Braga Festival 2013 : Heritage dan Hiburan Ala Urang Bandung


Dalam suatu acara di televisi, walikota Bandung, Ridwan Kamil menyebutkan indeks kebahagiaan di Bandung adalah salah satu programnya untuk dikembalikan. Ada sekitar 600.000 warga Bandung stress. Beberapa hal yang memicunya antara lain faktor ekonomi dan kesemrawutan kota. Dari hasil survey terakhir, Bandung cuma sedikit lebih baik dari Jakarta dan Medan, tapi masih kalah dari Semarang dan Surabaya. Soal kebahagiaan, enggak melulu dinilai dengan materi kok. Seperti Vanuatu dan Bhutan, negara yang indek kesejahterannya dibawah rata-rata,  tapi indeks kebahagiannya bisa mengalahkan Inggris yang secara materi lebih mapan.

Lebih jauh lagi Ridwan Kamil menambahkan, ciri masyarakat yang stress itu adalah enggan keluar rumah. Ngomong-ngomong soal stress, rasanya sudah lama saya enggak refereshing tuh. Makanya begitu ada gelaran Festival Braga, saya sudah meniatkan untuk datang, dan saya memilih datang pada  hari terakhir, minggu 29 September kemarin. Tadinya saya mengajak teman saya buat pergi bareng, tapi berhubung dia sudah ada acara dengaa teman-temannya saya urung pergi bareng. Enggak jadi pergi, dong? Errr, tetep jadi lah. Saya harus menunggu sampai tahun depan dong kalau melewatkan acara tahun ini. Siapa tahun tahun berikutnya saya sudah hijrah ke kota lain, atau negri lain, barangkali. Who knows? hehehe


Sebagai seorang angkoter, saya memilih pergi setelah pengajian dengan angkot jurusan Kalapa-Ledeng. Saya turun diperempatan jalan Tamblong untuk sampai ke lokasi acara. Enggak lama, paling sekitar 5 menit. Dan inilah spot yang pertama kali saya sambangi di TKP.


Dengan kostum seperti itu, sudah pasti lah kakawihan yang sedang disajikan, ya. Enggak mungkin mereka membawakan lagu seriosa hahaha.... Maksa bener. Suasana di sekitar panggungbeum terlalu ramai, mungkin masih agak pagi. Tidak lama setelah acara ini adzan Dzuhur berkumandang, atraksi di panggung ini dijeda dulu. Sambil mencari minum, saya mencari masjid untuk shalat.


Saya memilih shalat di masjid sekitar rumah  warga, letaknya agak menjorok ke dalam, lingkungan sekitar masjid sebenarnya cukup bersih, tapi saya merasa terganggu pas ngambil wudhu. Selain tidak terpisah untuk jamaah laki-laki dan perempuan, aroma pesing yang menguar membuat saya tidak nyaman. Haduh, gimana ini teh?

O, ya sebelum lupa. Hari terakhir ini, temannya adalah Tribute to Hari Roesli, dan ini adalah salah satu spot yang menunjukkan tema hari itu.


Sepanjang ruas jalan Braga, yang paling menonjol adalah banyaknya  seniman termasuk para pelukis yang ikut meramaikan acara. Mulai dari pelukis sketsa sampai pelukis abstrak. 






  

Seperti bapak yang satu ini. Salut banget buat beliau, dengan keterbatasannya (hanya mempunyai dua jari di kanan dan dua jari di kiri) tidak menghalanginya untuk berkreatifitas.



Kalau buat gambar yang satu ini, saya iseng ah kasih judul Tomingse. Tomingsenya Meteor Garden? Bukaaan, Tolong Mingkem Sedikit maksudnya hehehe


203 tahun kota Bandung. Semoga juara.

Selesai salat, saya jalan-jalan lagi melihat spot-spot lainnya. Seperti yang satu ini...



Yadi Karung, seorang goweser yang sudah melanglangbuana keliling Indonesia dengan sepeda ontel jadulnya jadi perhatian pengunjung juga.



Gedung New Majestic dengan citarasa anti dan  kental dengan nuansa Belanda ini dulunya adalah gedung yang memutarkan film. Dibangun pada tahun 1926 dengan perancang CP Wolf Schoemaker. Sempat bersikap diskriminatif terhadap pribumi, dengan melarang penduduk asli untuk menonton. Lucunya, justru film lokal pertamanya berjudul Loetoeng Kasaroeng diperankan oleh para pemain lokal, dari kalangan priyayi berpendidikan. Setelah merdeka, gedung ini kerap memutarkan film-film lokal. 

Akhir tahun 90an, gedung yang pernah  dikelola oleh Perusahaan Daerah Kertawisata ini, jumlah pengunjungnya  kalah bersaing dengan bioskop lainnya.Perlahan-lahan gedung ini beralih fungsi sebagai tempat hiburan malam alias pub. Banyak kalangan yang menyayangkan hal ini.

DiajangFestiva l Braga ini, gedung Majestic dibuka gratis untuk umum. Iseng saya masuk ke dalam, penasaran kepingin tahu, ada apa di dalamnya. Olalala... ternyata cabikan gitar dan betotan bas alias musik cadas yang dipertunjukkan. Pusing dengan hiruk pikuk di dalamnya, saya memilih keluar saja.


 
Saya melipir ke gedung PGN alias perusahan Gas Negara. Ada pameran foto di sini, adeeeem.













Di dalam gedung ini, ada pojok yang dikerumuni pengunjung, tapibukan lukisan yang membuat pengunjung asik mojok. Ada gerobak antik yang menjual aneka kopi olahan. Dari kopi lokal, klasik sampai cita rasa modern. Sayangnya saya enggak begitu suka dengan kopi. 

Dengan harga yang enggak sampai 10.000 per porsi, kopi citarasa starbak dengan harga gerbobak ini punya menu andalan bunbun double, yakni espresso yang dicampur susu kental manis. Katanya dengan rasa pahit ini, bisa bikin seger yang minumnya. Masih ada menu alpucindo, cokocindo dan menu-menu lainnya. Tertarik? Silahkan datengin spotnya di kawasan kampus Maranatha, Cicalengka, Dago dan Jatinangor. Halah, kok jadi marketingnya gin, ya? :D

Puas melihat-lihat foto yang dipamerkan di gedung, saya mencoba menjelajah area lainnya. Ada satu tempat yang saya lewatkan begitu saja, area uji nyali yang satu ini saya skip, takuuut.




Nuansa jadul bin klasik emang terasa sekali, mulai dari hiburan, jajanan, pernak pernik sampai kostum pengisi acara. Cari iket sunda? Ada banyak yang jualan di sini.




Tahu film Planet of The Apes? Sepertinya sang sutradara, Franklin J. Schaffner pernah tinggal lama di Bandung dan kesengsem sama penganan yang satu ini, sampai menginspirasi buat bikin filmnya. hahahaha..... (Ups, ketipu)

Terlepas dari keberadaannya yang enggak ketahan sama panitia, keramaian massa selalu jadi daya tarik para pedagang buat mencari peruntungannya, termasuk copet! Saat menuju lokasi, temansaya mengingatkan soal ini. Pelakunya ada yang ABG, modusnya mereka bergerombol, pura-pura lewat di depan kita, kata teman saya. Meski asyik dengan pemandangan, saya berasa selalu aware biar enggak kena incaran copet. Alhamdulillah, selamat.


Nah kalau ini bukan stan minuman, tapi satu spot yang menunjukkan sample  air yang buruk dari  berbagai tempat di Bandung plus komplain warga yang dibubuhkan di kemasan botolnya. 


Nah, ini boothingnya radio PR FM. Pengunjung bisa berpura-pura jadi anchor alias penyiar. Di belakang boothing, kita bisa berpura-pura jadi reporter yang sedang mewawancarai Ridwan Kamil. Sebelum terpilih menjadi walikota, Ridwan Kamil suka mengisi acara talk show di radio ini setiap jumat malam.


Bis yang satu ini bukan bis rombongan yang nyasar. Untuk pengunjung berusia 13 tahun keatas bisa menyaksikan pemutaran film Indie di dalam bus. Waktu saya lewat, acaranya lagi jeda, beberapa krunya lagi asik ngaso di dalam bis.



Sekitar jam 13.00, lepas dzuhur ada atraksi yang menyedot perhatian pengunjung. Reog Ponorogo yang pernah diklaim sebagai warisan budaya oleh Malaysia ini ikut urunan meramaikan acara. Dengan kru kurang lebih sebanyak 50 orang, kelompok kesenian Singo Lodoyo pimpinan kapolsek Cinambo, Bapak Aiptu Suparno menampilkan sekitar 5 lakon, antara lain Waro, Jatihan, Bujang Nyandong, Kelono, dan tari Merak. Seperti yang disampaikan oleh pimpinan kelompok, di Bandung ini cuma mereka satu-satunya yang ada,












 Kostum Gatotkacanya pinky sekali, ya. Beberapa kali atraksi, sempat membuat penonton mundur, karena manuver para pendukung acara yang membutuhkan lebih luas ruang gerak.

Jelang ashar, batre HP saya mulai kritis, saya sendiri sudah puas mengikuti aara ini, meskipun melewatkan pentas Barongsai. Kapok shalat di masjid sebelumnya yang menguarkan aroma pesing, saya memilih shalat ashar di Braga City Walk. Di sini juga kawasan perbelanjaan dengan nuansa klasik itu ikut berdandan meramaikan acara.

Meski di sini lebih adem, keriuhannya kurang terasa, setidak-tidaknya buat saya. Shalat di mushalanya Braga City Walk jauh lebih enakeun, sayangnya mushalanya terletak di Base 1. Soal tempat shalat yang comfort dan beradab masih BIP deh yang juara. Selain luas juga ditempatkan di lantai atas, lebih layak sebagai apresiasi untuk tempat ibadah.

Satu poin buat saya adalah dengan dompet yang 'kritis' saya bisa tetap menikmati keriaan di Braga Festival. Berbagai godaan mata bisa saya lewati dengan aman sentosa hehehe... 

Semoga tahun depan atau penyelenggaraan festival-festival lainnya jauh labih baik, ya. SOalnya saya perhatikan kemacetan, sampah dan kemsemrawutan lainnya masiih merecoki acara ini.









8 Comments

  1. Seru banget nih acaranya urang Bandung. Ngelihat cangkir2 yang berlapis email itu jadi ingat jaman saya kecil dulu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kalau bahasa sundanya asa wararaas, perasaan yang enggak bisa dilukiskan :P

      Delete
  2. Di dalam suatu spot di mana diadakan event memang sudah biasa jika kamar mandi/tempat Wudhu beraroma tak sedap, karena saking banyaknya yang pakai.
    yang penting habis wudhu langsung ngacir saja.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal waktu saya salat di sana pengunjungnya enggak banyak lho, enggak sampai 10 orang. Mungkin akumulasi dari 2 hari sebelumnya. Apa iya ada yg nekat kencing di tempat wudhu? Bukan WC lho, tapi jajaran keran seperrti di masjid-masjid lainnya.

      Delete
  3. Semoga Bandung Juara bisa terlaksana. Seru yah acaranya, sayang tidak sempat berkunjung ke Braga waktu itu. Buat saya yang membuat ngiler itu lihat foto kue ape :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa, saya juga suka kue Ape. Waktu masih SD-SMP yang jualan kue ini masih ada. Menjelang akhir 90an kayaknya kue ini jadi langka.

      Delete
  4. Wah, kereeenn!
    Saya malah ga sempet kesana padahal tinggal naik angkot sukajadi kelapa satu kali
    :(((

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sampai ketemu tahun depan mba Sri hehehe. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini segera ada festival lainnya di Bandung

      Delete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.