Saturday 18 May 2013

Enam Tahun

    Sabtu lalu, seminggu sudah saya meninggalkan sekolah tempat terakhir saya bekerja.Seminggu juga saya menjalani hari-hari baru, dengan pekerjaan baru, rutinitas baru dan tentu saja, teman-teman baru. Meski, sebenarnya saya sudah pernah mengecap atmosfir suasana perusahaan sebelumnya. Akhir April lalu, saya mendapat panggilan wawancara di sebuah perusahaan Tekstil. Alhamdulilllah, saya diterima bekerja. Artinya, saya harus meninggal sekolah tempat saya bekerja. Setelah kurang lebih lima hari saya memberi training singkat sekaligus serah terima pekerjaan dengan pengganti saya, akhirnya sampai juga waktunya saya buat berpamitan. Hal yang saya sendiri bingung bagaimana untuk melaluinya.
gambar ngambil dari sini

    Siang itu, tengah hari, sekitr waktu Dzuhur beberapa guru masih bertahan di sekolah menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa guru sebelumnya sudah pulang lebih awal karena memang biasanya akhir pekan jadi waktu khusus buat anak-anak mengisi dengan pramuka. Apalagi, ada beberapa guru yang harus menjalani ujian akhir semester program S-1nya. Kalau beberapa hari sebelumnya saya masih bisa tersenyum menanggapi sms seorang teman yang merasa kehilangan saya setelah saya pindah kerja nanti, tidak dengan hari itu.

    Awalnya, semua berjalan lancar ketika saya pamitan, termasuk dengan sahabat saya itu. Tidak ada peluk-pelukan pake acara nangis-nangisan. Biasa saja. Enggak ada bedanya dengan pamitan hari-hari biasanya ketika saya atau yang lainnya pulang lebih awal. Nah, siang itu saya mencari guru kelas, berpamitan setelah sejak bulan Januari - rutinitas semester genap - kami lebih intens bekerja sama menyiapkan segala keperluan ujian kelas 6 sejak pendataan, latihan ujian sampai UN kemarin.

    Saya mengetuk pintu kelas, Bu Anna, salah satu dari 4 guru kelas 6 di sekolah saya menyambut saya. Pendek saja, saya menyampaikan maksud saya.

    "Bu, saya duluan, ya. Pamit, sekalian terakhir saya di sini."

    Saya pikir, waktu itu semuanya bakal berjalan mulus. Saya yang terlanjur dicap Miss Flat, dingin, cuek dan kaku oleh teman saya ternyata gagal mengeraskan hati. Cuma satu sentuhan lembut saja, sudah cukup membuat saya meleleh. Bu Anna tersenyum, memeluk saya, lalu berkata pelan. "Neng, meni waas ih,... (Neng, ibu ga bisa bilang apa-apa lagi)."

    Sungguh, saya seperti es krim yang meleleh, tersengat di siang bolong. Duh, kok jadi sedih gini, sih? Reflek, saya mengusah sudut mata saya, dari balik kaca mata. "Ah, ibu. Udah ah... saya, jadi pengen nangis, nih" saya berkata sambil tertahan, masih dalam pelukan Bu Anna.

    "Semoga sukses, ya Neng. Ibu doain yang terbaik." Sederhana saja, kata-kata yang biasa buat kita sampaikan, dan biasa kita dengar, ya?  Bahkan, saat saya mengetik cerita ini, tiba-tiba saja mata saya terasa hangat lagi.

    Enam tahun, bukan terbilang lama tapi juga tidak sebentar. Ibaratnya, saya seperti anak kelas enam yang mau lulus sekolah. Bedanya, kalau anak-anak kelas enam masih harus menunggu pengumuman kelulusan, saya sudah lebih duluan keluar.

    Seperti yang dibilang Slank, "Terlalu Manis Untuk Dilupakan". Rasanya baru saja kemarin saya bekerja, baru saja kemarin saya bercanda dengan teman-teman saya di sekolah, sepertinya baru kemarin berkutat dengan dateline pekerjaan yang membuat kami harus lembur berhari-hari di sekolah atau begadang sekian malam melanjutkan pekerjaan yang setumpuk.

    Sekarang, semuanya sudah berlalu, ada di belakang saya. Tapi The Beatles juga bilang, Life Goes On. Saya sudah menentukan pilihan, mencari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih buat semuanya. Dan, Cranberries pun bakal setuju, enam tahun yang sudah berlalu will Linger to then.

Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.