Maghrib itu entah kenapa perut
saya terasa sakit. Awalnya saya cuma mengira gejala normal siklus bulanan.
Tapi, kok ya, rasanya luar biasa banget. Tidak seperti biasanya kalau sedang
menstruasi, saya woles aja, tidak ada keluhan. Maka, materi bahasa Inggris yang saya ikuti di
tempat les tidak bisa saya cerna dengan
baik seperti biasanya. Rasa sakit itu
semakin hebat sampai ketika salat pun saya terbungkuk-bungkuk melakukannya,
meski begitu saya memaksakan untuk terus berdiri. Lupa, kalau dalam keadaan
seperti itu saya punya dispensasi melakukannya sambil duduk.
Sumber gambar dari sini |
Selesai les, saya terpaksa pulang
sendirian, tidak seperti biasanya karena teman saya yang selalu saya panggil Teh Imas dijemput temannya.
“Kamu yakin, ga apa-apa? Boncengan
ama kita, gimana?”
Saya menggeleng. Dengan jalur
jalan Kerkof Cimahi sampai ke rumah saya yang tidak semuanya mulus. Rasa sakit di perut sepertinya akan
semakin menyentak. Lagi pula berdesak-desakan di motor bertiga, dengan keadaan
sakit seperti itu tidak nyaman juga.
“Ya sudah, hati-hati dijalan ya,” Teh Imas mewanti-wanti.
Entah cobaan apa lagi, angkot
yang biasanya bersiweran di jalan jadi sulit saya temui. Dalam 3 angkot
yang semuanya saya dapatkan dengan susah payah, ternyata dalam keadaan kosong.
Setidaknya saya lebih nyaman duduk berselonjor tanpa merasa risih dengan
penumpang lain. Sambil menahan nyeri, saya berdoa semoga pak sopir memacu
mobilnya lebih cepat namun tetap halus.
Angkot yang saya tumpangi akhirnya tiba juga, tapi saya sudah tidak kuat
lagi berjalan. Tanpa banyak tawar
menawar lagi saya memanggil abang becak. Rasa sakit yang melilit perut saya
semakin luar biasa. Hingga saya sampai di rumah dan terkapar di kamar, sambil
menjerit memanggil orang-orang rumah. Siapa saja yang saya sebut, sekenanya
karena tidak tahan lagi. Saya tidak
berani menanggil Mamah yang sedang menghadapi murid-muridnya yang sedang les.
Untunglah ada dua adik saya Dian
dan Hasnah yang sedang santai. Gegas kedua adik saya memberikan saya norit
dan madu. Tapi semuanya mental, saya malah muntah yang bercampur lendir
kehijauan. Ih, apaan ini? Saya tidak berani berspekulasi jauh. Cuma keluhan
panjang, tidak seperti biasanya saya yang dicap flat ini bisa menyerah dan
cengeng. Warm sack yang ditaruh di atas perut tidak juga berefek. Saya terus
muntah-muntah mengotori baju, selimut dan sprei.
Besok paginya tidak juga ada
pengaruh, kondisi saya yang semakin
buruk. Tadinya saya pikir kena
masuk angin. Terapis bekam langganan
coba saya hubungi. Biasanya kalau masuk angin sudah hebat begini saya
menyelesaikannya dengan bekam, dan berhasil. Tapi sampai sore itu, ternyata
terapisnya juga sibuk kewalahan dengan pasien-pasiennya yang membludak.
Dian yang pernah dirawat di rumah sakit, karena
gangguan liver mulai curiga. “Ini sih
bukan masuk angin biasa, kamu harus dibawa ke UGD, deh. Aku siapin baju kamu,
ya?”
“Hah, buat apa?” tanya saya
dengan suara lemah.
“Feelingku kamu kudu dirawat nih.”
Deg! Dirawat? Bahkan seingat saya terakhir kali disuntik
itu sewaktu SD, itu pun buat vaksin saja. Lalu terbayang suasana rumah sakit
yang saya benci. Aroma obat, kain putih, selang dan ah.....
Tapi rasa sakit itu semakin
hebat. Akhirnya saya menyerah, dan menyanggupi. Dian juga yang meyakinkan kedua
orang tua saya, kalau sakit saya bukan sakit biasa. “Bahaya Mah, Pa kalau di
biarkan.”
Sore hari setelah ashar, Mamah dan Apa pulang lebih awal. Sambil didampingi
adik saya Dian, saya dibawa ke UGD. Dan baru kali itu saya harus duduk di kursi
roda menuju UGD. Sepertinya sakit yang saya alami saat itu memang serius
sekali.
Dokter jaga dan perawat gegas
memeriksa saya. Tidak lama berselang, seorang dokter spesialis menghampiri saya.
Usianya saya taksir menjelang kepala 6 tapi masih sehat dan tegap. Dr James,
dengan tenang menyapa saya dan menyampaikan prediksinya. Saya sadar kalau
prediksinya bukan asal-asalan, pastilah dengan jam terbangnya yang mumpuni
beliau sudah punya gambaran. Meski begitu dia tetap dengan hati-hati
menyampaikannya.
“Mudah-mudahan bukan kista, ya.”
Hah? Kista? Tapi saya tidak pernah sakit kalau lagi mens,
protes saya dalam hati. Selang infus dan selang NGT yang masuk ke tubuh melalui
hidung saya sudah cukup meyakinkan saya kalau saya harus nginep. Itu pengalaman
saya pertama kali menginap di rumah sakit sebagai pasien. Saya cuma bisa pasrah
aja.
Sementara Mamah pulang duluan,
Dian, adik saya masih stand by menemani saya.
Dengan gaya kenesnya, masih bisa mengajak saya bercanda. Saya harus
menahan tertawa karena sedikit saja tubuh saya berguncang, perut saya semakin
terasa sakit, dan rasanya sangat tidak nyaman, sakit sekali.
Tidak perlu menunggu lama,
akhirnya diagnosanya keluar. Betul saja, ada kista bersemayam di perut saya.
Bukan hanya ukurannya yang be sar tapi juga sudah pecah dan rembes ke usus.
Pantas saja kalau muntah sampai bercampur lendir. Tidak ada pilihan lain, saya
harus mau dioperasi untuk mengeluarkan kista berdiameter 10 cm yang tidak pernah saya sadari kemunculannya itu plus
membersihkan usus yang sudah tidak karuan karena terkontaminasi.
Saya membiarkan ibu saya
menandatangani pernyataan keluarga untuk dioperasi. Dua hari menjelang operasi
itu, dua adik saya bergantian menunggui saya. Mewaslapi sampai menemani ke toilet
untuk buang air. Mamah tidak bisa sepenuhnya mendampingi saya karena tugas
mengajarnya tidak bisa ditinggalkan. Jadi selama 2 x24 jam itu dua adik saya
Dian dan Hasnah yang sedang sibuk dengan skripsi bergantian menemani. Bahkan
Hasnah sampai membawa laptop saat menginap. Sementara sahabat saya Dadi, di
Sekolah (waktu itu saya masih bekerja sebagai staf tata usaha di sebuah SD)
sudah saya hubungi dan memintanya untuk menyampaikan berita saya tidak masuk
kerja entah untuk berapa hari.
Jumat siang, lepas jumatan
akhirnya saya naik meja operasi dan baru kembali ke kamar setelah Isya. Giliran
Mamah yang menemani saya malam itu dan saya baru kembali sadar sepenuhnya
saat jam menunjukkan jam 11 malam.
Besok harinya, setelah Mamah
pulang Hasnah kembali datang, menemani seharian penuh bahkan kembali menginap. Biasanya kalau sudah terlelap, susah sekali
membangunkan adik saya yang satu ini, tapi saat malam hari ingin ke toilet,
begitu mudahnya Hasnah terbangun, membantu saya berjalan ke toilet sambil
menyeret tiang infus yang masih
terpasang. Saat saya bosan, Hasnah menemani saya menikmati healing garden yang
terletak di lantai 4 rumah sakit.
Sumber gambar dari sini |
Cukup seminggu saya menginap di
rumah sakit. Namun kondisinya belum
sepenuhnya pulih karena luka operasi yang memanjang membuat saya tidak leluasa
bergerak, untuk tidur pun saya hanya bisa terbaring, tidak bisa miring ke kanan atau ke kiri seperti
biasanya. Bahkan untuk beringsut sedikit pun, harus pelan sekali bergerak.
Karena perut saya yang masih
tidak nyaman ditambah harus makan yang
lunak-lunak, saya harus makan bubur dan lauknya yang lembut. Lagi-lagi Hasnah
yang jadi koki buat saya. Terkadang saya protes karena rasanya hambar atau
tidak enak. Makanan macam apa pula yang enak buat orang yang sedang sakit, ya?
Enggak ada, dijamin, deh. Syukurlah Hasnah
tidak meladeni protes saya yang mendadak rewel.
Maka untuk waslap, mengganti
perban, makan pagi sampai makan malam, saya tergantung dengan adik saya, Hasnah.
Pernah sekali waktu Hasnah membuatkan tim kentang, lumayan enak meskipun perut
saya tidak bisa banyak menampung makanan. Rasanya cepat penuh, mungkin pengaruh
operasi juga.
Sekitar seminggu setelah kembali
ke rumah saya harus rawat jalan, karena masih tidak kuat berjalan saya ditemani
Hasnah. Sampai akhirnya selama 3 minggu
cuti dari pekerjaan dan bolak balik ke rumah sakit untuk kontrol ada banyak
peran Hasnah mendampingi.
Sudah lebih mendingan, akhirnya
saya kembali ke Sekolah. Tadinya saya pikir akan ada banyak PR bertumpuk
setelah saya tinggalkan, tapi ternyata masih ada satu pahlawan buat saya. Dadi
yang terbiasa bekerja dengn komputer banyak membantu saya menyelesaikan
pekerjaan. Entah kalau tidak ada adik-adik
saya dan sahabat saya, Dadi. Sepertinya, lepas cuti dari masa perawatan saya
akan kewalahan.
Alhamdulillah, Allah maha baik. Setelah harus bertarung hidup mati di meja operasi, masih ada pahlawan di sekitar saya yang jadi penolong saya. Sampai detik ini, saya tidak pernah menyangka bisa melalui semuanya. Terimakasih banyak buat kalian semua.
Alhamdulillah, Allah maha baik. Setelah harus bertarung hidup mati di meja operasi, masih ada pahlawan di sekitar saya yang jadi penolong saya. Sampai detik ini, saya tidak pernah menyangka bisa melalui semuanya. Terimakasih banyak buat kalian semua.
Tulisan ini disertakan untuk ajang Syukuran di Bulan Maret : Sang Patriot di Kehidupan Kami
jadi yang namanya sosok patriot itu gak hanya seorang saja ya mak...
ReplyDeleteIya, bener bingit. Kadang dalam keadaan tertentu, selalu aja ada pertolongan yg ga disangka, ya.
Deletealhamdulillah yaaaa.... dikala kepepet ada saja ya patriot dari tuhan hehehe
ReplyDeleteiya, pertolongan Allah itu deket banget, ya
Deletebegitulah gunanya keluarga ya mak...alhamdulillah opersinya sukses :)
ReplyDeleteiya, sukses mak. :)
DeleteAlhamdullillah ternyata banyak dapet pertolongan ya mak disaat seperti ini.. :)
ReplyDeleteSemoga lekas membaik ya mak! ;)
Ini saya alami akhir tahun 2012 kok, mak. :) anyway makasih sudah berkunjung
DeleteHatur nuhun teteh Efi sudah turut menyemarakkan Tasyakuran Sang Patriot
ReplyDeleteterimakasih udah dikunjungi, mas :D
Deletesemoga sehat selalu ya teh Efi, biar perjuangan para patriot yg membantu teh efi itu nggak sia-sia :)
ReplyDeleteAammi, Mae :)
DeleteAdik-adik yang baik memang harta dan patriot yang tak ternilai. Semoga selalu sehat, Mak Efi. ^^
ReplyDeleteIya Mak, punya adik banyak dan kompak itu sesuatu banget.
Deletesenangnya punya adik-adik yang perhatian ya, mak..
ReplyDeleteAku sampe meringis baca cerita tentang kista berdiameter 10cm itu.Padahal tanpa ada keluhan sebelumnya. Jadi ngeriii..
Semoga dirimu sehat selalu ya,mak :)
Iya mak, aku ga nyadar, ga ada keluhan sakit atau benjolan di perut misalnya. Thanks doanya, ya, mak. Aamiin :)
DeleteSaya juga takut dengan jarum suntik :)
ReplyDeleteWew, terharu. Pesan yang dibawa oleh tulisan ini, ada banyak orang baik di sekitar kita.
Terima kasih telah turut menyemarakkan Syukuran di Bulan Maret. Salam hangat dari Jember.