Tuesday 4 August 2009

Dan Masjidpun Penuh Oleh Mereka yang Menshalatkan-nya

Seminggu yang lalu, di akhir bulan Juli 2009, sebelum maghrib saya mendapat telepon dari Bu Anna, guru kelas 6 di sekolah tempat saya bekerja. Sambil tercekat, Bu Anna, memberitahukan saya kalau Bu Eulis sudah pergi, meninggalkan kami semua. Semua terhenyak kaget. Baru saja sehari sebelumnya Kepala Sekolah juga memberitahukan kalau Almarhumah masuk Rumah Sakit. Rencananya saya baru akan menengok bareng dengan guru-guru yang lain. Menyesal rasanya hari selasa itu saya harus menghadiri acara di luar sekolah, sampai rencana untuk menengok itupun tidak pernah terlaksana.
Esok harinya saya dengan guru-guru di sekolah pergi melayat ke rumah Almarhumah. Subhanallah, saya terharu, iri dan entah perasaan apa lagi yang hinggap. Betapa tidak, mulai dari yang datang melayat, menshalatkan hingga prosesi pemakaman begitu banyak orang yang datang berduyun-duyun melayatnya.
Saya dan beberapa rekan lainnya sempt mengobrol, betapa menyesalnya kami waktu itu tidak sempat menengok beliau, sementara salah seorang guru senior juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, setelah beliau sempat melayat Bu Eulis 2 jam sebelum kepergiannya. Dalam benak saya pita rekaman beberapa waktu sebelumnya seperti beputar seperti slide film. Saya teringat kemballi ketika liburan akhir tahun bulan Juni lalu saya masih sempat bercanda dengan almarhumah dalam perjalanan, saya teringat humor-humor lucunya beliau dan ya Allah,… satu hal yang saya ingat beliau tidak pernah tergesa-gesa meminta saya segera mengetik perkejaan yang ia berikan. “Santai aja ya neng, ga usah buru-buru,” ujarnya suatu hari. Seorang siswa kelas 2 yang beliau ajar – beberapa hari sebelum kepergiannya – sempat bercerita pada eyangnya, dia melihat betapa cantiknya Bu Guru hari itu. Tidak ada yang tahu kalau ternyata bocah cilik itu tidak dapat lagi menatap wajah cantik Ibu gurunya lagi.
Setelah beberapa waktu disemayamkan di rumah duka, keluarga lalu membawa jenazah almarhumah ke masjid terdekat untuk dishalatkan. Ya Allah, lagi-lagi saya dibuat terpana, haru dan iri. Tidak hanya untuk melayatnya saja, bahkan saat shalat Jenazah pun Masjid dibuat penuh oleh jemaah. Saya hitung-hitung ada lebih dari 100 orang yang menshalatkannya. Allahu Akbar. Sungguh betapa saya ingin mendapat perlakuan yang sama andai suatu saat nanti saya meninggal. Setahu saya – tolong koreksi kalau salah - seorang yang meninggal dijamin akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah jika ia meninggal minimal 40 orang menshalatkannya.
Selesai shalat jenazah, ternyata para pelayat masih banyak yang rela beriring-iringan mengantarnya ke tempat peristirahatannya terakhir. Jujur, saat itu baru kali pertama saya menatap langsung dari dekat jenazah diturunkan ke laing lahat. Saya jadi terbayang bagaimana kalau lain waktu saya menyaksikan orang-orang yang saya sayangi juga ditanam ke tiang lahat. Orang tua, saudara, kerabat atau mungkin juga saya sendiri. Andai saat itu ruh Almarhumah menyaksikan peristiwa itu, saya yakin beliau akan tersenyum bahagia dan haru.
Dari beberapa obrolan yang saya dengar, semuanya menyampaikan kesan yang baik tentang Almarhumah. Mulai dari betapa rajinnya beliau mendirikan shalat malam, shaum, kesabarannya, betapa hebatnya ia membesarkan putra-putrinya. (Putrinya yang sulung sedang menjalani training dan akan beberapa bulan yang akan datang akan bekerja sebagai perawat di Jepang dan putranya yang lain diterima sebagai calon mahasiswa baru di IPB tahun ini), lucu dan cerianya beliau. Saya semakin mengerti betapa banyak orang yang merasa kehilangan beliau.
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yng ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan ham-hamba-Ku. Dan Masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S Al Fajr: 27-30)”
Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.