Monday 2 February 2015

Pergi Saling Menjauh


“Bisa pesan pizzanya?”  sebuah suara  lembut  menyapa di sebrang  sana. Entah  harus  tertawa  atau  sebal,  ini bukan  kali pertama buat Samy menerima telepon semacam  ini.  Nomor telepon rumahnya  memang  hampir mirip dengan nomor  hotline  pesan antar  pizza.  Dan telepon  yang  sekarang  ini adalah pesanan  untuk ke 100  kalinya. Harus dirayakan, nih. Pecah telur!  Samy tertawa  geli sambil memainkan  kabel telepon.

“Halo?” sebuah sapaan lembut dis sebrang sana.  Samy  sudah  ngacangin  si pemesan  selama  dua menit  berlalu.

pergi saling menjauh
Credit: compassbusiness.co.nz

“Eh,, ya... maaf  mas, salah sambung?”

“Lho,  bukan? Salah sambung?”   suara  lembut itu terdengar lebih mirip mengulang sekaligus   tidak percaya.

“Masnya  lihat deh layar  ponselnya,  bukan kok.”
“Ya ampun!”
Samy tertawa lagi.  
Lima menit berikutnya obrolan  itu ternyata masih berlanjut.  “Terimakasih,  sampai  nanti.”

***

“Sen,  bisa  enggak sih,  berhenti  ngetiknya?” Samy  cuek menekan tombol power Off.  Sena  mendongak,  menatap  layar  laptopnya  yang berubah hitam. Dua halaman laporan ekspedisi yang sudah diketiknya menguap, belum sempat  tersimpan.

“Sam, maafkan sudah nyuekin kamu,” Sena menutup layar  laptopnya. Ditatapnya wajah Samy  yang manyun  karena  sebal  cowok  berwajah  mulus  bak  pualam  itu lebih  mesra  menekuri  pekerjaannya. Rasa rindu Samy  yang tertahan sebulan ini  hanya  diisi untuk menemani  cowok  berwajah oriental  itu  hanya  untuk  menyelesaikan pekerjaannya? Samy  merutuk dongkol dalam hati.

 “Kamu bela-belain mampir ke Bandung buat ketemu aku kan? Bukan  membereskan  laporan  seperti  ini,” Samy masih  manyun  sambil mengetuk-ngentuk  cangkir  kopinya  yang mulai dingin. Sena tidak bisa membayangkan wajah judes  nona  manis ini  yang dulu begitu ramah menyapanya di telpon.

Di luar  sana  gerimis semakin menderas. Aroma pterichor  yang menyelinap dari  sela-sela  jendela  hotel merayu  aroma  kopi berkonspirasi, menggoda Samy dan Sena menjeda  keheningan untuk menyesap  kehangatannya.

 “Aku makin suka lihat  kamu lagi manyun gini, Sam. Makin cantik aja,” goda Sena gombal.
Samy meleletkan lidah.
“Habiskan kopinya, kalau udah dingin  billingnya  bengkak.”
Samy mengangkat  alis,  mirip  ulat bulu yang menjengit kepanasan.  “Kok bisa?”
“Kopi dingin lebih mahal dari panas Sam.”  
Samy  mengulurkan tangan, mencubit pinggang  Sena  sampai membuat sedikit kegaduhan,  membuat  beberapa  pasang mata  melirik ke pojok tempat mereka  duduk.  
Sena menggamit lengan  Samy. “Pindah yuk? Di sini  kita jadi artis.”
***

Sena  adalah mahluk  paling sabar  dan paling kalem yang pernah  Samy temui. Tapi tidak hari ini. Gilirannya  Sena yang  protes. Samy paling sebal dengan wajah dingin Sena  dengan tatapan  menusuknya  yang  membuat  Samy  mati  gaya. Bingung harus melakukan apa.
“Maafkan aku, Sen,”  rajuk Samy.
“Sam, kamu keterlalun,” jawab Samy pendek.
Samy memeluk pinggang Sena dengan manja,  lalu berbisik  pelan, “ Maafkan aku Sen. Aku enggak bakalan lagi telat  seperti ini.  Kamu kan tahu kalau dosenku hari ini  galak  banget.  Aku enggak mau ngulang mata kuliahnya. Ayolah,  senyum dong.  Kamu jelek banget  kalo mematung kayak  gini,” Samy belum mau melepaskan lengannya. “Hari ini hari kuliah terakhir. Jadi  aku janji enggak akan telat  lagi.”
Rayuan  Samy meluluhkan hati Sena. Dilepaskannya  rangkulan Samy  lalu mengacak-ngacak rambut gadis  cantik itu. “Aku kangen kamu, Sam.”
***

“Sampai kapan kita harus seperti ini  Sam?  Aku enggak  nuntut  banyak sama kamu.  Kita  masih bisa  jalan bareng kan, Sam?”  Sena mengusap punggung tangan Samy. Sukses  membuat  perut Samy semakin mulas.  Mulutnya menelan ramen  setengah hati.  Harusnya  Makan siang  kali  ini terasa nikmat. Harusnya setelah ujian tadi semua rasa lapar dan rindunya terbayarkan  sekaligus. Kalau saja  Sena tidak  mengajaknya  ngobrol seserius ini.
“Bukankah kamu pernah bilang  ingin menghabiskan waktu denganku?” pertanyaan  berikutnya lebih mirip mantra  yang membangkitkan ribuan kupu-kupu dalam perut Samy. Kalau saja dulu  telpon salah sambungnya Sena diabaikan saja, lamun Samy dalam hati.

Satu, dua, tiga.  Detik berikutnya, Samy  memaksa wajahnya untuk mendongak,  menatap  wajah lembut Sena  yang masih menanti jawaban. 

“Sam?” tegur lembut Sena. 
. Ya Tuhan,  Samy  tidak pernah mengira  jatuh cinta itu akan  menyakitkan seperti ini.
“Kamu  enggak harus pindah agama. Begitu juga denganku. Kita  masih bisa jalan masing-masing,”  Sena seakan memahami kegalauan  Samy.

Samy melepaskan genggaman tangan Sena  perlahan. Kali ini kepalanya menelungkup di atas meja. Tidak peduli dengan suasana kafe  yang ramai dengan dengungan pengunjung sore  itu.  Belaian lembut  Sena di kepalanya  semakin  membuat bahunya terguncang.

“Maaf  kalau aku membuatmu sedih, Sam. Please,  ngomong dong.”
“Aku mau pulang, Sen.”

***
Stasiun  Bandung,  jam  3 sore
“Jadi  bagaimana?”
Kali ini  raut wajah Samy  terlihat lebih cerah meskipun wajahnya masih digelayuti mendung. Sungguh, Sena belum siap  dengan jawaban  yang akan didengarnya hari  ini. Andai ada keajaiban dalam satu jam ke depan, bisiknya sambil melirik  jam  kafe stasiun.
“Sen,  kalau  ada  satu laki-laki  yang membuatku berharap  untuk tumbuh tua  bersama, itu pasti kamu,” Samy  menekan  nada bicaranya.  Berusaha  untuk  tetap tenang.

“Tapi Sen...,” Samy  menghela nafasnya, mengumpulkan ketegarannya  membentuk tanggul  dalam hatinya agar tidak  jebol.  

“Aku enggak mau hanya tumbuh tua  bersama. Aku  ingin bersama dengan laki-laki itu juga setelah aku atau dia mati. Aku mau bersama dengannya  bukan hanya di dunia saja. Aku harap  itu kamu, Sen.   Aku ingin bersama di sini dan nanti.  Kalau saja  bukan karena kita berbeda....”

Bujukan Sena  untuk tetap  bertahan dengan keyakinan  sendiri,  tidak mengusik dan memaksa yang lain  berpindah  tempo hari  masih  terekam jelas  dalam benak  Samy. “Kita masih bisa bersama, Sam”

“Maaf, Sen. Aku  lebih memilih Tuhanku.”

Hanya hening yang  menggantung.  Kali ini  tidak ada  yang berani menatap, hanya dua kepala yang saling  tertunduk dalam diam. Sena dan  Samy benci sepi. Tapi mereka  lebih benci lagi  karena tidak  tahu  harus  memecah  keheningan seperti  ini. Mengapa  harus sekarang?

Detik berikutnya,  tanpa komando, Sena dan Samy kembali bersitatap. Ada luka  yang mengintip di bola mata keduanya, hingga kemudian hanya buliran bening  yang jatuh menderas dan isakan yang tertahan.

“Setelah  ini,  aku  mau  mengganti  nomor ponselku.  Tolong jangan menelpon ke rumah atau mencariku.” Samy menggigit bibirnya.  Matanya terasa  perih. Ya Tuhan, tolong kuatkan aku, Samy memelas dalam hati.

“Kalau  kita bertemu lagi, bagaimana, Sam?” Sena bertanya datar.

“Anggap saja  itu bonus, Sen,”  Samy memaksakan untuk melukis  lengkungan senyum  di bibirnya, “selama  kita tidak sengaja  untuk saling mencari.”

“Sam,...” Sena  meraih lengan Samy untuk terakhir kali. “Terimakasih  untuk semuanya. Terimakasih untuk  kebersamaan selama setahun terakhir  ini. Aku  iri dengan  dia  yang akan jadi teman hidupmu  nanti,... setelah aku pergi.” Sena memperbaiki posisi ranselnya. Sepuluh menit lagi kereta  menuju Jakarta segera berangkat. “Aku tidak akan mencarimu,  kecuali  kalau kita bertemu  lagi.  Kita memang harus  menjauh.” 

“Terimakasih juga  buat semuanya, Sen,” Samy  menurunkan lengan  Samy yang  mengusap rambut pendek sebahunya. “Good bye.”

Sena  membeku sempurna saat Samy mengusap sudut  mata di wajahnya. "Kamu jelek kalau nangis, Sen."
Lima  menit kemudian
“Jaga dirimu baik-baik, Sam,” Sena  menatap  punggung  Samy  yang berjalan  terus  tanpa  menoleh lagi, perlahan mengecil jadi titik  hitam. Suara peluit di peron memberi aba-aba kereta segera  berangkat.  Samy memenuhi janjinya untuk tidak  menoleh,  menyudahi semua cerita. Sena memejamkan mata,  memilih tidur dan membiarkan telinganya dijejali   ear phone setelah sembarang memilih gelombang radio.
mau dikatakan apa lagi kita tak akan pernah satu

engkau di sana, aku di sini mesti hatiku memilihmu

Share:

15 comments:

  1. Kehidupan manusia beraneka ragam. Cinta bisa membahagiakan namun kadang membuat orang merana.
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Pakde, tapi pasti ada pelajaran dari setiap peristiwa yang kita alami, ya.

      Delete
  2. Aq mewek, melting, all the butterflies feel like come again and flying in my stomach, ,
    My goodness, , it's so touchy, ,
    I cant stand to stop teardrop from my eyes. ..
    Miss you so much Na, .:(

    ReplyDelete
  3. Yaah kok endingnya misah gitu Teteeeh... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Based n tre story, Mi. Tapi bukan pengalamanku, cerita temen nih, dia pengen dibuat jadi cerpen dan minta beberapa poin buat di ceritanya. :)

      Delete
    2. Based on true story. #typo :D

      Delete
  4. kelihatannya pelik kalau jatuh cinta sama yang beda agama, ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mak Chi, Konflik batinnya rumit, belum lagi reaksi teman dan keluarga, ya.

      Delete
  5. Replies
    1. iya, ya. Tapi ini cerita nyata lho :) Yang jelas bukan pengalaman saya hehe

      Delete
  6. luar biasa ending yang gabisa ditebak kaya film korea , film indonesia kan gampang liat ending :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh tapi saya baru sekali lihat film korea, lho hihihi. Makasih kalau suka :D

      Delete
  7. udah semngat baca tapi kok ujungnya gak menyatu, tapi keren deh.... coba di bikin cerpen aja mbatau novelgitu hehehehe

    salam kenalmba...

    ReplyDelete
  8. endingnya mengharu biru ya :( mewek deh nih kalo udah jadi novel

    ReplyDelete
  9. Sedih banget teh ef..... Semoga sang tokoh menemukan seseorang yg lebih spesial dari "Sena", amiin yra

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.