Saturday 1 June 2013

Memaafkan : Hati Seluas Samudera itu Berbalas Surga.

gambar ngambil dari sini
"Ah, biarin aja dia gitu. Itung-itung dapet transferan pahala, kan lumayan."

Pernah denger selorohan seperti ini? Atau mungkin kita sendiri yang mengucapkannya. Saat kita mendapat perlakuan yang enggak mengenakan dari seseorang, kadang terlintas perasaan seperti ini, ya? Jujur, saya juga sering kepikiran seperti ini.

Padahal, mungkin tanpa sadar ada sikap atau kata-kata saya yang membuat orang lain terluka. Kadang, perasaan ego manusia kita juga sedikit terusik saat diingatkan ada sikap atau kata-kata kita yang tidak semestinya. Kadang, mungkin kita punya argumen lain. "Abis, dia gitu, sih." atau "Ah, masa, sih?" dan sederet pledoi lainnya. Ehm, jujur, saya juga pernah membela diri seperti itu. Ah, malu deh.

Lalu, pekan kemarin saya dibuat tercenung. Tepatnya, kamis malam lalu saat saya mendengar relay langsung kajian marifattullah dari Masjid DT. Saat itu Aa Gym memberikan materi tentang hati yang bersih. Persis seperti yang saya ceritakan di atas.

Apa pasal yang membuat sayang merenung?
Dalam ceramahnya, Aa Gym membuat saya berpikir dari sudut pandang lain. Justru, kita jangan "memanfaatkan" kezhaliman orang lain untuk mendapatkan transfer pahala gratis.
"Jangan, memanfaatkan kezhaliman orang lain. Surga itu kan luas. Kita doakan saja dia berubah jadi baik. Mending kita doakan saja masuk surga bareng-bareng."

JLEB.
Saya tersenyum masam mendengarnya. Rasanya seperti kesindir. Ah, mindset saya selama ini barus berubah, ya. Lalu saya jadi teringat kisah Rasulullah SAW saat berada di Thaif. Saat itu, beliau sedang dirundung kesedihan , setelah beberapa waktu sebelumnya secara berturut-turut ditinggalkan Bunda Khadijah dan paman tercinta, Abu Thalib.

Berangkatlah Rasulullah menuju Thaif, mencari pembesar di sana yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Alih-alih mendapat sambutan, penduduk di sana malah mengusir dan melempari beliau sampai terluka. Saat itu, datanglah malaikat Jibril menawari Rasulullah pertolongan untuk menimpakan gunung Qubais dan gunung Qa’aqa’an. 

Tapi Rasulullah menolak. Malah, Rasulullah mendoakan agar dari penduduk Thaif lahir generasi yang shaleh. "Ya Allah tunjukanlah kepada mereka jalan yang lurus.  Sesungguhnya mereka melakukan itu karena mereka tidak mengerti," ujar Rasulullah dalam doanya.

Duh, begitu pemaafnya, ya Rasulullah. Apa yang kita alami mungkin cuma seujung kuku dibanding perihnya penderitaan Rasulullah. Kita juga ingat bagaimana perlakuan sahabat Umar sebelum memeluk Islam, tapi Rasulullah mendoakan Umar bin Khaththab jadi salah satu pilar kejayaan Islam pada masa itu, dan Allah mengabulkan doanya.

Kita juga tidak lupa dengan kisah Yusuf as yang memaafkan perlakuan saudara-saudaranya yang pernah "membuang", atau Ayub as yang memaafkan istrinya dan jangan lupa juga, bagaimana sadisnya Hindun yang memakan hati Hamzah, paman tercinta Rasulullah, tapi masih dimaafkan.

Seperti yang Allah perintahkan dalam srat Al-A'raf ayat 199. "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang baik serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh."

Melupakan, barangkali memang bukan perkara mudah. Tapi, dengan memaafkan, akan membuat ingatan pengalaman tidak nyaman itu tidak membebani pikiran kita. Plong. Bukankah, samudra yang luas tidak terpengaruh warna dan rasa meski kita membuang bangkai ke sana? Ah, enggak mudah, ya? Tapi mengasah jiwa maaf itu memang perlu waktu. Setidaknya, waktu yang berlalu tidak sia-sia hanya karena sibuk memikirkan orang lain. Mungkin, dia acuh tak acuh, masa bodoh. Biarkan, saja. Tapi, jangan sampai kita dibuat rugi dua kali. Hei, bukankah kita juga pernah merasa bersalah, dan rasanga legaaa sekali saat dorang lain memaafkan kita. Move on, so you can Move Up.

 

Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.