Thursday 12 March 2015

Kasih Tak Sampai


Jika  aku  bukan  jalanmu 
Ku kan berhenti  mengharapkanmu...
Jika  aku memang  tercipta  untukmu
Ku kan memiliku....
 
credit: peoplesliceoflife.com
Video  klip  yang  sedang tayang  berubah  jadi  geger  tawa penonton di studio. Hilang sudah suasana  romantis. Aku melirik dengan tatapan protes  ke arah   Rika,  saudara  sepupuku  yang mengangkat  remote, dan memindahkan saluran tv.  Padahal aku  sedang asik menikmati   suara bujang  berlesung pipi dan  tatapan mata teduhnya  dibalik kacamata  berbingkai hitam  itu. Rasanya  membuatku..
“Mau-maunya aja diphp-in,  sih,  Mey?”
 Ini  kali  keduanya  Rika  menggangguku.  Membuyarkan  kenanganku  tentang Dion.  Sahabat  yang kukenal  sejak SMA dan sampai  penghujung  kuliah. Selama  itu  juga  aku cuma  bisa  menelan  perasaan,  menekannya  dalam  ruang paling  gelap dalam  hati,  tidak ada  yang tahu, kecuali Rika. Itu pun  gara-gara aku  keceplosan.
 
Aku  menekuk  tungkai yang sejak tadi  lurus  berselonjor.  Rinai  hujan  serupa  tirai  seharian ini  masih  enggan  beranjak.  Aroma pterichor   yang  menari-nari  di luar  sana semakin menggodaku  untuk semakin  malas, membuatku  tenggelam  dan bergelung  di kamar.  Menghabiskan waktu  sambil bermalas-malasan  dan   menyesap wangi teh  dengan aroma mint.

Ngomong-ngomong soal Dion, dia  memang mirip dengan Afghan, hanya  saja  bedanya  Dion sedikit  berisi  dengan rambutnya  yang agak ikal. Suaranya?  Afghan lewat, deh. Ya, baiklah,  mungkin menurut  kalian itu cuma menurutku. Perasaan seorang fans  gelap? Ah bukan. Aku bukan fans gelap. Hanya memuja,  memuja  yang terlalu  lama.  Hiks,  tragis, ya.

Aku tahu  Dion punya  suara  bagus  karena waktu  SMA  pernah satu kelompok dan untuk tugas ensamble  seni  musik. Sungguh,  suara baritonnya membuatku  hanyut.  Sayangnya  suara  emas  Afghan, eh Dion tidak  banyak yang bisa menikmati.    Entah  kenapa  sejak SMA sampai kuliah, Dion selalu  mengelak  untuk  ikutan  grup paduan suara. Andai  waktu itu  tampil  ensamble  tempo hari aku merekamnya, agar  bisa  kunikmati saat sendiri seperti ini.
“Repot Mey,  gue  ga mau punya  fans,”  elaknya suatu  hari.

Aku hanya melongo,  membiarkan alisku  terangkat seperti  ulat  bulu  yang menjengit  kepanasan. Dion  hanya tertawa  melihat ekspresiku.

“Kamu udah  tau  belum  kabar  terbaru  soal Dion?”  Rika  duduk di sebelahku,  menyorongkan piring berisi  french  fries  buatanya, menarikku kembali dari  lamunan.  
“Apa?” tanyaku  sambil  mengambil  segenggam french fries dan  memindahkannya ke atas selembar tissue. 
“Dia baru aja  bikin pengumuman di  kopma.  Katanya mau over  kontrak kosannya.”
“Terus?” Aku  mulai  gusar.  Dion  mau  over  kontrak  kosannya. Artinya Dion  tidak  lama lagi akan pergi. Ah, ya. baru saja  minggu kemarin dia selesai sidang skripsi.  Ah, tidak! Aku  bakal kehilangan kamu, Dion, keluhku dalam hati.
 “Balas  kiri, masih  kosong,”  timpal  Rika asal. "

Aku  nyengir.  “Gini deh,  kalau  punya  temen  berbakat  jadi  tukang  parkir.”

“Mending gue dong,  bakatnya disalurin,  enggak dipendam.  Lah, elu? Cinta diperam.  Keburu  busuk, tau.  Mau  nunggu sampai  kapan?  Mumpung  masih di Bandung, Mey. Awal Bulan depan  dia  udah balik  ke Bogor, ngurusin persiapan  visa sama  paspor, sebelum  berangkat Januari  nanti.”Rika  mengipasiku.

“Tau  ah,” aku  semakin gusar.

“Percaya deh sama  gue. Lu bakal  nyesal  neng. Kenapa  tidak dicoba, sih?”
***
“Mey!  Sini!” Rika  memanggilku. Wajahnya  terlihat  serius  menatap  layar tv. Aku tergopoh-gopoh dari  dapur sambil  membawa  nampan berisi  pizza. Wangi. Aku  mengambil satu  kerat  dan menyuapkan ke mulutku, meredam  aksi demo  cacing di perutku. 

“Itu!”  Mey menunjuk  layar  tv.

Mulutku berhenti mengunyah, mataku nanar menatap  tv.  Penyiar  tv berambut sebahu  menyampaikan breaking news  berita  jatuhnya sebuah pesawat  dengan tujuan Tokyo, setengah jam setelah lepas  landas. Itu adalah pesawat dengan nomor  penerbangan  yang membawa Dion.  Mey  merangkulku,  dan  mengusap  buliran  bening  yang  jatuh menderas  di pipiku. Aku  menyesal  tidak  menggubris ajakan  Rika  untuk mengantar   ke bandara Dion sebelum berangkat.  Setidaknya  aku  masih bisa  melihat  wajah teduhnya sebelum  Dion hilang untuk selamanya membawa  kenangan  7 tahun  sejak SMA  dulu. Bahkan hanya untuk melihat tubuhnya  yang membujur pun aku tidak bisa.
 ***
“Sepertinya  kamu lebih berhak untuk  menyimpannya,”   Wina kakak Dion  menyodorkan selembar  foto  padaku. Setelah  melayat ke rumahnya.
Aku  membalikkan  foto  angkatan kami . Foto  yang diambil setelah  upacara  wisudanya. Ada  tulisan tangan  Dion. Aku membacanya perlahan, “Mey,  hanya  bisa  jadi sahabat.”
Air mataku  luruh sekali  lagi. 
Share:

10 comments:

  1. mirip judul lagu grup band padi, tapi jelas isi dan pesannya juga mirip...bedanya ini disampaikan oleh seorang blogger...mantap, o iya td saya follow blognya ya...thanks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harusnya ngutip lagunya Padi buat opening ceritanya, ya hehehehe. Makasih sudah jadi follower blog saya.

      Delete
  2. mirip judul lagu grup band padi, tapi jelas isi dan pesannya juga mirip...bedanya ini disampaikan oleh seorang blogger...mantap, o iya td saya follow blognya ya...thanks

    ReplyDelete
  3. Terlalu kelamaan menunggu moment yang tepat, jadinya gak sampai-sampai juga.

    ReplyDelete
  4. Hyaaa...kecelakaan. Yg sabar ya, Mei. Masoh ada Afgan. Hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga mau kalau Afghan *lalu dicubit fans Afghan yang masih abg*

      Delete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.