Thursday 1 May 2014

Resensi Buku: Sang Patriot


Ada yang pernah nonton film Merah Putih yang dibintangi Lukman Sardi? Film trilogi yang mengambil seting pada masa kemerdekaan itu saya tonton seri pertamanya tahun 2009 di bioskop. Jarang-jarang saya mau ke bioskop, baik itu nonton film barat maupun film Indonesia. Bukan apa-apa sih, soalnya males ngantri saat antriannya masih mengular. Kalau pun sampai bela-belain mau nonton sebuah film, setidaknya di mata saya film itu adalah film yang keren dan menarik. Benar saja, bersama adik  yang waktu itu  masih di bangku SD, saya tidak menyesal menonton film ini.  

Dalam beberapa hal, kelemahan dari sisi sebuah film adalah tidak bisa seutuhnya mengangkat semua detil layaknya dalam sebuah buku. Belum lagi, eksotisme dari membaca adalah sudut pandang yang timbul setelah membaca dari setiap orang belum tentu sama. So, kalau ada film yang diadaptasi dari sebuah buku akan lebih afdol kalau dibaca dulu bukunya. Spoil memang, kita keburu tahu endingnya seperti apa,, tapi visualisasi yang kita bayangkan dengan penafsiran sutradara tidak selalu sama, lho.

Buku yang akan saya resensi ini memang belum diadaptasi ke layar lebar, namun menyimak kisah nyata dari seorang  Mayor Mochamad Sroedji, sepertinya akan menjadi sebuah fim yang asyik dan layak diapresiasi. Sudah lama juga, ya, kita tidak menyaksikan film beraroma heroik  perjuangan pahlawan-pahlawan Indonesia yang wara wiri di bioskop?



Judul Buku                   : Sang Patriot
Penulis                         : Irma Devita
Tebal                           : 266 halaman + xii
Penerbit                      : Inti Dinamika Publisher
Cetakan Pertama        : Februari, 2014         
ISBN                             : 978-602-14969-0-9


Sang Patriot dibuka dengan masa kecil Moch Sroedji  yang lahir dari ibunya, Amni, yang cantik dan ayahnya yang pedagang bernama Hasan. Sroedji  mempunyai kelebihan fisik dan kecemerlangan otak  membuatnya tidak kesulitan untuk bersekolah di HIS dan Ambactsleergang (setara dengan sekola teknik),  yang mengharuskan muridnya memiliki strata sosial berdarah biru. Berkat pamannya, Pusponegoro yang jeli menangkap potensi yang dimiliki, Sroedji berhasil mengenyam pendidikan yang setara dengan anak-anak Belanda dan para pejabat pada masa itu. 

Meskipun berotak encer, Sroedji tidak mewarisi bakat sang ayahnya sebagai pedagang. Acap kali Sroedji pulang dengan tangan hampa, atau terkadang memberikan barang jualannya dengan alasan iba.  Namun begitu, pasar menjadi awal pertemuan Sroedji bertemu dengan Rukmini, seorang wanita cantik dan juga pintar yang akan menjadi istrinya kelak. Lewat pertemuan yaang diatur rapi dan seolah-olah tidak sengaja itu, diam-diam keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya menikah.

Demi pegabdiannya pada Sroedji, Rukmini rela melepaskan mimpinya untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Leiden, menjadi seorang pakar di bidang hukum. Meski begitu, kecerdasan Rukmini membantu banyak Sroedji yang kerap bertukar pikiran dengannya saat membahas dinamika politik yang sedang terjadi baik saat masa pergolakan menjelang kemerdekaan, pendudukan Jepang, atau bahkan saat masa agresi Belanda,  tidak lama setelah disepakatinya perjanjian Renville.

Alur logika Rukmini memang diatas rata-rata para wanita di masanya, namun urung juga ia kerap dilanda rasa kehilangan saat harus berpisah dengan Sroedji yang bertugas ke luar kota - memimpin Batalyon Alap-alap -  bergerilya dan memimpin hijrah, menempuh ratusan kilometer menapaki hutan dan melalui pegunungan yang terjal agar terhindar dari kejaran Belanda.  Rukmini berusaha tegar, mengeraskan hatinya untuk melepaskan kepergian Sroedji pergi berperang. 

“Pak, ikuti kata hatimu. Sudah jadi tekadmu  menjadi pembela tanah air. Jangan khawatirkan Cuk,  Pom atau aku. Kami tidak pernah sendirian. Allah selalu beserta kita, Pak. Aku ikhlas.”

Latar belakang Irma Devita sebagai praktisi di bidang hukum, dunia yang digelutinya sehari-hari tidak menjadikannya terasa canggung meracik novei ini agar terasa renyah dibaca. Apalagi, penulis juga merupakan cucu  dari pahlawan yang sosoknya diabadikan  menjadi  monumen di depan kantor bupati Jember ini. Selain kedekatan emosionalnya dengan sang nenek yang tidak lain adalah Rukmini, Irma Devita  juga mengolah data yang akurat dengan  para keluarga tokoh lain yang dikisahkan dalam novel ini, semisal dengan Letkol dr. RM, sahabat dekat Mayor Sroedji.

Menekuri perjalanan kisah Sroedji dan Rukmini tidak melulu membahas sengitnya pertempuran dan adu taktik dengan Jepang atau Belanda. Novel ini juga menelisik sisi lain dari seorang pejuang yang juga manusia biasa yang punya emosi dan kepekaan nurani. Ada sisi persahabatan, kegigihan, kesederhanaan,  pengorbanan, romantika asmara dan penghianatan yang terjalin apik dalam  alur ceritanya. 

Buat saya,  ini adalah cara belajar sejarah yang mengasyikan. Selama ini pelajaran sejarah selalu identik dengan hafalan tahun, angka, nama  tokoh, atau isi perjanjian yang sering tertukar dan membuat ngantuk. Padahal dalam mempelajari sejarah, bukan hanya bagaimana mengingat kronologi sebuah peristiwa atau nama-nama tokoh pahlawan. Dari sejarah pula ada banyak teladan yang bisa kita renungkan. Banyak refleksi yang seharusnya bisa kita petik.

Beberapa dialog dalam bahasa Belanda atau Jepang yang dipaparkan dengan redaksi yang membuat kita bisa larut dan memahami cerita. Sebagai pembaca, kita bisa memahami dengan mudah apa itu seikerei, onderneeming, blitzkrieg, atau  apa itu garis Van Mook.  Namun kadang-kadang saya dibuat sedikit roaming karena ada beberapa kosa kata bahasa jawa saya tidak saya kenal dan luput dari penjelasan   yang disampaikan. Eh, meski begitu, tidak terlalu mengganggu juga, kok, hehehe.  Kalau ditanya bagian mana  yang menggelitik kepenasaran saya, maka saya akan menjawab karakter Somad.  Komandan KNIL yang berhasil menyusup ke dalam barisan Batalyon Alap-alap. Kelicinan Somad, yang menyembunyikan jati dirinya membuatnya berhasil membocorkan satu persatu taktik dan rencana yang sudah disusun matang oleh Sroedji dan kawan-kawan. Sepertinya pembaca lain akan sepakat dengan saya bagaimana  nasib akhir Somad yang tidak diceritakan lebih lanjut di novel ini.

Anda juga pasti akan penasaran, bagaimana kecerdikan Rukmini bermain sandiwara atau kucing-kucingan  dengan tentara KNIL yang mengincar suaminya,  atau galaunya  Rukmini yang dilanda rasa cemas dan gelisah saat berpisah dengan Sroedji.  Setenang dan selihai apa sih, kemampuan Sroedji yang mengelabui Belanda? Dan tentu saja bagaimana akhir cerita Sang Patriot dalam novel ini? Kalau saya berhasil menggelitik rasa kepo anda, mending sekarang buru-buru membuat jadwal untuk menyambangi toko buku terdekat dan memboyong novel  ini.


http://letkolmochsroedji.org/



Share:

10 comments:

  1. wah, mantap sekali ini review nya , Efi
    yang membaca review buku ini, pasti jadi penasaran, pingin tau endingnya....

    semoga sukses di lomba review ini, Efi :)

    salam

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam juga bunda. :D senang sudah dikunjungi ^_^

      Delete
  2. Reviewnya mantap mbak Evi. Saya baru menulis draftnya di kertas. Hhehee.. bukan ambil last minute, tapi memang liburan.xixi

    ReplyDelete
  3. sangat bagus di rekomendasikan terutama untuk diri saya sendiri.. karna saya suka novel heroik hehe..

    ReplyDelete
  4. Aku suka nonton film kepahlawanan gini, mak. Ini kl dijadiin film, kabar2i aku ya...Makasiihh. :)

    ReplyDelete
  5. Mak, dari yang aku tangkap di buku... pertemuan Sroedji dan Rukmini di pasar itu bukan karena Sroedji berjualan di pasar. Saat itu Sroedji sudah bekerja sbg mantri malaria di RS Kreongan Jember. Dia sengaja datang ke Malang dan mengunjungi pasar yang biasa didatangi Rukmini karena dia ingin melihat Rukmini yang hendak dijodohkan dengannya. CMIIW....

    Salam hangat dari Madiun... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh, iya, mak. makasih koreksinya. Aku edit sekarang ah, biar ga lupa :)

      Delete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.