurusan teknik sipil dan arsitektur di
Bandung. Pemikiran ini juga turut
memengaruhi pandangan politik Ir Soekarno yang juga mahasiswa di Technische
Hoogeschool atau sekarang di kenal ITB.
Huaaa ternyata urusan desain gedung juga punya makna filosofi yang dalam ya. Jadi ga heran kalau Presiden Soekarno juga sangat vokal menyerukan persamaan kedudukan bangsa-bangsa di dunia. Saya makin betah menyimak sejarah Bandung dengan arsitekturnya pada saat itu. Perut yang terasa lapar karena udah masuk waktunya makan siang masih bisa diganjal dengan cemilan yang tersedia.
Konsep Gedung-gedung Bergaya Art Deco
Art Deco ditandai sebagai bangunan yang tidak menekan, tidak menakutkan. Malah gemes, lucu, menarik dengan bentuk-bentuk geometris, bulat dimainkan dengan komposisi yang vital, kadang diulang-ulang.
Makna perlawanan Art Deco terhadap sistem feodal dan kolonial ini memprotes konsep gedung-gedung pada masa lalu di mana rakyat yang masuk ke dalam harus membungkuk. Di sini rakyat dikondisikan dalam mitos melihat raja dalam posisi seperti kodok. Dengan desain Art Deco saat itu, rakyat dikondisikan menjadi sebuah sistem, memiliki kedudukan yang sama dalam hubungan manusia. sebagai sesame khalifah yang menguasai alam.
Baca juga: Monolog 3 Wanodja Soenda
Pada tahun 1910an, gedung-gedung di Bandung masih dominan dengan gedung-gedung instalasi militer, terkesan militeristik, berupa benteng yang memberi kesan represif. Contoh gedung yang masih bisa kita saksikan sampai sekarang ada di jalan Gudang Utara, Jalan Gudang Selatan, dan Makodam.
Gedung Majestic di jalan Braga. Sumber: liputan6.com |
Gedung Sate mempunyai kombinasi konsep modern dan memadukannya dengan konsep lokal tradisional. Puncaknya berupa tusuk sate juga punya latar belakang yang menarik. Kalau yang satu ini silakan cri sendiri ya referensinya.
Konsep Art Deco ini punya tema macam-macam lho. Tidak terpaku sama satu gaya saja. Selain gaya sub marine di Vila Isola, ada juga yang desainnya seperti ekor pesawat, lokomotif kereta api atau Gedung Rumentang Siang yang tampilannya seperti kapal Kargo.
Gedung Rumetneang Siang di jalan Baranang Siang. Sumber: liputan6.com |
Kalau di Bandung para desainer Art Deco punya gagasan seperti yang saya bilang di atas, lain halnya di Miami, Amerika Serikat yang identik dengan Flamingo atau Napier di New Zealand yang mengangkat konsep sakral suku Mauri sebagai penduduk asli di sana. Gaya arsitektunya divisualkan lewat detil-detil tradisional dalam seni modern.
Pernah Direncanakan jadi Ibukota
Sekitar tahun 1918 pemerintah hindia Belanda pernah merencanakan untuk memindahkan ibu kota Hindia Belanda. Kebijakan besar ini bukan saja penting bagi pemerintah belanda. Tapi juga jadi fenomena dunia. Konsep Bandung yang dirancang sebagai kota layak huni sempat dibawa ke Pameran Ciam di Athena.
Desain awal Bandung adalah sinergi dari kerjasama berbagai elemen kerjasama yang berpengaruh yang melibatkan pemerintah dan masyarakat (para pemilik tanah besar di Bandung). Pada tahun Tahun 1930 ada gerakan masyarakat yang dikomandani ekspatriat dan para menak (bangsawan) untuk mempromosikan Bandung yang liveable/cantik.
Bandung yang sudah direncanakan sebagai bagian dari global konten mestinya jadi kebanggaan kita semua. Sayangnya kepedulian dengan warisan legendaris dunia ini mulai terkikis. Rasanya patah hati pas saya denger cerita interior gedung-gedung di jalan Braga sudah mengalami perubahan. Selama ini sebagian besar gedung-gedung yang buat saya berasa kayak di Eropa (padahal belum pernah ke sana hahaha) cuma nampak dari luarnya saja.
Art Deco dan Milenial
Padahal nih menurut para narsum juga Heni Smith yang urun berkomentar, para generasi milineal sekarang punya peran besar untuk mempertahankan konservasi gedung-gedung Art Deco di Bandung ini agar tidak sampai punah.
Perlu banget adanya perhatian dari para pemilik bisnis sekarang agar mempertahankan nilai sejarah juga selaras dengan meningkatkan nilai bisnis. Nilai gedung ini akan tinggi tinggi kalau nilai layak huninya lebih baik sehingga keberlangsungan konservasi gedung bersejarah itu bisa terus berlangsung. PR terbesarnya diperlukan modal yang tinggi untuk melakukannya.
Masih menurut Bu Heni, pihak pemerintah akan mengikuti kalau ada valuenya. Lalu tercetuslah ide untuk membuat eksibisi di Bandung dengan mengundang tim Art Deco dari Miami dan New Zeland. Kesannya simple tapi efeknya bakal dahsyat. Begitu menurut beliau. Huaaa… Saya pengen nyaksiin juga kalau sampai digelar. Beneran saya doain semoga terrealisasikan. Aaamiin.
Di sesi lain, Ir Bernadus bercerita pengalamannya ketika mulai mengumpulkan dok umentasi gedung-gedung bersejarah di Bandung. Aktivitasnya dimulai pada tahun 1990an dengan menggunakan kamera klasik. Aktivitasnya menghasilkan 2 koper berisi gulungan klise yang harus diafdruk dulu lalu dicetak dan dipilih kembali mana yang pas. Beda banget dengan fasilitas kamera jaman sekarang yang sekali jepret langsung jadi. Ga puas dengan hasilnya ya tinggal ulang.
Suka duka yang dialaminya buka hanya harus jungkir balik sampai ‘ngadapang’ alias tengkurap di tanah untuk mendapat angle foto yang pas atau naik turun pohon. Beliau juga sempat kena tampar tentara yang tidak berkenan melihat aktivitasnya itu.
Kami yang hadir dibuat ngakak ketika beliau mengenang saat menyusuri jalan di Dago, bisa sampai lepas satu tangan buat menyapa teman-teman yang berpapasan.
Many thanks buat dedikasi dan perhatiannya buat Bandung ya, Pak. Bandung di jaman dulu kayaknya jauh lebih romantis dari visualnya zaman Dilan saat tepian Bandung masih banyak dipenuhi pohon-pohon di sepanjang jalan dan udaranya yang sejuk.
Selesai acara saya sempat meliaht-melihat galeri foto gedung-gedung di Bandung pada tempo dulu juga beberapa barang peninggalan antik lainnya. Seru, bikin betah dan lupa waktu :)
Andai ada mesin waktu, saya pengen lihat Bandung di tahun 1920-1940 yang konon mempunyai arsitek terbaiknya mulai dari infrastruktur sampai estetisnya.