Judul :
Sewindu, Cinta Itu Tentang Waktu
Penulis : Tasaro GK
Halaman : 382 + x
Penerbit : Metagraf – Tiga Serangkai, Cetakan I – Solo 2013
ISBN :
978-602-9212-78-5
Harga :
Rp. 82.000,
Akhir bulan lalu saya dicolek seorang
teman di jejaring sosial twitter, ada lomba resensi buku terbaru Tasaro yang
digelar penerbit
Tiga Serangkai. Sebenernya nih, jujur aja saya sudah rindu
berat pengen mengkhatamakan seri ke-3 trilogi Muhammad, Para Pengeja Hujan.
Rupanya, saya harus lebih bersabar menanti kehadiran buku ketiga itu. Baiklah, untuk mengobati kerinduan, saya
segera meluncur ke toko buku untuk memburu novel Tasaro yang sebagian bukunya
menghiasi jajaran buku di rak lemari saya.
Sedikit intermezzo, saya termasuk
pembaca yang telat mengenal tulisan-tulisan Tasaro. Saya baru ‘ngeh’ keberadaan
Tasaro di awal tahun 2011 saat berbagai blog dan akun di facebook riuh membahas
Muhammad Penggenggam Hujan. Beruntung, selang berapa waktu kemudian saya
berkesempatan bertemu langsung Tasaro dalam diskusi 3 bukunya di Pameran buku
Bandung dalam 3 waktu berbeda. Nah, pengalaman konyol yang enggak bisa saya
lupakan saat menghadiri diskusi buku Nibiru dan Ksatria Atlantis. Saat itu
moderator diskusi yang juga tim dari
Tiga Serangkai yang datang bersama Tasaro
menggelar kuis. Saya yang masih ‘lupa-lupa inget’ nama asli Tasaro mengacungkan
tangan dan sukses menjawab pertanyaan moderator dengan sedikit ngaco. Waktu itu
Saya cuma inget nama depan Tasaro, dan akronim GK. Jadi, waktu itu saya bilang
kalo saya Cuma inget Taufik apa gitu, GKnya ya Gunung Kidul, kampung halamannya
Tasaro. Sambil ngasal sedikit maksa, saya bilang kalo Ro untuk suku ketiga nama
depan Tasaro itu, kalau enggak salah Rohman, gitu, ya?
Bwhahahahaha.... saya masih ingat reaksi
moderator saat itu. “Kok jadi kayak ayat-ayat cinta, ya?” candanya. Aiiih, malu
deh saya. Tapi untunglah, waktu itu moderatornya berbaik hati, hadiah buat saya
enggak diurungkan. Satu kaos hitam dengan desain Nibiru berhasil saya bawa
pulang dan tentunya buku Nibiru milik saya juga dibubuhi tandatangannya Tasaro. Sejak
itu, saya jatuh cinta dengan ramuan kata Tasaro yang sederhana, kadang meliuk,
menukik dan ‘nendang’.
Nah, sedikit berbeda dengan buku
Tasaro lainnya Muhammad yang beraroma faksi, atau Kinanti tokoh fiksi, atau petualangan fiksi fantasi Daca Suli dalam Nibiru, buku
teranyar Tasaro ini bertutur perjalanan hidupnya. Sewindu : Cinta itu Tentang Waktu bertutur perjalanan
kisah Tasaro bersama Istrinya mengarungi bahtera rumah tangga. Eh, Autobiografi?
Mungkin terlalu singkat untuk menekuri kisah seorang pesohor dalam rentang
waktu 8 tahun, ya? Jujur saja, awal pembuka kisah, ada sedikit kebosanan yang
menyergap saya. Di mana gregetnya, ya? Perlahan, saya terus membaca cerita
Tasaro saat awal-awal tinggal bersama dengan Alit Tuti atau ‘Eneng’ – panggilan
Tasaro untuk istrinya. Diksi khas Tasaro yang sederhana tapi sarat makna itu
akhirnya berhasil meyakinkan saya, Sewindu-nya Tasaro itu bukan sekedar sharing
kisah seorang penulis semata.
Bagian kedua dari buku ini, mulai
menggairahkan buat saya. Dengan alur maju mundur dari setiap potongan
episodenya, Tasaro bercerita pergulatan Tasaro untuk memperbaiki diri,
bermetamorfosa berusaha menjadi seorang
muslim yang lebih baik. Tanpa sungkan-sungkan, Tasaro bertutur usahanya untuk
menaklukan lidahnya membaca setiap huruf demi huruf Al Quran yang terasa mbulet, kerap tertukar. Dalam waktu
bersamaan kehilangan dua orang yang dicintai (Ummi dan Mih), hingga akhirnya
kehadiran buah hati yang meramaikan suasana rumah. Nah, di sinilah, Tasaro
mulai membuat dua sudut mata saya mulai basah, menganak sungai. Setelah harus
mengalami dua kali keguguran, ‘Neng’ yang kemudian disapa dengan ‘Nda’ akhirnya
mengandung putra pertama meski harus menjalani proses operasi Cesar yang bisa membuat
wanita manapun meringis ngilu mendengarnya. Tidak mudah mengatasi trauma sakit
itu, apalagi sebelumnya Nda juga harus sempat melalui operasi kuret dua kali
sebelumnya.
Saat kelahiran putri keduanya, Tasaro
memposting tulisannya di akun FB, lebih dari cukup untuk membuat pembacanya
meleleh.
Di
mana lagi aku temui perempuan semacammu?
Tilawahmu
tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar padaku.
Tapi,
dimanakah lagi perempuan seikhlasmu?
Wajahmu
tak cantik melulu, makananmu pun tidak lezat selalu.
Tapi,
katakan kepadaku, di mana lagi aku
jumpai perempuan seperkasamu?
...............
(Persembahan buat setiap perempuan,
dan ibu yang hatinya semembentang samudra)
O, ya, dua nama dari putra-putri
Tasaro, Senandika Himada dan Pairidaeza Pawestri, diambil dari bahasa Persia,
mengingatkan saya pada sosok heroik, Atusa dan Baginda Rasulullah SAW dalam dua logi novel
Muhammad. Sepertinya Persia yang eksotik punya tempat yang istimewa buat
Tasaro. Seperti yang kita tahu, Himada adalah sebutan lain untuk Muhammad dalam
bahasa Persia. Sedangkan Pairidaeza adalah akar dari kata Paradise dan Firdaus
yang bermakna surga.
Lembaran berikutnya, Tasaro berbagi
masa lalunya yang perih dan tidak seindah anak-anak yang tumbuh dari keluarga
yang tidak lengkap. Tumbuh bersama
Ibunda, sosok guru tiga jaman yang gigih menghidupi anak-anaknya, kecintaannya pada
buku sudah tersemai sejak di bangku SD. Nah, kabar bagusnya buat saya dan
teman-teman lainnya yang merasa payah
dalam soal eksak, Tasaro pun mengalami hal yang sama (hiyaaa, giliran beginian kok malah girang, ya? hehehe). Mengambil pendidikan
jurnalistik setara diploma, perlahan Tasaro menemukan ‘chemistry’ hidupnya yang
menghantarkannya pada kelihai-annya mengolah kata, meramu makna dalam setiap
bukunya yang kita baca. Mungkin nih ya, kita tidak akan pernah menikmati kisah
manusia akhir jaman yang begitu menginspirasi, Muhammad saw atau fantasi yang
sangat meng-Indonesia, Nibiru dan luar biasanya Kinanti kalau saja Tasaro
memilih jalan lain.
Masa lalu Tasaro yang tidak
lurus-lurus saja, seperti halnya gambaran lelaki shalih lainnya seolah
mengingatkan kita. Setiap manusia, selama nafas masih terhembus, selama itu
juga dia masih punya kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Filosofi ini juga yang kemudian mencairkan kebekuan hubungan antara Tasaro
dengan sang Ayahandanya setelah sekian tahun terpisah.
Errrr, dengan banderol Rp. 82.000,
sekilas buku ini terkesan mahal, ya? Eh, tapi dengan cover dan lay outnya yang berwarna,
harganya sepadan lho dengan yang kita dapatkan. Nah, penasaran, bagaimana sih heroiknya
Ummi? Sosok guru tiga jaman, seorang ibu yang luar biasa yang begitu
menginspirasi lembaran perjalanan hidup Tasaro? Seistimewa apa sih Nda di mata
Tasaro sampai catatannya di Facebook mengundang banyak komentar? Apa sih, arti
dari Senandika dan Pawestri, ya?
Lalu, seperti apa sahabat-sahabat Tasaro yang
berragam latar belakang meluruskan pandangan kalau kesalehan seseorang tidak
melulu dari sisi rutinitas ritual to?
Bagaimana Mimpi-mimpi Tasaro untuk membentuk wisata buku di tempat tinggalnya, juga perdamaiannya dengan masa lalu bersama
sang Ayah? Silahkan temukan kisahnya
dalam buku ini. Jangan lupakan juga, ciri khas Tasaro dalam meracik setiap
pilihan katanya yang sarat makna. Seperti satu quote dari Tasaro sangat
mengena, membuat saya merenung arti kebesaran hati, Memaafkan bukan hanya
berarti tak mendendam, namun juga menyemai bibit cinta pada sisa-sisa ladang
yang dulu porak poranda.