Thursday 10 July 2014

Ketika Umi Pergi


“Assalamualaikum! Umiiii....” Anisa berteriak.

Umi mana, sih? Anisa lekas menyimpan tas dan membuka jilbabnya. Kenapa rumah sepi sekali, ya? Biasanya Umi sedang asik membaca buku atau menonton tv. “Cepat salat, Nis. Setelah itu kita makan bareng,” seperti itu Umi menyambut Anisa. Iya, Umi selalu menunggu Anisa pulang sekolah untuk makan siang bersama.

“Umi....?” Anisa memanggil lagi sambil bolak baik ke seluruh ruangan. Cape mencari-cari Umi ke setiap sudut  rumah, Anisa memutuskan untuk salat dulu. Di meja makan,  sebakul nasi hangat masih mengepul  lengkap dengan lauk pauknya  yang tersaji.

Eh, apa itu? Pandangan Anisa tertuju pada secarik kertas yang ditindih gelas. Pesan dari Umi ternyata.

Anisa, Umi mendadak harus pergi. Kamu enggak apa-apa kan makan siang sendiri? Nanti Umi pulang kok, sebelum ashar. Baik-baik di rumah, ya.

Umi

Anisa manyun. “Ya, Umi....”. keluhnya dalam dalam hati.
Padahal  Anisa punya kabar baik. Hari ini ia dapat pujian dari guru agama di sekolah, Bu Yanti. Nilai hafalan Qurannya dapat angka paling tingi di kelas. Rasa laparnya tiba-tiba menguap begitu saja. Anisa bete, sambil memainkan remote tv dan hampir  terlelap masih dengan seragam sekolahnya. 
credit: flickr.com



Assalamualaikum. Bel rumahnya berbunyi.

Anisa beranjak menuju pintu. Di rumah ini  hanya ada tiga orang ditambah Bang  Ihsan, kakaknya  yang sudah SMA.  Sementara Abi tugas di luar kota, baru pulang minggu depan. Baru jam setengah dua. Bukan kebiasaan Bang Ihsan pulang secepat ini. Siapa, ya?  Anisa menerka dalam hati.

 “Anisa?” tanya seorang laki-laki sepantaran Abi.

Anisa mengangguk pelan. Hanya sedikit celah pintu yang terbuka.  Wajahnya asing, Anisa tidak berani membiarkan orang ini masuk. “Ada perlu apa, om?” 

Anisa menatap laki-laki  ini mulai dahi hingga kaki. Rambutnya gondrong dan terlihat acak-acakan. Beda dengan Kak Yudi, guru ngajinya di mushala yang selalu rapi dan wangi.

“Kamu harus ikut sekarang dengan Om.”

“Memang ada apa?”

“Ikut saja, nanti kamu tahu.”

Anisa mundur selangkah. Cepat-cepat dibantingnya pintu.  Firasatnya mengatakan ada  yang tidak beres dengan tamu ini.

“Anisa!”

“Pergi sana! Anisa enggak mau ikut!”

“Buka pintunya Anisa!” teriak Om tadi sambil menggedor pintu keras-keras. 

Anisa berlari ke kamar sambil mencari apa saja yang bisa dipakai untuk melawan.  Air matanya mulai meleleh. Anisa berjongkok disudut kamar sambil memeluk lututnya. “Ya Allah, tolong Anisa.  Usir jauh-jauh orang jahat ini,”tangisnya dalam hati.

Brak! Rupanya pintu rumah didobrak. Anisa semakin gemetar ketika terdengar langkah kaki menuju kamarnya semakin jelas.

“Anisa!”

"Jangan om... jangan bawa Anisa.  Pergi.....” Anisa menangis semakin keras sambil menelungkupkan wajahnya.  Bahunya berguncang keras. “Ya Allah, tolong Anisa.”

“Anisa, ini Umi. Bangun, nak,”  satu sentuhan lembut membelai wajahnya.
Perlahan Anisa membuka mata. Dilihatnya sosok Umi tersenyum manis. “Kamu mimpi buruk, Nis?”

Anisa menghambur ke pelukan Umi yang balas memeluknya hangat. “Lho, kok nangis? Sudah makan?”

Anisa menggeleng.

“Tadi lupa ya, ga baca doa sebelum tidur?

Kali ini Anisa mengangguk. “Kenapa tadi Umi pergi ga bilang-bilang? Anisa kesepian, nih.”

Umi menjawil hidung Anisa gemas.  “Maafkan Umi.  Umi baru ingat hari ini ulang tahun kamu. Nih, ada Quran Syamil buat kamu.”

Anisa tersenyum malu, ternyata Umi pergi buat membelikan hadiah. Anisa malu sudah bete duluan. “Makasih, Mi” bisiknya senang.

*pas 500 kata*

Share:

1 comment:

  1. Makin rajin ngajinya ya, Nis. :)

    Mba, tak tunggu ikut GA saya lho, ya. DL hari ini jam 23.59 WIB. .

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.